Syariat Dalam Perspektif Hikmah
Cara atau pola
berfikir manusia senantiasa mengalami perkembangan. Perkembangan pola pikir ini
didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan senantiasa
mengalami dinamisasi, maka begitu pula dengan pola berfikir. Fenomena dinamisasi
pengetahuan sendiri, sudah disadari sejak lama oleh para ulama.
Al Mawardi menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan tidak mengenal batas. Setiap ilmu memiliki kemuliaan, keutamaan, dan keistimewaannya sendiri–sendiri. Menguasai seluruh pengetahuan sangat mustahil dilakukan. Inilah makna dari sabda nabi, bahwa ilmu tidak memiliki batas. Barang siapa yang mengira bahwa ilmu memiliki batas maka ia telah membatasi dan mengurangi haknya. Ia telah menempatkan ilmu tidak pada tempat yang telah disifatkan oleh Allah, “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” ( Q.S. Al Isra: 85).
Panjangnya, ilmu Allah tidak terbatas. Dan yang dianugerahkan kepada manusia hanyalah sedikit. Dan, selama ilmu Allah belum habis dan kiamat belum tiba, ilmu pengetahuan akan terus berjalan menuju akal manusia. Artinya di sanalah dinamisasi pengetahuan itu berada.
Dinamisasi pengetahuan dan cara berfikir dalam diri manusia juga diakui oleh tokoh kenamaan, Auguste Comte (1798-18570). Ia menandaskan bahwa pikiran manusia dalam perkembangannya mengalami tiga fase. Fase pertama fase keagamaan. Di mana –mungkin karena keterbatasan pengetahuan manusia– ia mengembalikan penafsiran semua gejala yang terjadi kepada Tuhan atau dewa yang diciptakan oleh benaknya. Semisal fenomena gempa bumi yang menewaskan banyak korban diidentifikasi sebagai bentuk kemurkaan para dewa atau Tuhan yang menjadi sandaran.
Fase kedua, bercirikan metafisik. Dalam fase ini, manusia menafsirkan gejala atau fenomena yang ada dengan mengembalikan kepada prinsip-prinsip yang merupakan sumber awal atau dasarnya. Manusia ada awalnya, demikian juga pohon, binatang dan lain sebagainya. Setiap gejala tidak terlepas dari pengaruh ketidakberesan dalam sumber awal.
Fase ketiga adalah fase ilmiah, di mana manusia menafsirkan fenomena yang ada berdasarkan pengamatan yang teliti, dan berbagai eksperimen hingga diperoleh hukum alam pasti yang mengatur fenomena tersebut.
Kita tidak akan masuk dalam perincian, benar-tidaknya teori ini, serta kritik-kritik yang disampaikan kepada teori ini. Kita juga tidak harus percaya dengan teori ini. Namun yang perlu dicatat, tokoh ini juga mengakui adanya dinamisasi ilmu dan cara berfikir. Dan sekarang hipotesis ini telah menjadi pandangan umum di kalangan ilmuan. Bahkan dalam pandangan mayoritas masyarakat yang hidup di alam modern, dan kontemporer sekarang ini.
Kembali kepada dinamisasi ilmu dan pola pemikiran. Pada saat ini, bersamaan dengan kemajuan dalam berbagai bidang, dalam memahami ajaran Allah, muncul kecenderungan untuk menguak apa rahasia di balik perintah-Nya. Cara pandang seorang dokter dipakai untuk menguak rahasia salat tahajjud, cara pandang sosiolog dipakai untuk menganalisa mengapa Allah memancarkan Islam dari tanah Arab, metodologi ahli biologi-fisiologi dipakai untuk menyingkap rahasia mengapa najis anjing perlu dihilangkan dengan memakai debu, dan lain sebagainya. Semua itu berhasil menampakkan diri ke alam realitas berkat ketundukan kepada syariat, kecanggihan, dan kritisme cara berfikir. Pertanyaan yang dulu dianggap ‘mauquf’ dan cukup dijawab dengan konsep ta’abbudi, sekarang dapat dijawab dengan menggunakan hikmah-hikmah di balik syariah. Selain dapat membangkitkan kekaguman kepada syariat, menambah gairah untuk beribadah, dan husn azh zhan kepada Allah. Sehingga dalam hal ini, hikmah dapat menjadi obat bagi hati yang sakit, solusi bagi nafsu yang memberontak, dan kendali bagi akal agar tunduk kepada syariat.
Karena alasan inilah, hikmah menjadi sangat urgen di era kontemporer. Berbagai macam bentuk ‘pemberontakan’ terhadap syariat, yang muncul dari kegelisahan intelektual sebagian pihak, perlu kembali didudukkan dan diberi solusi secara arif. Tentu saja di antara cara yang dapat kita pakai adalah dengan menggunakan hikmah. Allah berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An Nahl: 125)
Untuk itu sangat penting mengetahui hakikat hikmah, baik dari segi asal-usul, dasar teologis, kaitannya dengan ketentuan (hukum) syara’, dan juga cara-cara mendapatkan hikmah.
