Langsung ke konten utama

HISTORISITAS HIKMAH



Kajian Kesejarahan

1. Hikmah Dalam Ilmu Kalam


                Dalam perjalanan sejarah umat Islam, dapat dikatakan bahwa kajian tentang hikmah telah berjalan cukup lama. Para pakar masa lalu telah banyak menelurkan karya-karya besar untuk mengkaji persoalan ini. Kajian mereka tersebar dalam banyak tema yang berlainan. Mulai dari teologi (kalam), teori hukum Islam (ushul fikih), maupun dalam ranah hukum praktis (fikih) itu sendiri.


                Dalam teologi, kajian tentang hikmah dapat kita jumpai dalam perdebatan sengit antara dua aliran kalam, mu’tazilah dan sunni-Asy’ari. Terutama terkait dengan isu keadilan Tuhan, baik dan buruk, yang keduanya merupakan penjabaran tentang sifat penuh kearifan (hikmah) Allah.


                Teolog Mu’tazilah berpendapat, bahwa Allah harus berbuat baik dan bahkan yang terbaik (ash shalâh wa al ashlah) untuk makhluk-Nya, agar dapat dikatakan perbuatan-Nya mengandung hikmah. Hikmah adalah segala perbuatan Allah yang selaras dengan kemaslahatan dan kebaikan hambanya (baca: manusia). Allah tidak mungkin berbuat buruk, karena hal itu akan mengurangi segala kesempurnaan-Nya. Berbuat buruk adalah kezaliman dan bertentangan dengan keadilan-Nya. Padahal sudah menjadi kesepakatan bahwa Allah Maha adil, jadi Allah tidak mungkin berbuat buruk dan zalim.


Lantas bagaimana dengan fenomena determinis (kufur, zalim, keburukan, siksa, azab, keterbatasan, dan kekurangan) yang menimpa manusia......?


Apakah fenomena tersebut bukan akibat perbuatan Allah.....?


Lantas perbuatan siapa, jika Allah tidak mungkin berbuat buruk (zalim) kepada hambanya......?

         
       Dari sini mereka menawarkan konsep buatan (baca: bid’ah) mereka, bahwa yang menciptakan segala keburukan adalah manusia itu sendiri. Manusia menciptakan perbuatannya sendiri, baik yang taat ataupun yang maksiat, terlepas dari peran Allah di dalamnya. Karena, sekali lagi, Allah bersih dari perbuatan buruk.


         Sedangkan teolog sunni-Asy’ari, yang berangkat dari lembah Jabariah, memahami hikmah sama sekali tidak terkait erat dengan kesempurnaan dan kebebasan Allah. Allah bebas berkehendak, tidak dibatasi oleh baik dan buruk (menurut persepsi akal manusia). Allah tetap dikatakan adil, walaupun Ia menimpakan keburukan kepada hamba-Nya. Karena yang dinamakan adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sedangkan Allah senantiasa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Hal ini karena, Allah Mahatahu, bertindak dalam milik dan kekuasaan-Nya sendiri. Ia bebas melakukan apa saja, Ia tidak ditanya dan tidak dituntut atas perbuatan-Nya. Ia senantiasa berbuat adil, apapun bentuknya, baik ataupun buruk menurut pemahaman manusia. Dan hal itu tidak berpengaruh pada kearifan-Nya. Dalam segala perbuatan-Nya senantiasa terkandung hikmah (kearifan)-Nya.  Termasuk ketika Ia menyiksa seorang yang taat kepada-Nya, ataupun menganugerahkan nikmat kepada seseorang yang durhaka kepada-Nya. Secara nalar (hukum akal), dalam pandangan sunni-Asy’ari, Allah tetap dikatakan Mahaadil dan Bijak.


         Disinilah titik singgung antara dua aliran kalam di atas. Walaupun mereka berbeda dalam menjelaskan eksistensi hikmah, namun semua sepakat bahwa tindakan dan putusan Allah senantiasa mengandung hikmah. Ciptaan, perintah, dan larangan Allah tidak akan hampa dari hikmah. Karena Allah sendiri telah berfirman, “Dan tidaklah kami ciptakan langit dan bumi, dan segala yang ada di antara keduanya dengan main-main. Sekiranya kami hendak membuat sesuatu permainan (isteri dan anak), tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki berbuat demikian, (tentulah Kami telah melakukannya). Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil, lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaan bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya).” (Q.S. Al Anbiya’: 16-18).


         Dari perdebatan dua aliran teologi Islam ini, dapat kita simpulkan bahwa hikmah memiliki dasar-dasar yang kuat dalam keyakinan. Walaupun mungkin ada sedikit hal yang perlu diperdebatkan, namun hal itu tidak sampai merusak keyakinan akan eksistensi hikmah di balik ketentuan Allah. Jika kita sudah menemukan akar hikmah dalam kajian teologis, maka kita akan mencoba melihat bagaimana hikmah juga menjadi bagian kajian para pakar ushul fikih. Dengan demikian, kita akan sedikit mengerucutkan kajian ini ke dalam ruang yang lebih sempit.


2. Hikmah Dalam Ushul Fikih


          Hikmah juga sangat terkait dengan persoalan hukum. Di mana dalam menetapkan sebuah hukum, Allah senantiasa menyelipkan hikmah di dalamnya. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam firman Allah,


وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيَوٰةٌ يٰٓأُو۟لِى الْأَلْبٰبِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ :١٧٩


Dan dalam qishas itu terdapat (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Q.S. Al Baqarah: 179)


يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿المائدة:٩۰

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطٰنُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدٰوَةَ وَالْبَغْضَآءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّـهِ وَعَنِ الصَّلَوٰةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ ﴿المائدة:٩١

وَأَطِيعُوا۟ اللَّـهَ وَأَطِيعُوا۟ الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا۟ ۚ فَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا عَلَىٰ رَسُولِنَا الْبَلٰغُ الْمُبِينُ ﴿المائدة:٩٢


Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. jika kamu berpaling, Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (Q. S. Al Maidah: 90-92)


         Pemberlakuan qishas adalah untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat. Karena hanya dengan hukum semacam inilah pelaku kejahatan berat akan berpikir dua kali sebelum melakukan aksinya. Sedangkan larangan meminum minuman keras dan perjudian, adalah untuk melindungi akal dan harta agar terhindar dari malapetaka. Dalam dua kasus di atas, yang menjadi pendorong diberlakukannya hukum adalah menarik manfaat yang berupa perlindungan terhadap jiwa, akal, dan harta.


       Tujuan-tujuan semacam ini sebenarnya telah disadari sejak awal oleh para mujtahid. Walaupun mungkin mereka tidak mengkajinya secara utuh dalam kitab-kitab yang mereka karang. Hal ini dapat kita tilik dalam fenomena Asy Syafi’i. Bapak ushul fikih ini, menurut Dr. Yusuf Ahmad Muhammad Al Badawi merupakan tokoh awal yang mencoba memandang syariat dalam segi hikmah atau maqashid-nya. Untuk menguatkan pernyataannya ini, Badawi menyodorkan tiga argumen. Pertama, Asy Syafi’i sering berbicara perihal ‘illat hukum, dan mengklasifikasikan hukum menjadi yang bersifat ta’aqquli dan ta’abbudi. Kedua, aktif dalam menyuarakan pentingnya kaidah-kaidah kulliyat-universal. Dan ketiga  dalam proses penggalian hukum, Asy Syafi’i tidak pernah mengesampingkan tujuan-tujuan hukum. Alasan terakhir ini menemukan landasan kuatnya jika kita melihat riwayat yang dituturkan oleh Al Juwaini, bahwa Asy Syafi’i senantiasa mengkaji tujuan thaharah, puasa, haji, hudud, qadha, dan lain sebagainya.


       Setelah datang masa pembukuan secara besar-besaran dalam berbagai bidang keilmuan (‘ashr at tadwîn), kajian secara utuh dapat banyak kita jumpai. Para penerus mazhab mulai mengkajinya secara lebih mendalam, dan lengkap.