Hakikat Hikmah; Tinjauan
Kebahasaan
Hikmah dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab, al hikmah. Kata ini dapat berarti kebijaksanaan, pepatah, filsafat, kenabian, Al Quran, keadilan, dan lain-lain. Sedangkan dalam kamus bahasa Arab yang cukup otoritatif, ditemukan banyak sekali makna untuk kata ini. Ibnu Manzhur mengatakan bahwa al hikmah adalah pengetahuan tentang suatu yang paling luhur (utama), dengan menggunakan metodologi pengetahuan yang juga paling luhur (ma’rifah afdhal al asyyâ’ bi afdhal al ‘ulûm).
Sedangkan Al Jurjani menuturkan bahwa al hikmah adalah ilmu yang di dalamnya dikaji tentang hakikat segala sesuatu sesuai keadaan objektifnya di alam realitas sebatas kemampuan tertinggi manusia. Dengan demikian al hikmah ini terbilang sebagai ilmu teoretik (nazhariy), bukan sebentuk metodologi (al âliy) pencarian pengetahuan. Al hikmah juga dapat berarti bentuk kekuatan nalar ilmiah (al quwwah al ‘aqliyyah al ‘ilmiyyah) yang menjadi batas antara potensi alami nalar, yang merupakan bentuk berlebihan dari kekuatan nalar ini, dan kedunguan yang merupakan efek tidak didayagunakannya potensi nalar ini. Al Jurjani menuturkan bahwa pada dasarnya, hikmah memiliki makna; penciptaan dan ilmu. Ibnu Abbas menafsirkan al hikmah dalam Al Quran dengan pengetahuan tentang halal dan haram. Menurut satu pendapat, hikmah adalah berilmu dan beramal (al ‘ilmu ma’a al ‘amal). Ada juga yang mengartikan hikmah dengan sesuatu yang darinya dapat dipahami keadaan sesungguhnya secara objektif, sebatas kemampuan manusia. Sebagian ulama lagi mengartikan hikmah dengan, setiap ucapan yang sesuai dengan kebenaran. Namun ada juga yang mengartikan hikmah sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya, atau sebuah akhir yang baik (al ‘âqibah al mahmûdah).
An Nawawi mengatakan, makna-makna hikmah sebenarnya cukup banyak dan variatif, sehingga satu dengan lainnya terkesan saling tumpang tindih. Setiap pihak berusaha menjelaskan hikmah dengan hanya mengungkapkan sebagian ciri dari hikmah. Menurutnya, arti hikmah yang utuh adalah sebuah ungkapan yang menunjuk pada pengetahuan yang bercirikan kukuh (tidak mudah digoyahkan dengan keraguan), yang mencakup (dan dapat menghantarkan menuju) makrifat (pengenalan) kepada Allah, yang berangkat dari pandangan batin yang suci, usaha mengungkap kebenaran, pengamalan kebenaran tersebut, dan melawan keinginan hawa nafsu dan segala bentuk kebatilan.
Dari akar kata yang sama dengan kata hikmah (ha’, kaf, dan mim) muncul arti tali kekang hewan ternak. Kata al hikmah secara tidak langsung juga memiliki unsur kekang ini. Di mana manusia yang memiliki hikmah dapat mengekang dirinya dari perbuatan yang buruk dan tercela. Makna-makna yang sudah disebutkan di atas juga memiliki unsur pengekangan ini. Kebijaksanaan dapat membuat seseorang terkekang dari perbuatan ceroboh dan pilihan yang salah. Al Quran dapat membimbing manusia menjaga dirinya dari perbuatan yang tidak pantas dalam pandangan Allah, yang tentunya berakibat buruk baginya. Kenabian yang dianugerahkan Allah kepada manusia pilihan, juga dapat berfungsi mengekang pribadi para nabi dan umat yang mengikutinya dari hal-hal buruk. Begitu juga dengan ilmu (pengetahuan) tentang hal-hal yang paling utama dengan metodogi yang ideal. Semua dapat membuat manusia memilih pilihan yang terbaik, menjauhkannya dari yang buruk, dan mengekang dirinya dari keburukan itu sendiri. Menurut Dr. Nashir Sulaiman Al Amr, seorang pengkaji hikmah, makna pengekangan (al man’iyyah) ini adalah yang paling inti dan penting dari kata hikmah.
Melihat begitu banyaknya arti kata al hikmah, di samping itu juga bukan kompetensi kami untuk men-tarjih-nya, maka dalam hal ini kita akan tetap membiarkan cakupan makna yang cukup luas tersebut, dengan batasan tetap mengandung unsur ilmu, dapat menggiring manusia untuk beramal (baik), dan dapat membuat seseorang lebih dekat dalam mengenal Allah beserta keagungannya. Itulah yang dimaksudkan hikmah dalam kajian ini.
Komentar
Posting Komentar