         Karenanya, menurut Ar Raisouni, sangat wajar jika pengkajian tentang hikmah syariah ini tidak menemukan dasarnya dari masa para sahabat. Namun kita dapat melihat bahwa hikmah sudah mulai dikait-kaitkan dengan syariah sejak para imam dari kalangan tabi’in merancang dasar-dasar mazhabnya. Walaupun mereka belum mengkajinya secara lebih spesifik, namun dalam berfikih mereka sudah menerapkan dasar-dasar maqashid-hikmah ini. Kajian tentang maqashid ini, dapat kita rasakan mulai menggeliat dan semarak sejak masa-masa dokumentasi pemikiran mazhab. Yakni pada abad kedua hingga abad keempat. Muncul tokoh-tokoh besar yang berusaha mengkajinya lebih mendalam. Tokoh-tokoh itu di antaranya adalah:


Al Hakim At Tirmidzi


        Beliau bernama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Ali At Tirmidzi (w. akhir abad ke-3 H.). Beliau tercatat sebagai orang pertama yang mempergunakan kata maqashid. Hal ini dapat dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Ash Shalât wa Maqhâshiduha, Hajj wa Asrârihi, Al Furûq, dan Ilâl Al ‘Ubudiyyah. Kapasitas intelektualnya dapat kita lihat dari gelar yang disematkan kepada beliau. Beliau dikenal sebagai seorang ahli fikih, ahli hikmah (filosof), dan juga seorang sufi. Dalam kitab Ash Shalât Wa Maqhâshiduha, Al Hakim menjelaskan hikmah-hikmah dari tata cara salat, mulai dari hikmah menghadap kiblat, hikmah takbir, dan seterusnya. Dalam menggali hikmah ibadah (shalat), Al Hakim lebih mengedepankan kebebasan pemikiran dan naluri, namun tetap menjaga keharmonisan akidah dan ibadah. Corak kajian yang dipakai dalam kitab ini merupakan hasil kolaborasi tradisi fikih, sufi, dan filsafat yang selama ini digelutinya. Kitab ini juga sudah dicetak dan tersebar secara luas di pasaran.


Al Qaffal Asy Syasyi


      Setelah Al Hakim menggulirkan ide tentang hikmah-hikmah shalat, muncul Abu Bakar Al Qaffal (w. 365 H.). Beliau telah menulis sebuah kitab dengan judul Mahâsin Asy Syarîah. Dalam kitab tersebut dijelaskan tujuan serta ‘illat dari hukum-hukum fikih mulai dari bersuci, salat, jamaah, hingga transakai jual beli. Dalam bagian akhirnya dijelaskan hikmah-hikmah dalam bab kriminal, kesaksian, dan hukum. Kitab ini sudah dicetak beberapa kali. Menurut Dr. Ar Raisouni manuskrip kitab ini ada di Turki dan Maroko. Kitab ini mendapat apresiasi yang sangat baik dari ulama sekaliber Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dan Abu Bakar Ibnu Arabi. Keduanya memuji karya Al Qaffal ini. Terutama Ibnu Qayyim yang merasa patut berterimakasih kepada Al Qaffal, yang telah menyudahi tesis-tesis muktazilah tentang baik dan buruk.


Abu Ja’far


         Selain Al Qaffal ada juga seorang ulama syiah yang juga disebut-sebut sebagai ulama yang mempromosikan maqhashid. Beliau adalah Abu Ja’far Muhammad bin Ali (w. 381 H.). Kitab terpenting beliau yang membahas isu-isu maqashid adalah kitab yang bertitel Ila Asy Syarâi’. Kitab berhaluan syiah ini, menjelaskan tentang illat-’illat hukum mazhab syiah.


Abu Hasan Al Amiri


        Pada era ini juga ada ulama yang concern selain Abu Ja’far. Beliau adalah Abu Hasan Al Amiri (w. 381 H.). Beliau adalah filsuf yang sangat intens dalam mengkaji maqhashid. Karyanya yang mengupas maqashid syariah terekam dalam kitab Al I’lâm Bi Manâqib Al Islâm. Salah satu isi terpenting dalam kitab itu adalah tentang dharûriyyat al khams yang kemudian menjadi prinsip maqashid syariah itu sendiri.


Al Juwaini dan Al Ghazali


       Gagasan yang dicetuskan Al Amiri mengilhami Abu Al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al Juwaini (w. 478 H.), guru dari Hujjatul Islam, Muhammad bin Muhammad Al Ghazali (w. 505 H.), untuk memetakan maqashid syariah menjadi kulliyah-universal dan juziyyah-parsial. Setiap satu dari kedua prinsip ini, dipetakan lagi menjadi lima prinsip, yakni hifzh ad dîn, hifzh an nafs, hifzh al mâl, hifzh an nasl, dan hifzh ‘aql. Pemetaan maqasid yang diakukan Al Juwaini tentang kulliyyah-universal dan juziyyah-parsial yang terangkum dalam kitabnya Al Burhân Fi Ushûl Al Ahkâm diteruskan oleh muridnya, Al Ghazali. Di tangan Al Ghazali kajian maqashid memiliki cakupan lebih luas, Al Ghazali memetakan maqashid syariah menjadi tiga 1) dharuriyyah (kebutuhan primer) 2) hajjiyyah (kebutuhan sekunder) 3) tahsiniyah (kebutuhan suplementer).


Dari tiga pemetaan di atas, Al Ghazali membagi lima kategori:


1. Hifzh ad dîn (melindungi agama). Agama sendiri mencakup akidah, ibadah, dan hukum-hukum untuk menjaga ketertiban hubungan manusia dengan tuhan, dan antar manusia itu sendiri. Dalam hal ini Islam mewajibkan setiap manusia untuk beriman, menetapkan dasar-dasar ibadah yang tercakup dalam rukun Islam, yang tujuan penetapannya tidak lain adalah untuk menegakkan agama, menancapkannya dalam hati setiap manusia dengan memerintahkan mereka untuk mengikuti hukum-hukum yang telah ditetapkan, mewajibkan dakwah (ajakan) untuk beragama, mengamankan dakwah agama dari ancaman musuh, dan menetapkan hukuman bagi para pengacau agama.


2. Hifzh an nafs (melindungi jiwa), dengan diterapkannya hukum pidana sebagai bentuk penjagaan terhadap jiwa-jiwa manusia.


3. Hifzh an nasl (menjaga keturunan), yakni dilegalisasinya nikah demi menjaga garis keturunan, juga diharamkannya zina karena merusak keturunan.


4. Hifzh al ‘aql (melindungi akal), yang diterapkan melalui diharamkannya khamr, dan adanya hak mendapat pendidikan.


5. Hifzh al mâl (melindungi harta), hak mendapat pekerjaan, disyariatkannya hukum potong tangan bagi pencuri.


Izzuddin bin Abdissalam


        Beliau bernama lengkap Abdul Aziz bin Abdis Salam bin Abil Qasim Ad Dimasyqi (577-660 H.). Dalam pemikiran maqashid, beliau adalah tokoh yang mencoba melihat syariat dari sisi maslahah dan mafsadah, pembagian keduanya, dan kaidah tarjih antara maslahat dan mafsadat. Kitabnya yang terkenal membahas maqashid adalah Qawâid al Ahkâm fî Mashâlih Al Anâm.


Al Qarrafi


        Ahmad bin Idris bin Abdurrahman Abul Abbas Syihabuddin Ash Shanhaji Al Qarrafi (w. 684 H.) adalah seorang pakar fikih, ushul, tafsir, dan maqashid dari mazhab Maliki. Di antara gurunya adalah Izzuddin bin Abdis Salam, seorang pemuka mazhab Syafi’i. Walaupun Al Qarrafi berguru pada seorang ulama bermazhab Syafi’i, beliau tetap bermazhab Maliki. Di sinilah uniknya kedua tokoh ini. Hal ini berbeda dengan kasus Imam Al Ghazali yang berguru kepada Al Juwaini, Ibnul Qayyim yang berguru kepada Ibnu Taimiyyah, yang berada dalam satu mazhab yang sama.


       Walaupun berbeda mazhab, Al Qarrafi dan Izzuddin memiliki ikatan batin dan intelektual yang sangat kuat. Dalam pemikiran maqashid, keduanya dapat dikatakan saling mengisi kekurangan masing-masing. Kitab beliau yang populer dalam mengkaji maqashid adalah Al Furûq.


Ibnu Taimiyyah


      Beliau bernama lengkap Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdis Salam bin Abdullah bin Abil Qasim bin Muhammad Ibnu Taimiyyah Al Harani Al Hanbali (661-728 H.). Dalam mengkaji setiap persolan Ibnu Taimiyyah memiliki kecenderungan melihatnya dari segi maqashidnya. Walaupun beliau tidak memiliki kitab khusus yang mengkaji tema maqashid, namun melihat konsen beliau dalam tema ini, dapat kita katakan bahwa beliau adalah tokoh maqashid juga. Pemikiran maqashid pada Ibnu Taimiyyah dapat kita lihat lebih lanjut dalam pemikiran muridnya, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah.


Ibnu Qayyim Al Jauziyyah


         Muhammad bin Abu Bakr bin Ayyub bin Sa’ad (691-751 H.). Murid paling setia dari Ibnu Taimiyyah Al Harani. Pernah dipenjara bersama gurunya dan dilepaskan setelah gurunya wafat. Di antara karangan beliau yang konsen terhadap persoalan maqashid adalah I’lâm Al Muwaqqi’în. Dalam kitab ini, beliau menuturkan bahwa dasar dari syariat adalah maslahat. Ketika mengkaji tema qiyas, beliau berpendapat bahwa seluruh ketentuan syariat tidak ada yang bertentangan dengan qiyas (logika).


Asy Syathibi


       Beliau bernama lengkap Abu Ishaq Asy Syathibi (w. 790 H.) hidup di wilayah Granada Andalus. Beliau sebenarnya bukan penulis yang produktif. Kitab Al I’tishâm merupakan karya populer keduanya yang tidak selesai hingga beliau wafat. Umurnya paling banyak dipakai untuk menuntaskan karya monumentalnya Al Muwâfaqat. Kitab yang terakhir ini memiliki judul asli ‘Unwan At Ta’rif Bi Asrari At Taklif. Secara umum Al Muwâfaqat dianggap sebagai kitab ushul fikih. Namun kalangan ushuliyyin sendiri, menganggapnya bukan murni kitab ushul fikih. Sebagian orang menilainya sebagai kitab ushul yang menggunakan pendekatan fikih, terutama aliran Hanafiyah. Ada juga yang menilainya sebagai kitab yang banyak menggunakan cara pandang pakar kalam. Namun yang paling mencolok adalah pendekatan maqashid yang mendapatkan porsi besar dalam banyak kajian kitab ini. Karena karyanya ini, beliau dianggap sebagai bapak maqashid.


Ad Dahlawi


       Nama lengkapnya Ahmad bin Abdurrahim bin Wajihuddin Al ‘Umri, Quthbuddin, Ad Dahlawi (1114-1176 H./1704-1766 M.). Lebih populer dengan nama Syah Waliyyulah. Ad Dahlawi adalah seorang ulama sufi kenamaan asal India yang alim dalam bidang tafsir, tata bahasa, fikih dan hadis. Dilahirkan dan wafat di Delhi. Karya yang berjudul Hujjat Allah Al Bâlighah merupakan karya beliau yang secara serius mengkaji tema maqashid (hikmah). Dalam kitab tersebut dipaparkan secara mendetil hikmah-hikmah dalam seluruh bab-bab dalam kitab fikih. Metode yang dipakai dalam analisanya adalah pendekatan metafisik dan logika.


Ibnu ‘Asyur


        Nama lengkapnya Muhammad Thahir bin Muhammad Syadzili bin Abdul Qadir bin Muhammad Thahir bin ‘Asyur (1296-1381 H./1879-1961 M.). Lebih dikenal dengan Thahir bin ‘Asyur. Lahir di Tunis tahun 1296 H./1879 M. Ibnu ‘Asyur adalah seorang ulama besar di negaranya, ahli tafsir dan ahli fikih mazhab Maliki. Karya fenomenalnya adalah tafsir At Tahrîr wa Tanwîr dan Maqâshid Asy Syarî’at. Kitab yang terakhir inilah yang mengorbitkan nama beliau sebagai tokoh maqashid abad modern.


Al Jurjawi


       Bernama lengkap Ali Ahmad Al Jurjawi. Seorang guru di Universitas Al Azhar. Karangan beliau yang terkenal adalah Hikmat At Tasyrî’ Wa Falsafatuhu. Dalam kitab ini beliau mencoba mengkombinasikan cara pandang kontemporer dan klasik. Cara pandang kontemporer dapat kita lihat dalam kasus hikmah puasa dari segi kesehatan, zakat sebagai jaminan keamanan, dan perbandingan peradilan Islam dan sekuler.


         Bila diperhatikan, corak kajian Al Jurjawi sangat mirip dengan Ad Dahlawi. Di mana keduanya secara langsung mengkaji unsur-unsur hikmah yang terkait dengan syariat. Dan, walaupun Al Jurjawi dan Ad Dahlawi tidak populer sebagai ulama ushul, namun karena karya mereka merupakan bentuk aplikasi kaidah maqashid yang merupakan tema khusus kajian ushul, maka sangat tepat memasukkan mereka beserta karya tulis mereka dalam mata rantai maqashid. Dengan alasan ini pula, kita dapat memasukkan karya Al Qaffal Asy Syasyi, dan Al Hakim At Tirmidzi dalam rangkaian tema maqashid.


          Dalam ushul fikih, kajian tentang maqashid ini sangat terkait dengan kajian hikmah karena secara tidak langsung maqashid merupakan hikmah itu sendiri. Dengan mengetahui kesejarahan kajian maqashid, maka kita juga telah mencoba melacak segi kesejarahan kajian hikmah, terutama dalam ranah ushul fikih.


          Dalam ranah ushul fikih, pada awalnya hikmah merupakan bagian dari kajian qiyas. ‘Illat yang menjadi titik temu antara dua persoalan; lama dan baru, harus mengandung hikmah-kemaslahatan. Hal ini berdasarkan pendapat mayoritas ulama bahwa Allah tidak memberlakukan sebuah ketentuan, kecuali untuk kebaikan hamba-Nya. Kebaikan itu dapat berupa menarik sebuah kemanfaatan atau menghindarkan dari mara bahaya yang mengancam. Menarik manfaat atau menghindarkan dari mara bahaya adalah tujuan puncak dan agung dari sebuah penerapan hukum, yang dalam bahasa sederhana disebut dengan hikmah. Namun demikian, ketika hikmah cenderung tidak pasti dan relatif, maka dibutuhkan standar pasti yang dapat menyertai sebuah hukum. Ketika standar itu ada maka timbullah hukum, ketika standar itu hilang maka hukum juga hilang. Standar itu dikenal dengan nama ‘illat. Dengan demikian, hukum tidak lagi terkait dengan hikmah, melainkan dengan ‘illat¬-nya. Hukum akan terwujud dengan adanya ‘illat tersebut, walaupun mungkin sudah tidak lagi terdapat hikmah di dalamnya.


          Namun, menurut Abdul Wahhab Khalaf, di antara syarat ‘illat yang telah disepakati para ulama adalah adanya kesesuaian antara sifat yang diplot sebagai ‘illat, dengan tujuan hukum atau hikmah. Hal ini karena pada dasarnya, yang menjadi tujuan penetapan sebuah hukum adalah hikmah itu sendiri yang berupa menarik manfaat dan menghindarkan dari kerusakan. Sehingga sudah menjadi kewajaran, bahkan keharusan, akan adanya kesesuaian antara keduanya. Melakukan qiyas dengan berdasar pada sifat (yang ditetapkan sebagai ‘illat) yang tidak memiliki keserasian dengan tujuan hukum dianggap tidak sah. Sifat semacam ini sering disebut sebagai sifat-sifat yang terbuang (al aushâf ath thardiyyah). Melakukan qiyas dengan menggunakan sifat yang sesuai dengan tujuan hukum, namun ternyata dalam sebagian kasus terdapat hal baru yang merusak kesesuaian itu, maka juga dianggap tidak sah.


3. Hikmah Dalam Ranah Praktis-Partikularistik


        Jika kita sudah membahas hikmah dalam kerangka ushul fikih, maka dalam sub ini kita akan melihat sedikit tentang kaitan hikmah dengan hukum praktis-partikularistik (fikih). Hikmah sebagai makna yang tersembunyi dalam ajaran Allah, senantiasa memunculkan polemik yang tak kunjung henti. Term yang sering dipakai dalam fikih adalah apakah ajaran Allah itu pada dasarnya ma’qûl al ma’nâ atau ghairu ma’qûl al ma’nâ, ta’abbudi atau ta’qquli. As Suyûthi dalam Asybâh Wa An Nazhâir-nya menukil dari sebagian ahli mengatakan, ketika seorang ahli fikih tidak mampu memberikan alasan hukum, maka ia akan menyebutnya ta’abbudi. Ketika pakar nahwu tidak mampu menalar sebuah ketentuan nahwiah, maka ia akan mengatakan sima’i. Sedangkan ketika hakim tidak menemukan alasan untuk suatu ketentuan pada pihak tertentu, maka ia akan menyebutnya sebagai kekhususan.


              Dengan demikian konsep ta’abbudi dalam fikih berangkat dari ketidak mampuan seorang ahli untuk melakukan penalaran lebih lanjut. Dari sini dapat dipahami jika keterbatasan kemampuan manusia, menyebabkan keberadaan ajaran Allah, meminjam bahasa Quraisy Shihab, berada di ruang supra-rasional, dalam arti sebenarnya ajaran itu logis namun akal kita tidak mampu menjangkaunya. Maka dengan menyadari (keterbatasan) ini tidak seharusnya batas-batas yang belum mampu dijangkau nalar, dipaksa agar dapat dikonsumsi oleh nalar manusia yang lemah. Mengatakan semua ajaran agama bersifat rasional adalah terlalu memaksakan kehendak. Karena sebagian ajaran agama ada yang bersifat supra-rasional. Jadi apakah dalam Islam ada ajaran yang tidak rasional? Jawaban yang dapat kita suguhkan adalah tidak ada. Yang ada adalah ajaran yang supra-rasional, yang belum dapat dijangkau oleh nalar.


            Walaupun demikian, dengan bergulirnya waktu, sedikit demi sedikit, ajaran itu mulai difahami oleh manusia. Dan di era kontemporer ini, dengan kecanggihan dan penemuan-penemuan ilmiah, banyak aturan yang telah sedikit tersingkap rahasianya. Namun misteri yang ada tetap lebih besar dari pada yang telah terungkap. Karenanya dalam hal ini, rahasia yang telah terungkap itu tidak selayaknya dijadikan patokan utama dalam penetapan keputusan. Sebagaimana yang dipegangi mayoritas pakar ushul, hikmah tidak dapat dijadikan standar penetapan hukum. Sehingga hikmah dalam hal ini hanya berperan sebagai pemantap bahwa ajaran Allah senantiasa mengandung manfaat. Persoalannya sekarang, bagaimana fikih menyikapi tindakan-ibadah yang didorong oleh hikmah atau manfaat itu sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JIHAD DALAM PERSPEKTIF PESANTREN

Konsepsi Humanis Gerakan Pembebasan Melalui utusan-Nya, Muhammad saw. Allâh menurunkan Islam sebagai syariat bagi seluruh umat yang berakal. Sebuah risalah yang paripurna menjadi pedoman universal mencapai prospek harmonis kehidupan duniawi-ukhrowi (sa'âdah ad-dâroin). Islam memandang dunia bukanlah sebagai obsesi kebahagiaan terakhir, tetapi merupakan awal episode menuju kehidupan panjang tanpa batas akhir. Penciptaan alam semesta adalah karunia Allâh yang disediakan sebagai fasilitas kehidupan manusia di dunia. Diperlukan lima elemen pokok (dlorûri) untuk mengawal keberlangsungan kehidupan duniawi yang ideal, yakni agama, nyawa, akal, keturunan dan harta. Islam hadir untuk melindungi lima kebutuhan elementer tersebut, maka Islam mewajibkan jihad guna melindungi agama sekalipun nyawa sebagai tawarannya. Nyawa harus dilindungi meski harus mengorbankan akal. Demikian juga keturunan harus dilindungi meski mempertaruhkan harta.  Legislasi jihad dalam Islam buk...

Do'a Dalam Bahasa Jawa

Do'a adalah senjata para mukmin, do'a juga ibadah bagi hamba sebagai manifestasi kedudukan abdullah (hamba Allah). Pada masa penjajahan dan awal kemerdekaan Indonesia, Banyak para Alim Ulama’ dan Kyai yang mengajarkan do’a dengan redaksi bahasa Jawa. Tentang do'a-do'a berbahasa Jawa, al-Maghfurlah Romo KH. Ahmad Idris Marzuki, Lirboyo, pernah dawuh: “Koe ki nek nompo dungo-dungo Jowo seko kiai sing mantep. Kae kiai-kiai ora ngarang dewe. Kiai-kiai kae nompo dungo-dungo Jowo seko wali-wali jaman mbiyen. Wali ora ngarang dewe kok. Wali nompo ijazah dungo Jowo seko Nabi Khidlir. Nabi Khidlir yen ketemu wali Jowo ngijazaji dungo nganggo boso Jowo. Ketemu wali Meduro nganggo boso Meduro.” (Kamu jika mendapat do'a-do'a Jawa dari kiai yang mantap, jangan ragu. Kiai-kiai itu tidak mengarang sendiri. Mereka mendapat do'a Jawa dari wali-wali jaman dahulu. Wali itu mendapat ijazah do'a dari Nabi Khidlir. Nabi Khidlir jika bertemu wali Jawa memberi ijazah do'...

SUFISME (Tarekat / Thoriqoh)

Manhaj Esoterisme Mistikus dan Ketegangan Dimensional  Iman, Islam dan ihsan adalah trilogi ad-dîn yang membentuk tiga dimensi keagamaan meliputi syarî'ah sebagai realitas hukum, tharîqah sebagai jembatan menuju haqîqah yang merupakan kebenaran esensial. Ketiganya adalah sisi tak terpisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa Muhammad saw. yang menghadirkan kesatuan aspek eksoterisme dan esoterisme. Islam mengandung kedua aspek tersebut sekaligus. Wilayah eksoterisme meliputi persepsi moral dan hukum formal-institusional, sedangkan esoterisme meliputi hikmah transendental dan kesatuan mistis yang keduanya adalah syariat atau hukum agama.  Meskipun dikotomis antara eksoterisme dengan esoterisme telah diungkapkan oleh aL-Qur'ân sendiri melalui ketokohan Musa dan Hidlir, di mana Musa dikisahkan sebagai tokoh eksoterisme yang tidak bisa memahami makna di balik sikap dan perilaku Hidlir yang digambarkan sebagai tokoh yang memiliki hikmah esoterisme, namun k...

Inovasi Karya Anak Bangsa Gas Alternatif

Sulit cari gas..? Ini bisa jadi alternatif. Kompor uap bensin, solusi hemat di tengah krisis gas LPG. Sistem kerjanya menggunakan pompa udara aquarium yg ditiupkan melalui selang input ke dalam jerigen atau botol. Semacam blower lah. Uap bensin dari dalam botol akan keluar melalui selang output menuju kompor gas. 1 liter bensin premium/pertalite/pertamax, pemakaiannya bisa setara dengan tiga tabung gas LPJ 3 kg. 

KAJIAN PESANTREN (Tradisi Dan Adat Masyarakat Yang Dianggap Bid'ah Serta Tanpa Dalil)

PENGERTIAN SELAMETAN ATAU HAUL Haul berasal dari bahasa arab : berarti telah lewat atau berarti tahun. Masyarakat Jawa menyebutnya (khol/ selametan ewong mati) yaitu : suatu upacara ritual keagamaan untuk memperingati meninggalnya seorang yang ditokohkan dari para wali, ulama’, kyai atau salah satu dari anggota keluarga. Rangkaian Acara Selametan atau Haul 1. Khotmul Qur’an yaitu membaca al-Qur’an 30 juz (mulai dari juz 1 s/d juz 30). Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 5, hal. 258. menegaskan. ﻳُـﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَـﻤْﻜُﺚَ ﻋَﻠﻰَ ﺍْﻟﻘَﺒْﺮِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺪُّﻓْﻦِ ﺳَﺎﻋَـﺔًﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟِﻠْﻤَﻴِّﺖِ ﻭَﻳَﺴْـﺘَـﻐْﻔِﺮُ ﻟَﻪُ . ﻧَـﺺَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍَﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻰُّﻭَﺍﺗَّﻔَﻖَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍَﻻَﺻْﺤَﺎﺏُ ﻗَﺎﻟﻮُﺍ : ﻳُـﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَـﻘْﺮَﺃَﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺷَﻴْﺊٌ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻘُﺮْﺃَﻥِ ﻭَﺍِﻥْ ﺧَﺘَﻤُﻮْﺍ َﺍْﻟﻘُﺮْﺃَﻥَ ﻛَﺎﻥَﺍَﻓْﻀَﻞُ . ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ 5: – 258 Artinya “Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendap...