Manhaj Esoterisme Mistikus dan Ketegangan Dimensional
Iman,
Islam dan ihsan adalah trilogi ad-dîn yang membentuk tiga dimensi
keagamaan meliputi syarî'ah sebagai realitas hukum, tharîqah sebagai
jembatan menuju haqîqah yang merupakan kebenaran esensial. Ketiganya
adalah sisi tak terpisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa Muhammad
saw. yang menghadirkan kesatuan aspek eksoterisme dan esoterisme. Islam
mengandung kedua aspek tersebut sekaligus. Wilayah eksoterisme meliputi
persepsi moral dan hukum formal-institusional, sedangkan esoterisme
meliputi hikmah transendental dan kesatuan mistis yang keduanya adalah
syariat atau hukum agama.
Meskipun dikotomis antara eksoterisme dengan esoterisme telah diungkapkan oleh aL-Qur'ân sendiri melalui ketokohan Musa dan Hidlir, di mana Musa dikisahkan sebagai tokoh eksoterisme yang tidak bisa memahami makna di balik sikap dan perilaku Hidlir yang digambarkan sebagai tokoh yang memiliki hikmah esoterisme, namun kedua aspek ini bersatu dalam risalah nubuwwah Muhammad. Sebagai bukti, banyak hadits-hadits yang harus dihindari dari penafsiran eksoterisme seperti sabda Nabi; "barang siapa melihatku, niscaya melihat Tuhan (Kebenaran). Oleh karena itu, sejak lahirnya, Islam mengajarkan keseimbangan antara dua aspek ini, karena penerapan esoterisme secara total dengan meminimalkan atau bahkan mengabaikan eksoterisme merupakan tindakan membahayakan, sebab pada ujungnya sikap demikian praktis akan mendorong pada pemutlakan sesuatu yang relatif. Eksoterisme sebuah kebenaran tanpa disertai esoterisme merupakan kemunafikan (hipokritis), begitu juga esoterisme tanpa didukung eksoterisme adalah klenik. Jadi, dalam syariat Islam semata-mata formalitas adalah tiada guna, sedangkan spiritualitas belaka adalah sia-sia. Belakangan, penghayatan konkret dari aspek esoterisme Islam ini dikenal dengan sufisme. Yaitu suatu doktrin yang berorientasi pada nilai kebijakan dan akhlak yang merupakan pengejawentahan dari dimensi ihsan (estetika) yang merupakan puncak dari prestasi amaliah syariat.
Namun dalam perkembangannya, ajaran yang disebut tasawuf ini menjadi jalan (manhaj) kontroversial yang menuai kritik, hujatan bahkan pengkafiran —yang ironisnya— dari umat Islam sendiri, entah karena kedangkalan mereka dari paham esoteris atau justeru karena memang kesalahan penempuh jalan ini sendiri yang cenderung abai dengan aspek eksoterisme dalam suluknya, sehingga lekat dengan nuansa dan corak kemusyrikan yang tidak bisa dimaafkan. Lebih dari itu, dalam era modern ini, sufisme masih saja mendapat tantangan luar biasa, bahkan dalam tradisi akademik, sufisme masih dipandang sebagai penghambat kemajuan Islam, dan pada klimaksnya, giliran kasus-kasus tragedi runtuhnya intelektualisme Islam, tak ayal tudingan mengarah telak ke tokoh-tokoh sufi, seperti aL-Ghazâly yang dituduh sebagai 'penyembelih ayam bertelur emas' setelah menyerang filsafat dengan Tahafut aL-Falasifahnya dan mengubah haluan hidupnya ke dunia sufisme.
Di antara ajaran esoterisme yang menjadi kontroversi adalah doktrin yang menyangkut tauhid seperti doktrin hulûl, ittihâd, wahdahtul wujud atau manunggaling kawula-Gusti yang dipahami begitu saja secara naïf dan dangkal sebagai kesesatan, dan sejumlah praktek-praktek prinsip keruhanian (thariqah) sufi yang dinilai menjadi biang yang meruntuhkan supremasi Islam dalam kancah horizontal. Lembaran sejarah telah menjadi saksi sejumlah 'pahlawan' sufi yang menjadi 'korban' ketegangan dimensi esoteris dan eksoteris ini.
Sebagai langkah ihtiar mendamaikan kontroversi dua dimensi ekstrim yang tak kunjung reda itulah, dengan bismillâh, tulisan ini akan berusaha mengkaji dan merambah manhaj sufisme untuk tabayyun (pelurusan) kesalahpahaman persepsi terhadap dunia tasawuf sekaligus sikap apologis terhadap kebenaran, sehingga bisa diketahui hakikat manhaj esoterisme dalam ranah keagamaan yang sesungguhnya. Insyâ Allah.
DEFINISI DAN HISTORIS LAHIRNYA SUFISME
Secara
tinjauan literal semantik, istilah sufisme (tashowwuf) disinyalir
berasal dari derivasi kata Arab ash-shofâ' yang berarti bening atau
jernih sebagai simbol langkah mistikus yang menempuh jalan penyucian
nurani. Rasûlullâh saw. bersabda;
"Kejernihan
dunia telah sirna dan tinggallah kekeruhannya, maka hari ini, kematian
adalah penghargaan bagi setiap Muslim". (HR. Ad-Dâruquthny)
Atau
berasal dari ash-shuffah yang dinisbatkan pada Ahli Shuffah (serambi),
yaitu sekitar 400 sahabat Muhâjirîn yang fakir dan tidak memiliki tempat
tinggal dan sanak keluarga di masa Nabi yang menentap dan beribadah di
masjid Nabi, Madinah. Atau berasal dari ash-shaff (barisan) yang seolah
hati mereka berada di barisan terdepan dalam kehadiran di hadapan
Allah. Namun pendekatan isytiqâqy (derivasi) ash-shûfiy (sufi) pada
ketiga kata tersebut, menurut aL-Qusyairy dinilai tidak tepat secara
teori analogi harfiah. Sebab jika dari ash-shofâ' sangat jauh bentuk
subjek (fâ'il)-nya menjadi ash-shûfiy, jika dari ash-shuffah maka
menjadi ash-shafwiy, dan jika dari ash-shaff (barisan) —meskipun
memiliki kebenaran secara makna, namun— kata ash-shûfiy bukanlah bentuk
subjeknya. Bahkan menurutnya, sufisme juga tidak berasal dari akar kata
ash-shaûf (wol), sebab pakaian tersebut bukan performance asli kaum
sufi. Jadi menurut aL-Qusyairy, sebutan ash-shûfiy diberikan lebih hanya
sebagai gelar (laqab). Namun menurut Ibn Khaldûn, kendati ash-shaûf
bukan pakaian khusus para mistikus, namun karena keidentikan tradisi
mereka yang menggunakan pakaian dari wol sebagai ekspresi kezuhudannya,
istilah tashowwuf lebih dekat berasal dari akar kata ash-shaûf. Meski
demikian, acuan paling mendasar etimologis sufisme, sebenarnya lebih
berasal dari sikap mistikus yang secara total berusaha memadamkan hasrat
duniawi dari kehidupannya dengan menenggelamkan seluruh himmahnya dalam
samudera ukhrowi. Lantaran itulah kaum mistikus cukup dikenal dengan
sebutan ash-shûfiy dan tidak perlu mencari analogi atau turunan akar
kata untuk sebutan mereka.
Adapun sufisme secara terminologis, tampaknya terlalu naïf konstelasi keruhanian yang maha samar sekaligus konkret ini untuk dibatasi dengan kosa-kata. Sebab sekalipun ia telah menjadi bagian dari epistomolgi, namun ia bukanlah berupa gerak lahir dan bukan pengetahuan, melainkan pengalaman dan kebijakan. Muhammad aL-Jurairy mengatakan; tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak tercela. aL-Junaid mengatakan; tasawuf adalah perang ('inwah) tanpa kompromi, dan para sufi adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka. Kaum sufi seperti bumi, segala kotoran dilemparkan kepadanya, namun tidak akan tumbuh (keluar) darinya selain kebaikan. Ia juga diinjak oleh orang shaleh sekaligus para pendosa. Kaum sufi bagaikan mendung yang memayungi segala yang ada, seperti hujan yang menetesi segalanya. Seorang sufi yang menaruh kepedulian dengan penampilan lahiriahnya, ketahuilah sesungguhnya batinnya telah rusak. Sahl bin Abdullâh aL-Tustary mengatakan; sufi adalah seorang yang memandang darah dan hartanya halal tumpah dengan gratis. Asy-Syibly mengatakan; para sufi adalah anak-anak di pangkuan aL-Haqq. Abû Ya'kûb aL-Mazâbily mengatakan; tasawuf adalah keadaan di mana seluruh atribut kemanusiaan terhapus. Ibn aL-Jallâ' ditanya tasawuf menjawab; kita tidak bisa mengenal mereka melalui pra-syarat ilmiah, namun kita tahu bahwa seseorang yang miskin, tidak memiliki sarana duniawi dan hanya bersama Allah tanpa terikat pada suatu tempat tetapi Allah tidak menghalangi mereka mengenali setiap tempat, maka disebut sufi.
Demikianlah sebagian mistikus mengilustrasikan konstelasi sufisme dan berbicara tentang arti tasawuf berdasarkan pengetahuan, pengalaman, kondisi ruhani (hâl) dan intuisi (dzauq)-nya sendiri-sendiri. Definisi tersebut tidak menjelaskan tasawuf yang sebenarnya, melainkan hanya sebatas petunjuk. Tasawuf tidak dapat dipahami dengan persepsi atau filosofi apapun. Hanya kearifan hati yang sanggup memahami dimensinya karena membutuhkan pengalaman ruhani yang tidak bergantung pada metode-metode indera ataupun pemikiran. Namun pada dasarnya, tasawuf adalah sebuah manhaj nurani yang dibangun di atas kebijakan-kebijakan yang hanya bisa dilewati bukan melalui teori-teori semata melainkan ilmu dan amal dengan melepaskan (takhollî) baju kenistaan dan mengenakan (tahallî) jubah keagungan, sehingga Allah hadir (tajallî) dalam setiap gerak-gerik dan perilakunya, dan inilah manifestasi konkret dari ihsan dalam sabda Rasûlullâh saw.;
"Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia melihatmu".
Pada
masa awal Islam, sufisme tidak dipandang sebagai dimensi batin
(esoteris) dari ajaran Islam seperti yang berlangsung pada masa
belakangan, melainkan ia dipandang sebagai Islam itu sendiri. Bahkan,
dalam rangka meremehkan kebangkitan aspirasi manusia pasca fase pertama
perkembangan Islam, kalangan sufi mengatakan; "pada awalnya, sufisme
merupakan sebuah realitas tanpa nama, sedang sekarang ini, merupakan
sebuah nama tanpa realitas".
Jika ditilik dari sejarahnya, kelahiran tasawuf menjadi sisi esoteris ajaran Islam secara independen, lebih karena sugesti kondisi sosial pada kurun kedua dan setelahnya, di mana arah peradaban manusia nyaris menjadi materialistik dan gersang dari keshalehan spiritual. Dalam suatu masyarakat yang sering terancam oleh kekacauan (fawdla/chaos) karena fitnah-fitnah (dimulai dengan pembunuhan Utsmân) seperti itu, dan teritorial kekuasaan yang sedemikian luas dan heterogen, sementara undang-undang, peraturan dan ketertiban serta keamanan adalah nilai-nilai yang jelas fital, maka keshalehan pun banyak dinyatakan dalam ketaatan terhadap ketentuan hukum formal. Keshalehan demikian —betapapun ia tidak bisa diabaikan— akan banyak berkaitan dengan tingkah laku lahiriah manusia dan hanya secara parsial berurusan dengan hal-hal batiniah. Dengan kata lain, orientasi fiqh dan syariat lebih mengarah kepada eksoterisme dan mengabaikan esoterisme yang lebih mendalam.
Dengan demikian, lahirlah tasawuf yang mengisi 'zona kosong' yang dicampakkan kalangan fuqohâ dan mutakallimîn guna menyelamatkan mereka yang tenggelam dalam kemegahan duniawi. Kelahiran tasawuf yang menjadi oposisi peradaban materialistis itu, tentu kehadirannya memberikan perhatian serius yang berorientasi pada persoalan batini tanpa melupakan adab-adab formal syara'. Sebab tidak ada tasawuf tanpa fiqh, karena hukum-hukum dhohir tidak bisa dimengerti tanpa fiqh, dan tidak ada fiqh tanpa tasawuf, sebab amaliah hanya berarti bila dengan kebenaran tawajjuh, serta fiqh dan tasawuf tidak akan ada tanpa iman, sebab keduanya batal tanpa dibangun di atas keimanan.
Oleh karena itulah Imam Mâlik mengatakan;
"Barang
siap menjalani tasawuf tanpa fiqh, maka dia telah zindiq, barang siapa
memegang fiqh tanpa tasawuf, maka dia telah fasiq, dan barang siapa
menyatukan keduanya, maka dia telah menemukan kebenaran".
Maka
jelaslah, bahwa kelahiran tasawuf adalah mengembalikan dimensi batini
(ihsan) yang sempat hilang dari ranah keagamaan masyarakat Islam.
Dunia tasawuf mengalami pasang surut yang luar biasa dalam historis Islam. Secara empiris, latar belakang yang meruntuhkan supremasi tasawuf dalam ilmu-ilmu Islam di antaranya adalah intelektualisme-skriptural yang stagnan dan faktor politik yang memanfaatkan ajaran agama dan golongan-golongan keagamaan untuk kepentingan kekuasaan. Sedangkan yang membangkitkan kembali supremasi tasawuf dalam dunia Islam antara lain, ketika doktrin-doktrin formalitas tekstual gagal dalam menghayati spirit paling agung dalam aL-Qur'ân dan As-Sunnah, mereka menengok kembali khazanah tradisional generasi awal untuk menggali nilai-nilai etik-estetik bagi pencerahan spiritualisme kontemporer. Dari sinilah kemudian tampil sejumlah tokoh sufi yang merumuskan doktrin-doktrin sufisme yang menjadi katalisator kemajuan dunia tasawuf sekaligus yang memunculkan paham-paham kontroversial, seperti Biyazid aL-Bashthâmy dengan doktrin fanâ'nya, aL-Junaid aL-Baghdâdy dengan paham ma'rifat ittihâdnya, aL-Hallaj dengan paham hulûlnya, Ibn Araby dengan wahdatul wujudnya, Siti Jenar dengan manunggaling kawula-Gustinya, Hasan aL-Bashry dengan raja' khaufnya dan Rabî'ah aL-Adawiyyah dengan mahabbahnya.
MANHAJ TITIAN SUFISME
Dalam
ritus tasawuf, para sufi mendahulukan pemahaman keruhaniannya melalui
tahapan-tahapan atau fase-fase (martabat) untuk mencari Tuhannya. Secara
global, manhaj dan fase-fase tersebut akan diketengahkan dalam kajian
ini yang diharapkan bisa membantu memberikan klarifikasi dan meluruskan
kesalahpahaman tauhid serta menguak tabir rahasia para sufi dalam
menyelami ekstasis, yang terkadang menimbulkan polemik dan absurditas.
Seperti memasuki ritus amaliah dalam tataran syariat harus melalui kesucian fisik dari unsur najis dan hadats, maka taubat dari unsur dosa merupakan pintu gerbang yang pertama kali harus dilewati dalam memasuki zona keruhanian (tasawuf) ini. Inilah yang membedakan orientasi sufi dan filsuf. Jika para filsuf sibuk menajamkan akal untuk menjelaskan sifat-sifat Tuhan, maka kaum sufi berusaha membersihkan hatinya agar bisa menyaksikan Tuhan.
Setelah memasuki gerbang taubat ini, selanjutnya harus melewati jembatan demi jembatan, tanjakan demi tanjakan (tharîqah) sebagai jalan mistik yang akan mengantarkan pada titik puncak kebenaran (haqîqah) sehingga menerima limpahan ma'rifah dan musyâhadah atau gnosis yakni pengalaman kesatuan dengan Yang Ilâhi. Tujuan perjalanan ini adalah untuk mencapai gunung dari cahaya gnosis dalam hati yang terdalam. Seorang penyair sufi mengatakan, "Kalau kita bisa membelah setetes air (memasuki hati), kita akan mendapatkan tujuh samudera (pengalaman menyatu dengan Yang Ilâhi). Cahaya gnosis itu ada dalam hati manusia, yang hanya bisa didapat lewat perjalanan hati dan cinta. Jiwa para pecinta senantiasa merindukan perjumpaan dan memandang wajah Allah yang Maha Agung. Melalui jalan kerinduan (al-'isyq) inilah para mistikus mencari perjumpaan dengan aL-Haqq.
"Orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya". (QS. aL-Baqarah : 46)
Tentang
kerinduan ini, Jalâluddîn Ar-Rûmy menggambarkan sebagai kerinduan
seruling untuk bersatu kembali pada rumpun bambu yang merupakan asal
muasal ia tercipta. Hidup di dunia merupakan perpisahan yang sangat pilu
bagi para pecinta, mereka rindu sekali kepada Rabbnya seperti seseorang
yang merindukan kampung halamannya sendiri yang merupakan asal-usulnya.
Jiwa para pecinta selalu dipenuhi keinginan untuk melihat Allah swt.
dan itu merupakan cita-cita sepanjang hidupnya. "Shalat adalah mi'râjnya
orang beriman". Begitulah sabda Nabi saw. untuk menisbatkan kualitas
shalat bagi para pecinta yang merupakan puncak pengalaman ruhani di mana
ruh para pecinta akan naik ke Sidratul Muntahâ, tempat tertinggi di
mana Rasûlullâh diundang langsung untuk bertemu dengan-Nya. Seorang
aqwiyâ' (orang-orang yang kuat kecintaannya pada Allah) akan menjalankan
shalat sebagai media untuk melepaskan rindu-dendam mereka kepada
Rabbnya, sehingga shalat menjadi ritual paling menyenangkan dan bukannya
sebagai tugas atau kewajiban yang sifatnya memaksa. Mereka kerap
menangis dalam shalat dengan kucuran air mata sebagai ungkapan kerinduan
sekaligus kebahagiaan saat berjumpa dengan-Nya di dalam shalat.
Dalam menempuh jalan mistik guna memperoleh kenyataan Tuhan (tajallî), ahli sufi berusaha melalui latihan-latihan dan perjuangan (mujâhadah) dengan menempuh tiga amaliah sekaligus. Yakni syarîah, tharîqah dan haqîqah. Amaliah syariat difungsikan untuk kebaikan indrawi (dhowâhir), thariqah untuk kebaikan hati (dlomâ'ir) dan haqîqah untuk kebaikan sarira/ruh (sarô'ir). Implementasi amaliah syarîah diwujudkan dalam tiga prinsip, yaitu taubat sesuai syarat-syaratnya, takwa sesuai rukun-rukunnya dan istiqomah dengan segala variannya. Tharîqah juga diwujudkan dengan tiga prinsip, yaitu ikhlas, shidiq dan thuma'ninah (ridlo), demikian juga haqîqah diwujudkan dengan tiga prinsip, yaitu muroqqobah, musyâhadah dan ma'rifah. Dengan kata lain, syariat diwujudkan dalam kepatuhan terhadap perintah dan larangan, thariqah diwujudkan dengan takhollî dan tahallî, sedangkan haqîqah diwujudkan dengan penyucian budi dengan pembinaan pakerti. Apabila anggota lahir telah bersih dengan siraman cahaya syariat, maka dilanjutkan dengan amaliah batin (thariqah) dengan melepaskan sifat-sifat kemanusiawian sehingga akan menyandang sifat-sifat keruhanian, yakni adab hamba bersama kehadiran Tuhan. Pada titik ini, maka sampailah pada maqam nihâyah, yakni;
"Fanâ' dalam ke-baqâ'-an Allah dan lenyap dalam kehadiran-Nya."
Yakni
suatu keadaan kalbu dalam penyaksian tauhid yang lebur (fanâ') dari
penyaksian kepada makhluk dan baqâ' dalam penyaksian terhadap aL-Haqq.
Kondisi kalbu yang sirna dari makhluk dalam kehadiran bersama aL-Haqq.
Strata Keimanan dalam Perspektif Tasawuf
Dalam
perspektif sufi, maqam keimanan seseorang diklasifikasikan ke dalam
tiga strata. Maqam mubtadî', mutawassith dan muntahî. Strata pertama
adalah keimanan seseorang yang memahami kalimat lâ ilâha illâ Allâh
dengan; lâ ma'bûda illâ Allâh. Yakni sebuah tingkatan keimanan yang
menyatakan bahwa satu-satunya yang berhak disembah hanyalah Allah, dan
inilah maqam syariat. Strata kedua (mutawassith) adalah keimanan
seseorang yang memahami kalimat lâ ilâha illâ Allâh dengan; lâ maqshûda
illâ Allâh. Yakni tingkatan keimanan yang menyatakan bahwa satu-satunya
yang berhak menjadi arah tujuan hanyalah Allah, dan inilah maqam
thariqah. Dalam kedua strata keimanan ini (syariat dan thariqah), masih
terdapat dualitas eksistensi (wujud), yaitu wujud aL-Khâliq sebagai
pihak yang disembah (aL-Ma'bûd) dan yang dituju (aL-Maqshûd), dan wujud
makhluk sebagai pihak yang menyembah (al-âbid) dan yang menuju
(al-qôshid). Dan strata ketiga (muntahî) adalah keimanan seseorang yang
memahami kalimat lâ ilâha illâ Allâh dengan; lâ maujûda illâ Allâh.
Yakni tingkatan keimanan yang menyatakan bahwa tidak ada yang wujud
selain Allah, dan inilah maqam haqîqah.
Di mata orang yang mencapai strata keimanan ketiga ini, eksistensi (wujud) semesta makhluk secara hakiki lenyap dari pandangannya dan hanya tampak ke-wahdaniyyah-an Allah. Wujud alam semesta hanyalah eksistensi semu atau bayangan atau fatamorgana dari wujud hakiki Allah swt. Segala sesuatu yang bersifat semu dan bayangan, tidaklah memiliki eksistensi tanpa wujud atau eksistensi pemilik dari bayangan yang hakiki. Sehingga, wujudnya Allah adalah hakikat dari wujudnya makhluk dari segi wujud dan penampakan (dhuhûr) pada martabat wahdah, namun wujud Allah bukan hakikat wujud makhluk dari segi penampakan dalam martabat wâhidiyyah, dan Allah dalam martabat alam rûh, alam mitsâl dan alam insân, bukan wujud haq dari segi penampakan. Bagi muwahhid ash-shâdiq menafikan wujud kosmos dalam maqam fanâ' dan menetapkan wujud Allah aL-Haqq dalam maqam baqâ'.
Inilah paham dan i'tiqad yang benar dan lurus menurut ahli haqîqah. Paham fanâ' (monotheisme) ini sangat tipis sekali perbedaannya dengan paham mulhid (pantheisme). Yaitu paham dan i'tiqad yang menyatakan bahwa wujud alam semesta ini adalah hakikat dari wujud Allah dan wujud Allah adalah hakikat wujud alam semesta dari sisi wujud dan penampakan. Menurut paham ini, wujud segala makhluk adalah semu, fatamorgana dan bayangan dari wujud Allah. Fatamorgana dan bayangan secara hakiki adalah tiada, dan akan sirna jika dinisbatkan pada wujudnya aL-Haqq. Eksistensi wujud aL-Haqq akan menafikan segala wujud semesta kecuali wujud dalam perkara yang maujûd (makhluk). Dari sinilah muncul i'tiqad bahwa secara mutlak alam semesta adalah hakikat wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam semesta baik dari segi wujud maupun penampakan tanpa ada pemilahan martabat wujud seperti paham muwahhidûn di atas.
Kesimpulannya, seluruh alam semesta, secara wujud adalah realitas aL-Haqq (ain aL-Haqq), namun secara spesifik (ta'ayyun) bukan realitas aL-Haqq. Akan tetapi, perbedaan antara alam semesta dengan aL-Haqq secara ta'ayyun ini hanyalah dalam tataran penilaian persepsi, sedangkan secara hakiki seluruhnya adalah wujud aL-Haqq, seperti halnya buih, ombak dan salju, semuanya secara hakiki adalah air, namun secara spesifik (ta'ayyun) lain dan berbeda.
Jadi, secara umum pemahaman terhadap wujud ada tiga tingkatan. Pertama paham wahdatul wujud. Yaitu pengetahuan dan keyakinan yang menyatakan bahwa Allah adalah seluruh makhluk secara haqîqotan dan bâthinan serta menyaksikan Allah di dalam makhluk. Kedua, pengetahuan dan keyakinan yang menyatakan bahwa Allah adalah seluruh makhluk secara haqîqotan dan bâthinan namun menyaksikan Allah di dalam makhluk melalui hati. Tingkat ini lebih tinggi dari tingkat pertama. Dan ketiga, penyaksian terhadap Allah pada semua makhluk dan melihat semua makhluk pada Allah, namun masing-masing penyaksian tidak menghalangi untuk menyaksikan yang lainnya. Inilah pemahaman tertinggi yang hanya dimiliki oleh Anbiyâ dan auliyâ', sehingga ketika Rasûlullâh saw. sedang shalat dan mendengar anak kecil menangis, beliau mempercepat shalatnya. Sikap beliau demikian tidak sedikitpun mengusik penyaksian dan kehadiran beliau di hadapan aL-Haqq, karena beliau bisa menempatkan proporsi penyaksian pada Khâliq dan makhluk secara seimbang dan adil.
Maqam Fanâ' (Monotheisme)
Di
dalam penghayatan mistisnya, para sufi menafikan segala sesuatu
termasuk dirinya sendiri, sehingga muncul kesadaran "Yang wajib ada
adalah Yang Mutlak", lâ maujûda illâ Allâh. Sebenarnya hal ini merupakan
doktrin monotheisme yang dibawa oleh Rasûlullâh saw. dalam misinya
menafikan segala bentuk tuhan-tuhan selain Allah. Para sufi menempatkan
Allah sebagai wujud yang tak tergambarkan;
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia". (QS. Asy-Syurâ : 11)
Dan
tidak ada individuasi maupun persepsi. Prinsip ini didasari ayat yang
menyatakan segala sesuatu akan binasa kecuali 'Wajah'-Nya;
"Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah". (QS. aL-Qoshshosh : 88)
Di
samping itu, doktrin fanâ' juga mengacu pada beberapa ayat aL-Qur'ân
dan beberapa hadits, di antaranya surat Yûnus : 23; "Maka (Dzat yang
demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada
sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan". Surat aL-Isrâ' : 21 "Dan
katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap.
Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap". Hadits
Nabi; "sebenar-benarnya kalimat adalah ucapan orang Arab yaitu kalimat
Lubaid Syair; "Ingatlah, segala sesuatu selain Allah adalah bathil dan
segala kenikmatan pasti sirna". Dan lain sebagainya.
Sekilas, ayat-ayat tersebut banyak mengarah kepada pemahaman pantheisme sebagaimana ajaran Hindu dan Katolik. Oleh karena itu di sini akan dipaparkan ajaran mengenai penyatuan diri dengan Tuhan (fanâ' atau monotheisme) agar memiliki garis yang tegas sesuai misi Rasûlullâh saw. dalam meluruskan tauhid kepada Dzât Yang Mutlak. Bedanya sangat tipis sekali antara pemahaman pantheisme yang berasal dari ajaran Hindu dan Kristen dengan monotheisme yang berasal dari aL-Qur'ân. Pantheisme adalah bagian terdalam dari manusia yaitu atma, sejajar dengan atman di dalam agama Hindu. Atma dipandang identik dengan Allah sebagai Dzât Mutlak. Kesamaan sedemikian rupa hingga Allah melihat, mendengar dan sebagainya, hanya dengan perantara manusia. Dapat dikatakan bahwa manusia adalah Allah yang menjadi daging. Menurut ungkapan jawa; manusia seperti katak berselimutkan liangnya (kodok kinemulan ing lenge). Allah berada di dalam manusia (hulûl), karena manusia pada hakikatnya adalah Allah sendiri. Sedangkan fanâ' (monotheisme) adalah seperti ungkapan aL-Junaid; Menyadari bahwa dirinya pada awalnya tiada (fanâ'). "Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah." (aL-Qoshshosh : 88), "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (Ar-Rahmân : 26-27).
Keadaan hakikat tidak bisa diperbandingkan dengan segala sesuatu yang ada pada keadaan alam-alam, sebab bukan tandingannya. Jika memaksakan untuk membayangkan, maka ibarat batu dibandingkan dengan warna yang ada pada permukaan batu tersebut, atau seperti satu meter persegi dibandingkan dengan satu meter. Oleh karena itu perasaan manusia (sarana yang dipakai untuk membayangkan atau mengukur) bukanlah rasa yang sejati. Jika perasaan manusia dibandingkan dengan perasaan sejati (keadaan hakikat), kejadiannya seperti halnya wayang yang sedang dimainkan oleh dalang, dibandingkan dengan dalang yang sedang menjalankan wayang tersebut. Menurut dalang, perilaku wayang itu pada hakikatnya tidak ada, yang ada adalah perilaku si dalang tersebut, tanpa ada perbandingan (tandingan). Sebagaimana firman Allah:
"Maka
(yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi
Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu
melempar, tetapi Allah-lah yang melempar." (QS. aL-Anfâl : 17)
Singkatnya,
manusia sebenarnya hanya 'diam' (fanâ'). Diamnya dapat diumpamakan
seperti perilaku wayang ketika tidak dimainkan oleh dalang, maka yang
ada tinggal perilaku dalang. Wayang tidak tahu apa-apa lagi,
penglihatannya tidak ada, pendengarannya tidak ada, perasaannya tidak
ada, kekuatannya tidak ada, hidupnya tidak ada, kesadarannya tidak ada,
maka dirinya pun tidak ada seperti pada mulanya sebelum diciptakan. Kini
si wayang tidak tahu apa-apa, yang tahu adalah tinggal Aku yang sejati
yang meliputi segala sesuatu. Si wayang kembali kepada asal muasalnya,
dari tidak ada menjadi ada lalu tidak ada. Inilah hakikat innâ lillâhi
wa innâ ilaihi râji'ûn.
Kendati hakikatnya demikian, karena kondisi pemahaman manusia berbeda-beda sesuai level dan kapasitas keyakinannya, maka tingkatan pemahaman terhadap kasunyatan juga berbeda. Ada orang yang hanya mampu melihat ciptaan (kosmos) dan praktis tidak melihat Dzât Yang Menciptakan. Ciptaan telah menjadi tabir (hijab) yang menghalangi dari penyaksian kepada sang Pencipta. Dan ada juga orang yang ciptaan tidak menjadi hijab yang menghalangi untuk menyaksikan sang Pencipta, akan tetapi tingkatan ini juga berbeda-beda. Dalam Syarh aL-Hikam, Muhammad bin Ibrâhîm mengklasifikasikan tingkatan-tingkatan ini sebagai berikut;
Pertama, orang yang melihat Pencipta sebelum melihat ciptaan. Merekalah orang-orang yang menempati maqam jam'i dan menjadikan Pencipta sebagai dalil adanya ciptaan. Kedua, orang yang melihat ciptaan sebelum melihat Pencipta. Merekalah orang-orang yang menempati maqam farqi dan menjadikan ciptaan sebagai dalil adanya Pencipta. Dan ketiga, orang yang melihat Pencipta bersamaan ketika melihat ciptaan.
Terhijabnya penyaksian aL-Haqq oleh ciptaan, sebenarnya dikarenakan persepsi salah manusia itu sendiri terhadap wujudnya hijab (ciptaan) tersebut, di mana pada hakikatnya, ciptaan adalah tiada. Persepsi bahwa makhluk ada, itulah sebenarnya yang menjadikan hijab untuk bisa menyaksikan Pencipta, di mana persepsi itu muncul karena masih adanya dorongan syahwat duniawi. Wujud makhluk hanyalah fatamorgana dan bayangan, di mana bayangan tidaklah memiliki esensi yang bisa menjadi hijab antara hamba dan Allah, seperti bayangan pohon di atas sungai tidak bisa menghalangi laju perahu yang berjalan. Ciptaan bisa menjadi hijab lantaran persepsi salah bahwa wujudnya makhluk ada. Seperti seseorang bermalam di suatu tempat dan hendak keluar, lantaran mendengar gemuruh angin yang mirip suara macan, lantas ia tidak jadi keluar karena mengira suara macan, dan ketika pagi tiba, ia tercengang sadar bahwa sebenarnya tidak ada macan. Jadi, bukan wujud macan yang menghalangi melainkan persepsi salah akan wujudnya macan.
Kalau saja persepsi salah itu bisa dihilangkan, niscaya tersingkaplah tabir dan tampaklah segala hakikat. Dalam kondisi seperti inilah seseorang akan fanâ', yaitu keadaan seseorang di mana wujud semesta telah lenyap dari pandangan mata hatinya (bashîrah), baik wujudnya sendiri ataupun kehendaknya (irôdah). Seseorang yang tidak lagi melihat selain wujud Allah, maka dia telah mentauhidkan-Nya secara hakiki. Keadaan semacam ini terkadang permanen —dan hal itu sangat langka—, dan kadang begitu singkat seperti kilat. Ketika seseorang telah mencapai maqam fanâ', jika kembali melihat wujud dirinya, maka ia telah melakukan dosa karena telah menduakan Wujud (syirik).
Keadaan fanâ' ini meliputi tiga hal. Pertama fanâ' fî al-af'âl atau lenyapnya pekerjaan makhluk sehingga akan terucap; lâ fâ'ila illâ Allâh (tidak ada pelaku selain Allah). Kedua, fanâ' fî ash-shifât atau lenyapnya sifat-sifat kemakhlukan sehingga akan terucap; lâ hayya, lâ âlima, lâ qôdira, lâ murîda, lâ samî'a, lâ bashîra, lâ mutakallima illâ Allâh (tidak ada yang hidup, tidak ada yang mengetahui, tidak ada yang berkuasa, tidak ada yang menghendaki, tidak ada yang mendengar, tidak ada yang melihat dan tidak ada yang berbicara selain Allah). Dan ketiga, fanâ' fî adz-dzât atau lenyapnya seluruh wujud makhluk sehingga akan terucap; lâ maujûda illâ Allâh (tiada yang wujud selain Allah).
Abu Sa'îd aL-A'râby pernah ditanya soal fanâ', beliau menjawab; fanâ' adalah ketika sifat-sifat kebesaran dan keagungan menjelma pada diri hamba, lalu melupakan dunia dan akhirat, lupa akan keadaan (ahwâl), derajat dan kedudukan. Dzikirnya telah melenyapkannya dari segala sesuatu, termasuk akal dan dirinya sendiri bahkan fanâ' dari ke-fanâ'-annya.
Paham
fanâ' ini sebenarnya telah meruntuhkan doktrin ittihâd dan hulûl dalam
dunia sufistik. Sebab istilah hulûl dan ittihâd berarti menandakan
adanya dualitas wujud yang lantas salah satunya masuk (hulûl) atau
menyatu (ittihâd) pada yang lain. Sedangkan dalam paham fanâ', dualitas
wujud telah sirna karena seluruh wujud semesta lenyap dalam ke-baqâ'-an
wujud tunggal-Nya. Di mata orang yang fanâ', wujud makhluk adalah 'adam
(tiada) dan yang ada hanya wujud Allah semata. Ketika hanya Allah yang
wujud, mustahil makhluk juga wujud, sebab antara 'adam dan wujûd adalah
dua sifat yang berlawanan. Demikian juga mustahil Dzât yang Qodîm
bersatu dengan yang hadits. Oleh karena itulah dalam ajaran sufi yang
lurus tidak ada istilah hulûl ataupun ittihâd.
Maqam fanâ' juga disebut dengan maqam mukâsyafah, yaitu tersingkapnya tabir Ilâhi berupa kosmos dari penyaksian mati hati. Bagi orang yang mukâsyafah, yang tampak dalam kalbunya hanyalah Keesaan dan Keagungan Ketuhanan. Mukâsyafah ini ada tiga. Pertama kasyf nafsin, kasyf qolbin dan kasyf sirrin. Istilah pertama juga disebut ilmu al-yaqîn karena berkaitan dengan pengetahuan dzât yang dhohir, yang kedua disebut ainu al-yaqîn karena berkaitan dengan pengetahuan dzât yang batin, dan ketiga disebut haqq al-yaqîn karena berkaitan dengan pengetahuan aL-Haqq.
Maqam Mahabbah: Jalan Cinta Rabî'ah aL-Adawiyyah
Tangga pertama dalam maqam sufi adalah taubat, dan tangga terakhir adalah maqam ma'rifat yang akan mengantarkan pada rasa mahabbah (cinta). Mahabbah adalah rasa yang muncul setelah yaqîn dengan wujudnya kekasih (aL-Mahbûb). Bagi pecinta (al-muhib) hatinya telah kosong dari selain kekasih karena telah dipenuhi dengan keindahan dan keagungan sang kekasih. Dalam maqam pecinta (al-muhib) seperti ini, nikmat dan bala' tidak ada bedanya. Setiap nafas yang dikeluarkan adalah hembusan kalam hikmah, karena ia tidak melihat dan mendengar selain dari aL-Mahbûb (Allah). Sedangkan orang yang telah mencapai derajat al-mahbûb (kekasih Allah), setiap hembusan nafasnya adalah kepastian Allah, karena ia berjalan di atas makhluk dengan pertolongan Allah.
Derajat al-mahbûb lebih tinggi dari al-muhib, sebab pecinta adalah sâlik yang terpikat (al-majdzûb), sedangkan al-mahbûb adalah orang terpikat (al-majdzûb) yang sâlik, al-muhib adalah murîd (pencari) sedang al-mahbûb adalah murôd (yang dicari). Ibadah dilakukan untuk mu'âwadloh (mencari keuntungan), sedangkan mahabbah untuk taqorrub (persandingan) dengan kekasih. Dari sinilah manusia bisa dikelompokkan menjadi empat. Yakni manusia yang mengharapkan pahala dunia akhirat, manusia yang mengharapkan pahala akhirat saja, manusia yang mengharapkan pemilik kedua pahala tersebut dan manusia yang sama sekali tidak memiliki harapan.
Rabî'ah aL-Adawiyyah (w. 165 H), sepenggal nama yang sangat legendaris dalam dunia tasawuf, telah dinobatkan sebagai wanita perintis jalan mahabbah ini. Ketika sufi wanita terkenal dari Bahsrah ini berziarah ke makam Rasûlullâh saw. pernah mengatakan; "Maafkan aku ya Rasul, bukan aku tidak mencintaimu, tapi hatiku telah tertutup untuk cinta yang lain, karena telah penuh cintaku pada Allah swt.". Tentang cinta itu sendiri Rabî'ah mengajarkan bahwa cinta harus menutup dari segala hal kecuali yang dicintainya. Bukan berarti Rabî'ah tidak cinta kepada Rasul, tapi kata-kata yang bermakna simbolis ini mengandung arti bahwa cinta kepada Allah adalah bentuk integrasi dari semua bentuk cinta termasuk cinta kepada Rasul. Jadi mencintai Rasûlullâh saw. sudah dihitung dalam mencintai Allah swt. Seorang mukmin pecinta Allah pastilah mencintai segala yang di cintai-Nya pula. Rasûlullâh pernah berdoa: "Ya Allah karuniakan kepadaku kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada orang yang mencintai-Mu dan kecintaan apa saja yang mendekatkan diriku pada kecintaan-Mu. Jadikanlah dzât-Mu lebih aku cintai dari pada air yang dingin."
Untuk mencapai mahabbah ini, ada tangga-tangga (maqâmât) yang harus dilewati, yakni taubat, zuhud, wara', sabar, syukur dan ridlo. Pembagian tangga-tangga ini hanya sebatas teknis untuk memahamkan dan tidak bisa dipahami secara formal, dalam arti harus dijalani secara berurutan satu demi satu, melainkan boleh jadi semuanya dilakoni secara sekaligus. Dosa bagi penempuh jalan sufi adalah suatu yang sangat menyakitkan karena dapat memisahkan dengan Kekasih. Keyakinan bahwa dosa menjadi jurang pemisah dengan kekasih inilah yang akan membimbing seseorang tulus dalam taubat.
Setelah kerak dosa berhasil dihapus dengan taubat, maka dibutuhkan sebuah sikap penjagaan dari dosa, sikap yang harus dilakukan sebagai usaha ini adalah dengan gaya hidup zuhud dan wara'. Dalam perspektif sufi ada dua bentuk zuhud yang bisa dilakukan. Pertama zuhud dalam bentuk simbolis di mana seseorang menempatkan dunia di bawah kecintaan kepada Allah, artinya berharta namun tak sedikitpun terlintas dalam hati memilikinya. Kedua, zuhud total, yakni penolakan secara total segala sarana dan fasilitas duniawi. Jalan zuhud yang kedua inilah yang dipilih Rabî'ah sehingga membawanya pada sikap yang tidak bisa digoda oleh kemegahan dan kelezatan dunia.
Sikap zuhud atau menceraikan dunia dari hati harus diimbangi dengan sikap sabar dan syukur menghadapi setiap gelombang dan ombak kehidupan sehingga akan muncul sikap senantiasa ridlo dengan segala kehendak dan ketentuan Allah. Dalam konteks seperti ini, Rabî'ah pernah ditanya tentang ridlo, kapankah seorang hamba dikatakan ridlo? Dia menjawab; "apabila bagimu penderitaan sama menggembirakannya dengan anugrah". Pernah ketika Rabî'ah sedang menderita sakit, Sufyan As-Saury memintanya berdoa agar lekas disembuhkan. Tetapi Rabî'ah malah mengatakan; "jika Allah bermaksud mengujiku, mengapa aku harus berpura-pura tidak tahu atas kehendak-Nya? Pernah juga suatu hari ketika Rabî'ah sedang shalat, batu bagian atas rumahnya jatuh mengenai kepalanya hingga berdarah. Ia tidak merasakan sedikitpun rasa sakit dan tetap melanjutkan shalat. Selesai shalat ia ditanya; Rabî'ah, apa engkau tidak merasakan sakit? Ia menjawab; "Tidak, sebab Allah telah menjadikan diriku ridlo menerima setiap kehendak-Nya. Setiap yang terjadi adalah atas kehendak-Nya".
Di bawah kendali sikap sabar dan syukur inilah hamba akan senantiasa ridlo dengan setiap suratan Ilâhi yang telah digariskan. Mengeluh dan tidak menerima (ridlo) ketika ditimpa musibah adalah sikap berontak dan menggugat atas ketetapan-Nya. Sikap hamba seperti ini membuktikan masih mempersoalkan otoritas keagungan tuannya.
Keberhasilan melewati ritus-ritus di atas maka akan sampailah pada mahabbah yang merupakan puncak dari ajaran Rabî'ah. Ajaran cinta ini sebenarnya telah melampaui ajaran yang digagas oleh Hasan aL-Bashry yang bertumpu pada dorongan rasa takut (khauf) dan harapan (roja'). Bahkan Rabî'ah pernah melontarkan kritikan cerdas terhadap cara penyembahan Allah yang bertumpu pada khauf dan roja'. Dikisahkan, suatu hari sejumlah orang melihat Rabî'ah membawa sebatang obor dan seember air sambil berlari-lari. Mereka menegurnya, "wahai perempuan tua, hendak ke manakah engkau, dan apa arti semua ini? Rabî'ah menjawab; "aku akan menyulut api di surga dan menyiramkan air di neraka sehingga hijab di antara keduanya akan tersingkap sama sekali dari orang-orang yang berziarah dan tujuan mereka akan semakin yakin, lalu hamba-hamba Allah yang setia akan mampu menatap-Nya tanpa motifasi baik rasa takut atau harapan. Apa jadinya sekira harapan akan surga dan rasa takut akan neraka tidak ada sama sekali? Maka tidak ada seorang pun yang akan menyembah Allah".
Menurut perspektif Rabî'ah, cinta membutuhkan totalitas, sehingga sikap yang harus dilakukan adalah bagaimana kekasih tidak merasa cemburu. Allah maha pencemburu. Jika tidak, kenapa Allah sangat murka dan tidak memaafkan ketika hamba menduakannya dengan sesembahan lain (musyrik)? Dikisahkan, suatu hari beberapa jamaah Rabî'ah mengunjunginya. Saat itu, Rabî'ah sedang terbaring sakit dengan tubuh lemah dan pucat. Mereka menyapa; "Rabî'ah, bagaimana keadaanmu?" Rabî'ah menjawab; "Aku juga tidak tahu apa penyebab penyakitku ini. Demi Allah diperlihatkan kepadaku surga, lalu aku terlintas untuk memilikinya. Mungkin Allah cemburu terhadap sikapku ini, lalu Dia mencelaku. Dia menghendaki agar aku kembali kepada-Nya dan menyadari kesalahanku".
Inilah ajaran mahabbah yang dirilis Rabî'ah, sekedar membayangkan surga saja, ia sudah menganggap Kekasihnya cemburu. Sebuah kecemburuan suci. Jangankan kenikmatan duniawi, kenikmatan akhirat pun tidak ia harapkan, karena yang menjadi cita-citanya cuma satu; berjumpa dengan sang Kekasih (Allah). Hanya kepada hamba yang mencintai-Nya dengan cara seperti itu, Allah akan menyibakkan diri-Nya dengan segala keindahan (jamâl) dan keagungan-Nya (jal'âl) yang sempurna (kamâl). Rumusan cinta Rabî'ah dapat disimak dalam doa mistiknya:
"Oh
Tuhan, jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka, maka bakarlah aku
di dalamnya dan besarkan tubuhku di neraka hingga tidak ada tempat lagi
bagi hamba-hamba-Mu yang lain. Dan jika aku menyembah-Mu karena
berharap surga, maka campakkanlah aku dari sana dan berikan surga itu
untuk hamba-hamba-Mu yang lain; sebab bagiku engkau saja sudah cukup;
Tapi jika aku menyembah-Mu karena Engkau semata, maka janganlah engkau
sembunyikan keindahan-Mu yang abadi."
Dalam
kitab aL-Mahabbah, Imam aL-Ghazâly mengatakan bahwa cinta kepada Allah
adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan ia menduduki level
tertinggi.
"(Allah) mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya." (QS. aL-Mâidah : 54)
DOKTRIN-DOKTRIN SUFISME KONTROVERSIAL
Gagasan-gagasan
para ahli sufi pada abad ke-9 Masehi telah ditemukan, baik yang berupa
syair ataupun pemikiran yang menunjukkan keanekaragaman kemungkinan
dalam kehidupan mistik. Pemikiran dan peranan para tokoh inilah yang
perlu diketahui sebagai wacana keilmuan dan sejarah, sekaligus
menganalisa konflik pemikiran yang tidak pernah redam dibahas, karena
pihak-pihak yang berbeda pendapat tidak pernah saling bertemu untuk
memberikan klarifikasi dalam satu majlis, kecuali hanya saling mengecam
dan mengkafirkan yang lebih dipicu konflik politik dan kekuasaan. Banyak
kisah keshalehan serta kata-kata bijak sarat hikmah yang bertebaran
dalam khazanah keislaman di Timur maupun di Barat yang berasal dari para
tokoh sufi, baik yang bisa dipahami oleh khalayak awam sampai
pernyataannya yang banyak mengundang kontroversi berkepanjangan, seperti
pernyataan populer yang dilontarkan aL-Hallaj; Anâ aL-Haqq (Akulah
Kebenaran Tertinggi).
Peristiwa ini merubah pandangan masyarakat umum terhadap kaum sufi atau para zahid yang menjalankan olah keruhaniannya dengan melakukan dzikir secara kontinyu, shalat malam dan menjauhkan diri dari kemaksiatan. Sehingga pada ujungnya berpengaruh terhadap perkembangan ilmu tafsir yang menjadi mandeg. Terlihat para Mufassirîn agak skeptis menafsirkan kata-kata hiperbolis ke dalam pengertian proporsi yang sebenarnya, dan sampai kini orang menjadi merasa takut apabila membicarakan mengenai ilmu hakikat dan ma'rifat. Doktrin hulûl aL-Hallaj ini kemudian dikembangkan oleh sufi besar berikutnya, yaitu Ibn Araby yang mempopulerkan dengan cara-cara sistematik dalam doktrin wahdatul wujud.
Sebagai tokoh yang tiada hentinya dibicarakan di dunia mistik Islam maupun di kalangan yang memusuhinya, aL-Hallaj masih layak dibahas pada sebuah telaah seperti ini, sebab riwayat hidup dan ajarannya lebih banyak berpengaruh terhadap Islam di Indonesia dari pada di tempat lain. Sejak lama, terutama karena penelitian Snouck Hurgronje dan B.O. Schrieke, dapat diketahui bahwa para saudagarlah yang berperan dalam ekspansi agama Islam di Indonesia berasal dari India, khususnya dari daerah Gujarat, di pantai Barat Laut semenanjung India. Daerah tersebut mempunyai hubungan khusus dengan aL-Hallaj, di mana dia sendiri membawa agama Islam ke sana dan bahkan berhasil membawa tiga kasta ke dalam pangkuan agama Islam. Konteks itu memang cukup luas jangkauannya terbukti sebagian dari kasta-kasta itu sampai sekarang ini masih disebut orang Manshûry, sedangkan makam aL-Hallaj di Baghdad tetap didatangi oleh orang-orang Gujarat.
Sepertinya tidak mungkin mengabaikan riwayat beliau karena banyak memainkan peranan penting dalam dunia Islam di Indonesia terutama di Jawa dan Aceh. Kita bisa melihat dalam ajaran sinkretisme Jawa, terdapat unsur-unsur pantheisme atau manunggaling kawula- Gusti, yang berakar dari ajaran mistik Islam kejawen dengan latar belakang ajaran Thariqah Naqsabandiyyah yang dianut oleh Pujangga besar Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam kitabnya Serat Wirid Hidayat Jati ataupun ajaran Hindu yang merupakan sumber paham pantheisme. Syeikh Siti Jenar juga mengalami nasib tragis ketika harus menghadapi hukuman mati yang dijatuhkan penguasa Demak yang didukung penuh oleh Dewan Agama yang dipimpin Wali Songo, karena dianggap telah membuka tabir rahasia Ketuhanan dalam dirinya, yaitu manunggaling kawula-Gusti. Jika aL-Hallaj tewas dipancung kepalanya, maka Syeikh Siti Jenar memilih sendiri jalan kematiannya.
1. Misteri "Anâ aL-Haqq" dan Penilaian Dunia Islam Terhadap aL-Hallaj.
Banyak
pendapat umum yang mengatakan aL-Husain bin Manshûr aL-Hallaj mati
karena ajaran mistiknya yang terkenal, Anâ aL-Haqq (Akulah Kebenaran
Tertinggi). Tidak banyak kaum Muslimin yang mengetahui dengan persis
apakah sebenarnya yang terjadi terhadap kasus yang didakwakan kepadanya.
Benarkah aL-Hallaj penganut paham ittihâd (pantheisme) yang banyak
dipengaruhi ajaran Hindu dan mistik Katolik, atau ajaran Zanadika,
tentang cinta-kasih manusia terhadap Allah sebagai suatu daya tarik
material antara sumber cahaya dan percikan-percikan yang mengalir dari
sumber itu (emanasi). Di kalangan kaum mistisi sendiri banyak yang
berpendapat, bahwa kesalahan aL-Hallaj ialah menyiarkan di muka umum
kebenaran-kebenaran esoteris (merenggut selubung rahasia). Konon
Asy-Syibly mengatakan kepada seorang utusan menjelang eksekusinya,
pergilah mencari aL-Hallaj dan katakan kepadanya; "Allah telah
memberikan kepadamu jalan untuk mengetahui salah satu rahasia-Nya,
tetapi karena engkau menyiarkan kepada umum, maka kau harus merasakan
pedang."
Ada yang berpendapat, bahwa ajarannya mengenai manunggalnya Allah dan manusia tidak dibenarkan, namun dapat dimaafkan sebagai suatu ketidaktelitian hiperbolis, akibat kedahsyatan ekstasis. Sementara para sufi moderat tidak memberikan komentar terlalu banyak atas kejadian ini. Mereka hanya berpendapat bahwa aL-Hallaj hanyalah menghayati firman Allah dalam surat Thâhâ : 14;
"Sesungguhnya
Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka
sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku." (QS. Thâhâ :
14)
Sedangkan
aL-Ghazâly yang juga membahas pengalaman para mistisi menandaskan,
bahwa ekstasis itu bukanlah terleburnya makhluk dalam Allah sebagai
kesatuan dalam identitas (ittihâd), juga bukan manunggalnya atau
penyatuan antara dua pihak yang berada pada tingkat "ADA" yang sama
(hulûl), tetapi penyatuan itu hanyalah seolah-olah dan ucapan-ucapan
para mistisi yang mengalami kedahsyatan Allah, sehingga hendaknya kita
pandang sebagai hiperbola atau kiasan yang melebih-lebihkan akibat
kemabukan cinta. aL-Ghazâly juga berpendapat bahwa kesalahan aL-Hallaj
hanya kurang bijaksana dalam mengemukakan sebuah kebenaran esoterik
sehingga disalahkan kalangan awam.
Banyak sekali ayat-ayat aL-Qur'ân yang dijadikan landasan para sufi, sebenarnya mengandung makna hiperbolis, sehingga kalau diungkapkan sekilas, praktis akan terjebak kepada pengertian yang salah. Misalnya pada firman-firman Allah dalam surat Fushshilât : 54, Qoshshosh: 88, Qâf : 16, aL-Anfâl : 17) dan lain-lain.
Pandangan ini harus juga ditafsirkan eksplisit, namun peluang penafsiran pantheis, memang sepertinya tak dapat disangkal. Banyak Mufassir takut terjebak pada makna hiperbolis atau mutasyâbihât, sehingga mereka tidak berani menerjemahkan arti yang sesungguhnya. Seperti dalam surat Fushilat : 54, bahwa yang meliputi segala sesuatu adalah dlomir Huwa, yang menunjukkan sosok orang ketiga tunggal yang melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi dengan alasan apa mereka menggantikan arti Huwa (Dia), menjadi sebuah sifat yang meliputi segala sesuatu. Sedangkan kita tahu bahwa sifat itu ada, karena ada "wujud" (Huwa) tempat bergantungnya (sandaran) sifat. Inilah yang menunjukkan bahwa dlomir Huwa menunjukkan bukan kepada sifat-Nya, akan tetapi wujud secara sempurna (bikamalâtihi). Yaitu kesempurnaan meliputi Dzât, Shifât, Af'âl dan Asmâ'. Dlomir Huwa menunjukkan "Wujud", sedangkan Shifât, Af'âl dan Asmâ merupakan di luar Diri-Nya (wujud-Nya) tetapi bergantung kepada Diri-Nya, karena adanya disebabkan oleh Dzât.
Beberapa
Mufassir menerjemahkan: "kekuasaan-Nyalah meliputi segala sesuatu", ada
juga yang menerjemahkan: "ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu" dan
banyak lagi terjemahkan atau tafsiran pada sekitar sifat-sifat-Nya.
Hanya ulama yang memiliki ilmu ma'rifat kepada Allah yang berani
terang-terangan menerjemahkan: "Dia (Dzât) Meliputi Segala Sesuatu",
sehingga kata Dia (Huwa) tidak ditafsirkan ke dalam makna atau
digantikan dengan bentuk yang lainnya. Tampaknya, kemungkinan besar para
Mufassir ragu-ragu menerjemahkan kalimat hiperbolis, karena
dikhawatirkan memasuki wilayah konflik politik yang sedang merebak masa
itu, yaitu adanya perintah penguasa melarang pandangan wahdatul wujud
yang digagas oleh aL-Hallaj.
Ali Ash-Shôbûny menafsirkan Fushshilât : 54 "Ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.", dengan pengetahuan-Nya (ilmu-Nya), baik secara global maupun tafshila. Lebih tegas lagi Syeikh Nawawî memberikan keterangan dalam tafsir aL-Munîr, Allah merupakan subjek Yang Meliputi segala sesuatu, Dia sebagai fâ'il (subjek) aL-Alim yang mengetahui semua ma'lûmât yang tidak ada batasnya. Dia Mengetahui yang dhohir dan batin dalam diri orang-orang kafir. Sedangkan penafsiran beliau mengenai; "dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya". (QS. Qâf : 16), dengan; seolah Dzât Allah saw. lebih dekat dari urat leher. Dalam tafsir Munîr karya Syeikh Nawawî dijabarkan; Allah lebih dekat terhadap Manusia dari pada keringatnya yang bercampur dengannya. Kemudian, baik Syeikh Nawawî maupun Ali Ash-Shôbûny menafsirkan ayat "Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah" (QS. aL-Qoshshosh : 88), segala sesuatu pada hakikatnya adalah fanâ' (binasa) kecuali Dzât-Nya Yang Kekal dan Quddus.
Jadi, tidak bisa dipungkiri adanya konsep-konsep qur'ani yang menjadi sumber timbulnya atau menjurus ke dalam paham penyatuan atau pantheisme. Memang masih bisa diperdebatkan dari mana pengaruh-pengaruh yang membuat doktrin tersebut muncul. Menurut Louis Massignon perkembangan tersebut ada akarnya dalam aL-Qur'ân sendiri, sedangkan menurut sementara ahli lainnya, perkembangan tadi disebabkan karena kontak dengan aliran-aliran mistik Kristen di Suria serta Neoplatonisme, atau pengaruh dari Syi'ah dengan ajarannya mengenai inkarnasi Dzât ke-Allah-an dalam diri Alî dan para pengikutnya, atau karena pengaruh dari India.
aL-Hallaj
mencari kesatuan dengan Allah bagi dirinya sendiri, sehingga kata-kata
yang diwariskan —spontan— berasal dari perasaan pribadinya. aL-Hallaj
ingin menerangkan apa yang dialami dalam lubuk hatinya dengan meneruskan
keterangan itu kepada orang lain, seperti ucapan-ucapannya mengenai
Allah dengan memakai kata ganti pertama, yang konon diucapkannya di
malam terakhir sebelum ia menjalani eksekusi, sebagai berikut;
"Adapun
Engkau membagikan kepada saksi ini (aL-Hallaj sendiri) kepribadian-Mu
sendiri dan kodrat Ilahi-Mu. Bagaimana ini dapat terjadi karena
Engkaulah (yang memegang peranan dari kodratku sendiri untuk menampakkan
Diri-Mu di tengah-tengah manusia, pada tahap-tahap terakhir keadaanku.
bila Engkau telah datang ke dalamnya untuk menampakkan kodratku (Engkau,
Ya Tuhan, lewat kodrat-Ku) (mulai kalimat ini aL-Hallaj berbicara atas
nama Tuhan dan mempergunakan kata ganti pertama guna mengungkapkan
penyatuan mesra dengan Tuhan. Saya berusaha menyatakan peralihan itu
dengan menulis awal kata positif dengan huruf-huruf besar: catatan dari
Massignon) Serta memperma'lumkan kenyataan ilmu-Ku dan mukjizat-Ku,
sambil mengangkat Diri-Ku, dalam kenaikan-Ku, sampai tahta-tahta
kelanggengan-Ku, sambil memelihara Diri-Ku dalam ciptaan-ciptaan-Ku.
Bagaimana bisa terjadi bahwa aku sekarang ditahan, dimasukkan ke dalam
penjara, diserahkan kepada maut, ditempatkan di atas kayu salib,
dibakar, lalu debuku diserahkan kepada ombak-ombak."
Dalam interpretasi tertentu, Anâ aL-Haqq adalah ekspresi seorang pecinta mengalami ke-fanâ'-an atau ekstasi spiritual. Maka di sana yang terjadi adalah hulûl dan ittihâd, infuse dan kesatuan di mana kepribadian pecinta diubah-ubah, disarikan dalam sebuah proses penyatuan dari intervensi Ilâhi yang nyata dan maujûd melampaui hukum. Itulah yang kemudian disebut emanasi Ilâhiyyah. Secara tak langsung, emanasi di sini adalah bahwa Tuhan mengucapkan Anâ aL-Haqq lewat perantara lisan aL-Hallaj. Atau bisa pula Tuhan sendiri, lewat operasi kerja Ruh-Nya, mencerahkan hati aL-Hallaj dan mengalirkan melalui interiorisasi jiwanya yang kemudian terverbalkan melalui lidahnya. Maka di sini tampak kekeliruan doktrin Kristen yang mengasumsikan bahwa satu orang manusia mampu menyerap keseluruhan inkarnasi Tuhan.
Seorang sufi yang memperoleh kembali visi fitrahnya tentang Tuhan, berarti telah menemukan kembali citra Ketuhanan dalam dirinya sendiri seperti apa adanya di hari penciptaan. Sebuah hadits qudsi yang kerap diapresiasikan kaum sufi memperlihatkan sedemikian rupa bagaimana Tuhan menarik kaum Muslimin begitu dekat kepada-Nya, seolah-olah Tuhan telah berinkarnasi dalam jiwa hamba yang dicintainya;
"Tidaklah
seorang hamba mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai
selain dengan sesuatu yang telah Aku fardlukan kepadanya. Dan niscaya
seorang hamba yang mendekat kepada-Ku dengan kesunahan-kesunahan hingga
Aku mencintanya, maka Aku akan menjadi indera pendengarannya untuk
mendengar, menjadi penglihatannya untuk memandang, menjadi tangannya
untuk memukul dan menjadi kakinya untuk berjalan. Jika dia meminta
kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan, jika dia meminta perlindungan kepada-Ku
pasti Aku lindungi……..".
Dalam
membicarakan aL-Hallaj, penting untuk dibahas sosok Biyazid
aL-Bashthâmy, seorang tokoh yang banyak menghiasi khazanah keilmuan
mistik dari pengalaman batinnya, yang sesuai dengan citra pengalaman
mi'râjnya Rasûlullâh. Ungkapan-ungkapannya penuh dengan makna, bahwa
alam-alam yang dilaluinya merupakan bentuk citra yang hina dan fana
termasuk dirinya.
Biyazid, dalam keadaan ekstase (fanâ') berkata: "Subhânî, Subhânî" (Maha suci Aku, Maha suci Aku). Ungkapan-ungkapan ini telah menjadi teka-teki bagi kaum mistik pada zaman berikutnya dan telah sering menjadi inspirasi bagi penyair mistik dalam menggambarkan kesempurnaan perjalanan keruhanian seseorang, di samping banyak sekali orang yang mengecam dan mengkafirkan Biyazid. Sebagian kalangan sufi moderat, seperti Sarraj, menganggap perkataan Biyazid seolah-olah membaca firman;
"Sesungguhnya
Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka
sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku." (QS. Thâhâ :
14)
Biyazid
mencapai keadaan ini melalui 'negationis' yang gigih, dengan
menghilangkan kesadaran dirinya sendiri, sampai ia mencapai —walaupun
hanya sesaat— keadaan penyatuan mutlak yaitu ketika pecinta, kekasih,
dan cinta itu sendiri menjadi satu. Kenyataan yang dialami Biyazid ini
dikritik oleh Manshûr aL-Hallaj yang mengatakan; Biyazid yang merana itu
baru sampai di ambang Ilâhi saja, karena ia tidak mampu melepaskan
dirinya dari ketiadaan.
aL-Hallaj, berkat sepatah kata "Anâ aL-Haqq" yang monumental dan tentu saja karena nasib tragis yang harus dia terima dari politik keras di Baghdad waktu itu, para sarjana Barat banyak yang tertarik dengan ajaran aL-Hallaj, karena dianggap bisa mewakili kelangsungan kebenaran ajaran Kristus di dalam penyatuan dengan Allah atau pantheisme. Seorang sarjana ahli teologi Protestan dari Jerman, F.A.D. Tholuck menyebut aL-Hallaj adalah sufi yang paling terkenal karena ketenaran dan nasibnya, yang menguak cadar di depan umum dengan keberaniannya yang luar biasa. Kutipan Tholuck pada waktu itu, menurut Annemarie Schimmel ditafsirkan keliru sehingga citra Hallaj benar-benar menjadi rusak pada zaman-zaman berikutnya. Tholuck menganggap aL-Hallaj seorang pantheis, hal itu menjadi pandangan para sarjana abad ke-19 dan pada taraf tertentu, masih menjadi pandangan yang diterima sejumlah teologi.
Pandangan lain adalah ada yang menganggap aL-Hallaj sebagai seorang Kristen rahasia. Pandangan terakhir ini muncul pada akhir abad ke-19, diajukan August Muller dan tetap diikuti oleh beberapa sarjana. Para orientalis lain —berdasarkan sumber-sumber yang ada—, cenderung menyebutnya seorang 'monis' murni. Alfred von Kremer berusaha mencari sumber Anâ aL-Haqq-nya aL-Hallaj yang terkenal dari sumber-sumber India, dan Max Horten membandingkan pernyataan mistik itu dengan aham brahmasmi dalam Upanishad, dan beberapa sarjana lain menyetujuinya.
Reynold
A Nicholson mempunyai pandangan lain, bahwa Manshûr aL-Hallaj
menekankan monotheisme keras dan hubungan yang sangat personal antara
manusia dan Tuhan dalam pemikirannya, sedangkan Adam Mez melihat
kemungkinan adanya hubungan antara sufi agung itu dengan teologi
Kristen.
Louis Massignon telah berhasil mengumpulkan data-data tentang aL-Hallaj dari lingkungan tempat dia berasal, dan pengaruh-pengaruh atas aL-Hallaj telah dijelajahi, sehingga kehidupan dan ajarannya bisa diketahui lebih lengkap dan dimengerti lebih baik di Barat. Massignon telah banyak belajar dari sebuah kitab yang terkenal "At-Tawasin", yang isinya sulit dipahami, karena sebenarnya banyak paradoks yang tersimpan di dalamnya, kecuali oleh orang yang memiliki kecerdasan keruhanian yang tinggi.
Nyatanya,
aL-Hallaj seperti yang dikatakan Hans Heinrich Schaender dalam
resensinya atas buku Massignon, adalah syuhadâ Islam par excellence,
karena ia merupakan contoh kemungkinan-kemungkinan terdalam dari
keshalehan pribadi yang ada dalam agama Islam. aL-Hallaj menunjukkan
akibat cinta sempurna dan makna penyatuan dengan sang Kekasih, tidak
dengan maksud mendapatkan kesucian pribadi macam apapun, tetapi
bagaimana bisa mengkhotbahkan rahasaia ini yang di sana kita bisa hidup
di dalamnya dan mati untuknya. Siapakah orang ini sebenarnya, yang telah
menjadi bahan kebencian dan cinta, contoh penderitaan, raja bid'ah
dalam tulisan-tulisan ortodok (salaf) sekaligus tokoh idaman para sufi
yang terpesona?
Fanâ' Bukan Pantheisme
Kesimpulan
yang diungkapkan oleh para sarjana Barat (Orientalis), bahwa ajaran
aL-Hallaj adalah pantheisme, masih mengundang pertanyaan yang belum
tuntas. Para peneliti itu memaparkan ajaran aL-Hallaj melalui data-data
dalam prosa, bukan melalui perjalanan ekstasisnya, dan kemudian
membandingkan dengan ajaran Trinitas dalam Kristen atau dalam kesatuan
aham brahmasmi dalam Upanishad.
Kesimpulan ini hanyalah merupakan cara mereka untuk meminjam peristiwa yang terjadi agar sama persis dengan eksekusi yang dilakukan terhadap Yesus Kristus. Hal ini terlihat sekali dalam uraian Louis Massignon sendiri, yang masih banyak melibatkan emosi kepercayaannya (doktrin keimanan) sebagai orang Kristen, dan bukan sebagai peneliti murni yang netral, sehingga kesimpulannya sangat mempengaruhi hasil penelitiannya.
Ungkapan-ungkapan aL-Hallaj dalam prosa tidak bisa disimpulkan dalam bahasa formal, karena ungkapan itu merupakan pengalaman 'transendental'. Sebagaimana ayat-ayat aL-Qur'ân kerap menggunakan kalimat mutasyâbihât untuk mengungkapkan kedalaman makna hakikat, ketika bahasa manusia tidak lagi mencukupi untuk mengungkap rahasia.
Dalam kitab At-Tawasin, termuat anekdot sufi yang pada akhirnya menghebohkan dunia, yaitu pernyataan aL-Hallaj yang kontroversial. Ketika ia mengetuk pintu aL-Junaid, sang Guru bertanya; Siapakah itu? Dan ia menjawab: Anâ aL-Haqq (Akulah Kebenaran Mutlak, Akulah Kenyataan Yang Benar). Pada salah satu bab buku itu, aL-Hallaj menjelaskan mengenai kesadaran 'Aku' Yang Mutlak dibandingkan dengan kesadaran 'Aku' yang diucapkan Fir'aun dan Iblîs. Menurut aL-Qur'ân, Fir'aun menegaskan;
"Akulah Tuhanmu Yang Paling Tinggi". (An-Nâzi'ât : 24)
Dan Iblîs berkata;
"Iblîs berkata; aku lebih baik dari padanya (Adam)". (aL-A'râf : 12)
Kemudian aL-Hallaj menegaskan pernyataannya;
"Akulah Kebenaran Maha Konkret".
Pada
bagian ini para sufi merenungkan mengenai ke-Aku-an dirinya, ketika ia
menafikan segala sesuatu, yang wajib ada ialah Aku, ketika merenungkan
ayat; "Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah". (QS. aL-Qoshshosh
: 88). Para mistisi generasi berikutnya merenungkan dalam-dalam ihwal
adanya dua 'Aku' yang berbeda, yakni Aku Fir'aun dan Aku ahli mistik
yang sedang dilanda kegandrungan cinta. Kesimpulannya diberikan dalam
wahyu Ilâhi bahwa, bahwa Fir'aun hanya melihat dirinya sendiri sehingga
kehilangan Aku, sedangkan aL-Hallaj hanya melihat Aku sehingga
kehilangan dirinya sendiri. Menurut Jalâluddîn Ar-Rûmy, 'Aku' penguasa
Mesir itu (Fir'aun) merupakan pernyataan kekafiran, sedangkan 'Aku'
aL-Hallaj mengungkapkan keagungan Tuhan. Inilah alasan aL-Hallaj mengapa
ia berkata Akulah kebenaran. Kaum sufi berkata demikian dalam keadaan
iluminasi dan menyaksikan Wajah Yang Satu hingga mereka menyatakan
ungkapan syatahat (ungkapan janggal dalam keadaan fanâ'). Sedangkan
Fir'aun mengatakannya dalam kesadaran penuh akan keberadaan nafsunya dan
keberadaan dirinya sebagai Tuhan dan tidak mengakui adanya Allah.
Menurut Louis Massignon Anâ aL-Haqq yang termaktub dalam At-Tawasin itu hanya interpolasi yang merupakan perbandingan tendensius ke dalam dua hujatan, bahwa 'Aku' memiliki dua sayap yang bersebrangan; yang satu adalah 'Aku' —lebih mulia dari Adam—nya Iblîs, dan kedua 'Aku' —adalah raja yang maha kuasa—nya Fir'aun.
Apapun
alasan pernyataan Anâ aL-Haqq itu, aL-Junaid —salah seorang guru
aL-Hallaj— telah menyatakan sikapnya terhadap bekas pengikutnya
tersebut, dengan menuduh telah menyebarluaskan pernyataan religius yang
berbahaya. Di sisi lain, aL-Hallaj mempunyai pandangan lain dari
pernyataan Biyazid yang juga menyatakan Aku pada kalimat "Maha Suci Aku"
(Subhânî), dan menganggap Biyazid sebagai orang yang menipu, karena dia
baru berada di ambang Ilâhiyyah saja. Biyazid tidak layak mengucapkan
kalimat suci itu, karena ia masih ada dan merasakan keadaan mabuk mistik
(sakr), ia belum lenyap (fanâ'). Berkaitan dengan hal ini, dalam
Matsnawi, Rûmy mengisahkan legenda tentang pengikut-pengikut Biyazid
yang memberontak gurunya ketika sang guru itu berkata; "Di balik jubahku
ini tak ada apapun selain Allah".
Untuk lebih jelasnya kita simak pendapat aL-Junaid mengenai pernyataan 'Aku' yang diungkapkannya. Mengapa beliau menyalahkan bekas muridnya? Karena beliau tahu bahwa aL-Hallaj belum mampu melepaskan ego dirinya, karena itulah ia terhukum sebagaimana Iblîs dihukum Tuhan. Ia tidak layak menyingkap selubung rahasia Tuhan, karena yang berhak mengungkapkan Aku adalah AKU itu sendiri, bukan ego kita di mana kesadaran dirinya masih ada. Sebab jika instrumen dirinya itu masih ada, maka ia tidak akan pernah bisa menggambarkan Tuhan seperti apa. Ia akan mengungkapkan Tuhan seperti apa yang dirasakan oleh dirinya, bukan keadaan Tuhan yang sebenarnya sebagaimana Musa membiarkan dirinya hancur (fanâ') bersama Bukit Thursina, dan pada saat itu Allah menampakkan Dirinya, bahwa Aku tidak bisa dilihat dengan matamu dan oleh dugaan egomu, tidak bisa digambarkan oleh persepsi pikiranmu, hatimu, perasaanmu dan jiwamu sendiri. Aku mengenali diri-Nya secara sempurna. Inilah yang membedakan dengan pantheisme Hindu dan Kristen, yang menganggap Tuhan telah beremanasi kepada Sri Kresna ataupun Yesus Kristus.
aL-Hallaj menyadari, bahwa ia tidak mampu melepaskan kenyataan Ketuhanan yang tidak bisa dipersepsikan oleh hatinya sendiri, sehingga ia harus rela melenyapkan dirinya dengan harapan ia mampu meniadakan dengan cara kematian yang tragis, bukan dengan peniadaan (fanâ') pengertian spiritual yang dialami Junaid maupun Nabi Musa. Maka ia pun berkata dengan tulus agar ia mampu cepat melepaskan keterikatannya dengan dirinya, dengan sebenarnya; uqtulûnî yâ tsiqqatî, innâ qatlî hayâtî (bunuhlah aku sahabatku, kematianku itulah hidupku).
Inilah kenyataan yang sebenarnya, bahwa kematiannya merupakan harapan yang dinantikan olehnya. Ia menemukan hidup yang hakiki, setelah alat-alat kemanusiaan tidak lagi ada, karena alat-alat pada diri manusia seperti penglihatan, pendengaran, perasaan dan angan-angan, tidak mampu meraih kenyataan yang sebenarnya. Ia mati dalam kebahagiaan yang abadi. Ia telah bebas dari keterikatannya, ia tidak lagi berada di dalam ambang Ilâhi, tetapi ia telah fanâ' melalui pertolongan tangan algojo yang memenggal kepalanya pada tanggal 18 Dzulqa'idah 309 H.
2.Wahdatul Wujud: Pemahaman Sufisme Ibn Araby
Ibn
Araby adalah penganut paham Tauhid Wujudi, bahkan ia merupakan panutan
dalam pemikiran ini, yaitu pemikiran yang selalu menjadi sorotan tajam
kalangan fuqohâ. Pemikiran inilah yang menjadi landasan konsep
pendidikannya dan semua pola pikirnya berporos pada pemahaman ini.
Dalam menjelaskan konsep wahdatul wujud Ibn Araby mengungkapkan; "ketahuilah bahwa wujud ini satu namun Dia memiliki penampakan yang disebut dengan alam dan ketersembunyian-Nya yang dikenal dengan asmâ (nama-nama), dan memiliki pemisah yang disebut dengan barzakh yang menghimpun dan memisahkan antara batin dan lahir. "Ketahuilah bahwa Tuhan segala Tuhan adalah Allah swt. sebagai Nama Yang Teragung dan sebagai Ta'ayyun (Pernyataan) Pertama. Ia merupakan sumber segala nama, dan tujuan terakhir dari segala tujuan, dan arah dari segala keinginan, serta mencakup segala tuntutan. Kepada-Nya-lah isyarat yang difirmankan Allah kepada Rasul-Nya saw., karena Muhammad adalah penampakan dari pernyataan pertama (ta'ayyun awwal). Ketahuilah bahwa segala nama dari nama-nama Allah merupakan gambaran dalam ilmu Allah yang bernama 'mahiat' atau 'ain tsabitah' (esensi yang tetap). Setiap nama juga memiliki gambaran di luar yang diberi nama dengan madhôhir (penampakan atau fenomena) dan segala nama tersebut merupakan pengatur dari madhôhir (fenomena-fenomena) ini. Sedang Haqîqah Muhammadiyyah merupakan gambaran dari nama Allah yang menghimpun segala nama Ketuhanan yang darinya muncul limpahan atas segala yang ada, dan Allah swt. sebagai Tuhannya. Haqîqah Muhammadiyyah yang mengatur gambaran alam seluruhnya dengan Tuhan yang tampil padanya disebut dengan Rab aL-Arbâb (Allah swt.)."
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan Haqîqah Muhammadiyyah di sini bukanlah Nabi Muhammad sebagai manusianya, namun Haqîqah Muhammadiyyah adalah Asmâ dan Shifât Allah. Nabi Muhammad disebut dengan Muhammad karena Beliau mampu berakhlak dengan seluruh akhlak Ketuhanan tersebut. Selanjutnya Ibn Araby juga mengatakan: "ketahuilah bahwa yang ada hanya Allah beserta Shifat-Nya, Af'âl-Nya, maka semuanya adalah Dia, dengan-Nya, dari-Nya dan kepada-Nya. Jika ia terhijab dari alam ini —walaupun sekejap— maka binasalah alam semesta ini secara total. Kekalnya alam ini dengan penjagaan dan penglihatan-Nya kepada alam. Akan tetapi, jika sesuatu sangat tampak jelas dengan cahaya-Nya hingga pemahaman tidak mampu untuk mengetahuinya, maka penampakan itulah yang disebut dengan hijab." Jadi, Asmâ dan Shifât itulah yang disebut dengan Haqîqah Muhammadiyyah, dan alam muncul dari hakikat tersebut. Oleh sebab itu, Ibn Araby mengungkapkan: "Alam pada hakikatnya adalah satu, namun yang hilang dan muncul adalah gambarnya saja". "Maha Suci Allah yang menciptakan segala sesuatu, Dialah segala sesuatu tadi." Artinya, penampakannya tiada lain adalah Dia juga, yang tampil dari-Nya adalah Dia juga.
Lebih jelasnya Syeikh Abd Ar-Rauf Singkil menjelaskan dalam sebuah karyanya; "wujud alam ini tidak benar-benar sendiri, melainkan terjadi melalui pancaran. Yang dimaksud dengan pancaran di sini adalah bagaikan memancarnya pengetahuan dari Allah swt. Seperti halnya alam ini bukan benar-benar Dzât Allah, karena ia merupakan wujud yang baru, alam juga tidak benar-benar lain dari-Nya. Karena ia bukan wujud kedua yang berdiri sendiri di samping Allah." Jadi, alam bukanlah sebenarnya Allah, namun pancaran-Nya. Dengan kata lain, hijabnya. Kesimpulannya, yang tampak itulah makhluk ciptaan-Nya sedang Dzât-Nya tetaplah gaib. Hal ini dijelaskan oleh Ibn Araby sebagai berikut: "Allah nyata ditinjau dari penampakan-Nya pada ciptaan-Nya, namun batin dari segi Dzât-Nya."
Tajalliyat (teofani) Allah pada tingkatan wujud adalah merupakan penampakan Allah berupa kesempurnaan dan keagungan yang abadi. Dzât-Nya merupakan sumber pancaran yang tak pernah habis keindahan dan keagungan-Nya. Ia merupakan perbendaharaan tersembunyi yang ingin tampil dan dikenal. Allah sebagai keindahan ingin membuka perbendaharaan tersembunyi tersebut dengan tajalliyât (teofani) Haqq, tentunya semesta merupakan penampakan dari keagungan, keindahan dan kesempurnaan-Nya dalam pentas alam yang maha luas. Dalam hadits qudsi Allah berfirman;
"Aku adalah kekayaan tersembunyi. Aku menginginkan untuk dikenali, oleh karena itu Aku menciptakan alam semesta ini".
Menurut
Ibn Araby, Tajalliyât aL-Wujud dengan gambaran global terbagi dalam
tiga hadirat. Pertama, Hadirat Dzât (Tajalliyât Wujûdiyyah Dzâtiyyah),
yaitu pernyataan dengan diri-Nya untuk diri-Nya dari diri-Nya. Dalam hal
ini, Ia terbebas dari segala gambaran dan penampakan, dan ini dikenal
dengan Ahadiyyah. Pada keadaan ini, tampak Dzât Allah terbebas dari
segala sifat, nama, kualitas, dan gambaran. Ia merupakan Dzât Yang Suci
yang dikenal dengan rahasia dari segala rahasia, gaib dari segala yang
gaib, sebagaimana ia merupakan penampakan Dzât, atau cermin yang
terpantul darinya hakikat keberadaan yang mutlak.
Kedua, Tajalliyât Wujûdiyyah Dzâtiyyah yang merupakan pernyataan Allah dengan diri-Nya, untuk diri-Nya, pada penampakan kesempurnaan-Nya (Asmâ) dan penampakan Sifat-Sifat-Nya yang azali. Keadaan ini dikenal dengan Wahdah. Pada keadaan ini tampak hakikat keberadaan yang mutlak. Dalam hiasan kesempurnaan inilah yang dikenal dengan Haqîqah Muhammadiyyah (kebenaran yang terpuji), setelah ia tersembunyi pada rahasia gaib yang mutlak dengan jalan faidl al-aqdas (limpahan paling suci karena ia langsung dari Dzât Allah). Dalam keadaan ini, tampillah al-a'yan ast-tsabitah (esensi-esensi yang tetap) atau ma'lumat Allah.
Dan ketiga, Tajalliyât Wujûdiyyah Fi'liyyah (af'âliyyah), yaitu pernyataan aL-Haqq dengan diri-Nya, untuk diri-Nya dalam fenomena esensi-esensi yang luar (al-a'yân al-khârijah) atau hakikat-hakikat alam semesta. Keadaan ini dikenal dengan mutlak dengan Dzât-Nya, Sifat-Nya dan Fi'lu-Nya dengan jalan limpahan yang suci (al-faidl al-muqaddas). Allah pun tampak pada gambaran esensi-esensi luar (al-a'yân al-khârijah), baik yang abstrak maupun yang konkret yang merupakan asal dari alam semesta seluruhnya.
Allah swt. merupakan awal dari tajalliyât wujud segala fenomenanya dan dimensinya. Jadi, Dia tidak berasal dari ketiadaan dan tidak berakhir kepada ketiadaan pula. Ia merupakan karya absolut yang berada pada tingkatan yang absolute. Ia berasal dari yang Haqq dengan Haqq dan kepada yang Haqq, baik dalam tahap Dzât, Shifât dan Af'âl. Semuanya adalah penampakan dari hakikat yang satu. Namun, apakah berarti alam adalah Allah dan Allah adalah alam? Bisa dikatakan 'ya' dan bisa 'tidak', sebagaimana yang Ibn Araby ungkapkan dalam salah satu karyanya: "Dalam hal ini, ada sebagian golongan sufi yang terpeleset jatuh dalam kekhilafan dari yang sebenarnya. Mereka berkata; "tidak ada kecuali apa yang engkau lihat bahwa alam adalah Allah dan Allah tiada lain adalah alam." Kesaksian ini terjadi karena mereka belum benar-benar mencapai apa yang dicapai oleh Muhaqiqûn. Kalau mereka mencapai apa yang dicapai oleh Muhaqiqûn, niscaya tidak akan berkata demikian dan menetapkan segala hakikat pada tempatnya dan mengetahuinya dengan ilmu dan penyingkapan."
Di samping itu, penyatuan antara makhluk dan Khaliq dan adalah mustahil (ittihâd), ataupun Allah bertempat (hulûl) juga mustahil. Hal ini ia jelaskan dalam sebuah kitabnya: "Ittihad adalah mustahil karena dua dzât menjadi satu, tidak akan mungkin bertemu antara hamba dan Tuhan pada satu wajah selamanya ditinjau dari Dzât-Nya." Dari pernyataan ini, jelas Ibn Araby tidak berpaham pantheisme (wahdatul wujud). Jadi, bagaimana menafsirkan wahdatul wujud tersebut?
Sebagaimana
yang diungkapkan sebelumnya, bahwa Dzât Allah adalah sumber segalanya.
Jadi yang disebut eksistensi atau wujud adalah Dzat tersebut. Sedangkan
keadaan yang dikenal dengan Haqîqah Muhammadiyyah (a'yân tsâbitah,
wahdah, tajalliyât wujûdiyyah shifâtiyyah) merupakan penampakan atau
bayangan dari Dzât Yang Suci yang bernama Allah. Kemudian keadaan yang
bernama Wahdaniyyah (tajalliyât wujûdiyyah fi'liyyah atau a'yân
khârijiyyah) adalah bayangan dari Wahdah atau Haqîqah Muhammadiyyah.
Jadi, seluruhnya bayangan dari Dzât Yang Suci.
Lebih jelasnya, alam ini (a'yân khârijiyyah) adalah penampakan atau bayangan dari Asmâ' Allah yang dikenal dengan Haqîqah Muhammadiyyah ataupun A'yân Tsâbitah. Sedangkan Asmâ adalah penampakan dari Dzât Yang Maha Suci. Jadi, bayangan adalah sesuatu yang pada hakikatnya tiada namun ia ada bergantung kepada Dzat Allah, sebagaimana bayangan suatu benda. Penjelasan di atas dikuatkan dengan perkataan Ibn Araby dalam kitab Futuhat aL-Makiyyah; "Jika engkau menyatakan: "Tiada sesuatu pun yang setara dengan-Nya", maka hilanglah bayangan, sementara bayangan nyata-nyata terbentang. Maka hendaklah engkau memperhatikan lebih seksama." Dalam kitab aL-Jalâlah beliau menjelaskan: "Segala sesuatu memiliki bayangan, dan bayangan Allah adalah Arsy. Akan tetapi, bukanlah setiap bayangan terbentang. Arsy bagi Tuhan adalah bayangan yang tidak terbentang,. Apakah engkau tidak memperhatikan bahwa jisim yang memiliki bayangan, apabila diliputi oleh cahaya, maka bayangannya ada padanya?" Bayangan yang dimaksud di sini adalah alam semesta. Manusia memiliki banyak bayangan jika dia disinari oleh beberapa cahaya dari berbagai arah. Wajahnya akan muncul dalam berbagai cermin yang pada hakikatnya ia adalah satu namun dipatulkan oleh beragam cermin. Begitu pula Allah Esa dari segi Dzât-Nya dan terbilang dari segi penampakan-Nya dalam gambaran serta bayangan-Nya dalam cahaya. Jadi jelas, bahwa sebenarnya alam ini adalah bayangan yang hakikatnya tiada atau yang disebut dengan bathil.
Ibn Araby juga menyatakan dalam Ar-Risâlah aL-Wujûdiyyah: "Sesungguhnya engkau tidak pernah ada sama sekali dan bukan pula engkau ada dengan dirimu atau ada di dalam-Nya atau bersama-Nya dan bukan pula engkau binasa ataupun ada." Untuk menjelaskan perkataan ini, ia mengutip perkataan Abu Sa'id aL-Kharraj yang menyatakan: "Aku mengenal Allah dengan menghimpun segala dua hal yang bertentangan." Artinya, Dialah Yang Lahir dan Yang Batin tanpa keadaan yang lain. Dijelaskan juga dalam kitabnya Ar-Risâlah aL-Wujûdiyyah: "Dialah Yang Awal tanpa berawal, Yang Akhir tanpa berakhir, Yang Lahir tanpa jelas, Yang Batin tanpa tersembunyi." Hal ini jika dipahami berarti bahwa manusia tidak memiliki keberadaan yang independent. Dalam arti, keberadaannya pada hakikatnya adalah bayangan dari keadaan Allah. Karena pada hakikatnya manusia tiada, dan yang ada adalah Allah. Jadi, manusia adalah penampakan, bayangan, atau ayat Allah yang pada hakikatnya adalah tiada atau hayal. Karena suatu yang sifatnya hayal berjumpa dengan hayal seolah kelihatan nyata. Dalam Fusus aL-Hikam Ibn Araby menyatakan: "Ketahuilah, bahwa hadirat hayal merupakan hadirat yang menghimpun dan mencakup segala sesuatu dan yang bukan sesuatu." Jadi jelas bahwa alam ini adalah fana atau hayal dan yang kekal dan tampak adalah Zat-Nya Yang Suci dengan penampakan-penampakan yang indah dan agung yang mewujudkan kesempurnaan-Nya yang tiada batas."
Menurut Ibn Araby, sesuatu yang menjadi ada karena adanya keberadaan yang lain, bukanlah keberadaan yang sejati, namun keberadaannya bergantung kepada Wujud Yang Sejati. Keberadaannya disebut dengan hayal. Artinya, ia ada karena bergantung pada Wujud Sejati. Namun jika sesuatu tidak bergantung kepada Wujud Sejati tentu dia tiada, karena siapa yang akan memberikannya keberadaan? Jadi jelas, yang dimaksud dengan wahdatul wujud adalah bahwa wujud yang sejati adalah satu. Bukan berarti alam adalah Allah dan Allah adalah alam. Kesatuan wujud ini juga dapat dipahami dari sebuah hadits yang sering dikutip Ibn Araby dalam menerangkan masalah Wahdatul wujud, yaitu;
"Dahulu Allah tiada sesuatu apapun beserta-Nya, dan sekarang Ia sebagaimana keadaan-Nya dahulu."
Yang
dapat disimpulkan dari penjelasan di atas ialah, alam bisa dikatakan
Allah dan bisa juga tidak. Dilihat dari keterbatasan alam dan hakikatnya
yang merupakan hayal semata, maka alam bukanlah Allah. Namun jika
dilihat bahwa alam tidak akan muncul dengan sendirinya dan mustahil ada
wujud di samping Allah ataupun di atas-Nya atau di bawah-Nya atau di
tengah-Nya atau di dalam-Nya atau di luar-Nya, maka alam adalah
penampakan Allah. Penampakan itu tiada lain Allah jua adanya. Di balik
itu semua, dalam memahami hal ini, bukanlah cukup dengan logika, namun
harus dibuktikan dengan penyaksian sebagaimana pernyataan Ibn Araby:
"Tauhid adalah penyaksian dan bukan pengetahuan. Barang siapa
menyaksikan, maka ia telah bertauhid, dan barang siapa hanya mengetahui,
maka ia belum bertauhid." Jadi, beginilah yang dapat dipahami dari
wahdatul wujud. Permasalahan tanzîh dan tasybîh akan lebih menjelaskan
konsep wahdatul wujud ini.
Tasybîh dan Tanzîh
Permasalahan
tasybîh dan tanzîh juga merupakan polemik berkepanjangan dan tak
berujung akhir. Dalam hal ini, Ibn Araby berpendapat bahwa dalam
mengenal Allah manusia harus melihat Tanzîh-Nya (Kesucian Allah dari
segala sifat yang baharu) pada Tasybîh-Nya (Keserupaan-Nya dengan yang
baharu) dan Tasybîh-Nya pada Tanzîh-Nya. Artinya, untuk mengenal Allah
harus menggabungkan dua aspek tadi sekaligus. Ibn Araby kerap mengutip
perkataan Abu Sa'îd aL-Kharraj: "Aku mengenal Allah dengan menggabungkan
dua hal yang bertentangan."
Menurutnya, apabila seorang mengenal Allah hanya dengan aspek tanzîh, berarti dia telah membatasi kemutlakan-Nya. Karena tanzîh berarti menafikan segala sifat bagi Allah seperti yang dilakukan oleh kalangan Mu'tazilah yang melucuti Tuhan dari segala sifat, hingga Allah menjadi suatu yang tidak bisa dikenal dan dijangkau. Hal ini mengakibatkan terputusnya hubungan Tuhan dengan manusia. Kemudian jika hanya mengenal Allah dalam aspek tasybîh saja, seperti yang dilakukan kalangan aL-Mujassimah, maka mengakibatkan keserupaan Tuhan dengan yang baharu.
Dalam kitab Fusus aL-Hikam, Ibn Araby mengatakan; "Penyucian dari orang yang mensucikan merupakan pembatasan bagi yang disucikan, karena ia telah mengistimewakan Allah dan memisahkan-Nya dari sesuatu yang menyerupai. Jadi pensucian-Nya dari suatu sifat yang wajib merupakan keterikatan dan keterbatasan, maka tidak ada di sana kecuali Yang terikat dan Maha Tinggi dengan kemutlakan-Nya dan ketidakterbatasan-Nya."
Jadi tanzîh tersebut merupakan pembatasan. Artinya, yang mensucikan telah mensucikan Allah dari sifat materi dan menyamakan-Nya dengan sifat ruhani yang suci. Dengan begitu, ia telah mensucikan Allah dari keterbatasan, namun dengan sendirinya ia telah membatasi-Nya dengan kemutlakan, sedang Allah Maha Suci dari ikatan keterbatasan dan kemutlakan, akan tetapi Ia Maha Mutlak tidak terikat oleh tanzîh maupun tasybîh juga tidak menafikan keduanya. Ibn Araby juga menjelaskan: "Tidak ada yang serupa dengan-Nya", (QS. Asy-Syûro : 11) potongan ayat ini mengisyaratkan tanzîh, dan potongan ayat berikutnya; "Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat", mengisyaratkan tasybîh.
Abd Karîm aL-Jilly menerangkan mengenai hal ini sebagai berikut: "Yang mensucikan, berarti telah mengosongkan Tuhan dari segala sifat, sehingga dia menghilangkan kuasa Tuhan, dan yang menyerupakan Tuhan, berarti telah menghiasi-Nya dengan sifat yang tak pantas (mujassimah). Sedangkan yang berada di antara keduanya (berada antara tasybîh dan tanzîh), tidak menanggalkan apa yang pantas bagi Allah dan menyifati-Nya dengan sifat yang pantas bagi-Nya. Bahkan ia berkata, Allah adalah Yang Lahir dan Yang Batin atau ia menyifati Allah dengan Lahir dan Batin. Aspek Batin merupakan hukum kesempurnaan bagi-Nya, sedang aspek Lahir merupakan nyatanya Ia dalam segala yang ada." Ibn Araby menjelaskan dalam sebuah syair: "jika engkau mengatakan dengan tanzîh, maka engkau membuat-Nya terikat, jika engkau mengatakan dengan tasybîh, engkau membuat-Nya terbatas, jika engkau katakan dengan dua hal tadi, maka engkau benar, engkau menjadi imam dalam ma'rifat dan menjadi penghulu.
Penafsiran Ibn Araby tentang tanzîh dan tasybîh sesuai dengan doktrin ontologisnya tentang wahdatul wujud, yang bertumpu pada perumusan ambiguous: 'Dia dan bukan Dia' (Huwa lâ Huwa) sebagai jawaban atas persoalan apakah alam identik dengan Tuhan?. Dalam perumusan ini, terkandung dua bagian jawaban. Bagian positif, yaitu 'Dia' dan bagian negatif, yaitu 'bukan Dia'. Bagian pertama menyatakan bahwa alam identik dengan Tuhan. Bagian terakhir menegaskan aspek tanzîh Tuhan. Dapat pula dikatakan bahwa penafsiran Ibn Araby tentang tanzîh dan tasybîh sejalan dengan prinsip memadukan segala hal yang bertentangan. Misalnya antara Yang Satu dan yang banyak, Yang Lahir dan Yang Batin. Oleh sebab itu, dinyatakan Hakikat Muhammad-lah yang menghimpun antar aspek tanzîh dan tasybîh antara qirôn dan furqôn antara jama' dan tafshîl.
Ada ungkapan-ungkapan kaum sufi yang mengisyaratkan tasybîh yang dikenal dengan syatahat seperti ungkapan Biyazid aL-Bashthâmy; "Maha Suci Aku, betapa Agung keadaan-Ku." Imam Junaid mengatakan; "Tidak ada dalam jubah ini selain Allah." aL-Hallaj berkata; "Anâ aL-Haqq". Abu Bakar Asy-Syibly berkata; "Aku adalah titik dibawa Ba." Perkataan ini semua mengandung tasybîh aL-Haqq dengan yang baharu. Ada sebagian kaum yang mengkafirkan orang yang berkata demikian dan ada yang menta'wilkannya.
Ini semua berkaitan dengan ayat-ayat muhkamât dan mutasyâbihât. Sepanjang sejarah, pembicaraan ini tidak pernah ada ujung akhirnya, karena kasus Keesaan Tuhan terus bergulir. Ulama salaf mengimani ayat mutasyâbihât dalam batasan tidak menta'wilkannya, sebagaimana ungkapan Imam Mâlik: 'Istiwâ' itu diketahui artinya, namun kaifiyyahnya tidak diketahui, beriman dengannya wajib, bertanya mengenainya bid'ah." Ulama kholâf menta'wilkannya, ada yang menta'wilkannya dengan berkuasa dan mengatur. Sedang kaum Mu'tazilah mensucikan Tuhan dari segala sifat, apalagi sifat yang baharu dengan alasan; jika sifat itu qodîm, maka akan banyaklah yang qodîm. Kaum Mujassimah menyamakan-Nya dengan yang baharu dan seterusnya. Berkaitan dengan muhkamât dan mutasyâbihât ini dijelaskan dalam aL-Qurân;
"Dia-lah yang menurunkan aL-Kitab (aL-Qur'ân) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamât itulah pokok-pokok isi aL-Qur'ân dan yang lain (ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyâbihât untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (dari padanya) melainkan orang-orang yang berakal." (QS. Ali-Imrân : 7)
Jadi,
ayat yang muhkamât mewakili aspek tanzîh sedang yang mutasyâbihât
mewakili aspek tasybîh. Pada wajah yang banyak inilah samar antara Haqq
dan bathil, maka turunlah ayat aL-Qurân agar ayat-ayat mutasyâbihât
diletakkan pada wajah-wajah yang sesuai dengan potensinya, hingga setiap
sesuatu berkaitan dengan yang lain sesuai dengan kesiapannya. Maka dari
sinilah timbul ujian dan cobaan. Adapun orang 'ârif yang muhaqqaq yang
mengenal Wajah Yang Kekal dalam berbagai gambaran dan bentuk mengenal
wajah tersebut dari wajah-wajah yang mutasyâbihât, maka ia
mengembalikannya kepada muhkamât. Seorang penyair berkata; "Sungguh
Wajah hanyalah Satu. Namun jika engkau perbanyak cermin Ia menjadi
terbilang."
Adapun orang yang terhijab dari kebenaran, maka dia akan mengikuti yang mutasyâbihât karena ia terhijab dari Yang Satu oleh yang banyak, dan memilih keyakinan sesuai dengan seleranya untuk menyebar fitnah. Jalan untuk mengenal yang muhkamât dan mutasyâbihât adalah lewat cermin Muhammad saw., mengikuti ajarannya dengan memasrahkan pengetahuan mengenai hal tersebut kepada Allah agar Allah sendiri membukakan kepada kita dan mengenalkan diri-Nya kepada kita.
Kesimpulannya, Allah Mutlak dengan keterbatasan-Nya dan Terbatas dengan kemutlakan-Nya. Dengan kata lain, Allah Mutlak dari segi Dzât-Nya Yang Maha Suci dari segala sifat, dan terbatas dalam kemutlakan dengan nama-nama, sifat-sifat, af'âl, dan madhôhir kauniyyah (fenomena-fenomena alam) yang merupakan tajalliyyât-Nya yang tak terhingga. Jadi, penampakan-Nya itu sendiri tidak terbatas, karena kalimat-Nya tidak pernah habis. Inilah yang disebut sebagai lautan tak bertepi. Dialah Yang Maha Esa dalam banyak rupa dan rupa yang banyak pada hakikatnya wajah-wajah dari Dzât Yang Esa. Yang banyak adalah tiada dan yang ada hanya Dzât yang Esa. Dialah Jâmi' atau Penghimpun segalanya, dan Fâriq atau Pembeda segalanya dalam berbagai rupa. Aspek Jamâl (keindahan)-Nya mewakili tasybîh dan aspek Jalâl (keagungan)-Nya mewakili tanzîh yang keduanya mewujudkan Kamâl (kesempurnaan) bagi Dzât-Nya. Namun keseluruhannya itu menunjukkan kemutlakan yang tak terhingga. Di atas semua itu, pengenalan akan Allah adalah ketidaktahuan. Jadi, seperti yang dikatakan Abu Bakar; puncak pengenalan akan Allah adalah ketidakmampuan untuk mengenal-Nya dan ketakjuban akan ke-Maha Besaran-Nya. Abu Thâlib aL-Makky berkata; "tidak mengenal Allah selain Allah." Rasûlullâh saw. bersabda;
"Wahai Tuhanku, tambahkanlah kepadaku kebingungan (takjub) kepada-Mu."
Dan;
"Ya Allah, kami tidak mampu menghimpun pujian kepada-Mu sebagaimana Engkau memuji diri-Mu Sendiri."
3.Manunggaling Kawula-Gusti: Pemahaman Sufisme Siti jenar
Semua
paham di atas bisa dibandingkan dengan pemahaman sufisme syaikh Siti
Jenar. Seorang tokoh mistik di pulau Jawa, yang masa kecilnya bernama
San Ali yang diberikan oleh ayah angkatnya, Ki Danusela dan kemudian
diganti dengan Abdul Jalil. Di antara doktrin kontroversial dari tokoh
sufi asal tanah Jawa ini adalah paham manunggaling kawulo-Gusti dan
wahdatul adyân atau kesatuan agama-agama.
Namun dalam kajian pemahaman sufisme Siti Jenar ini sengaja tidak disinggung doktrin manunggaling kawula-Gusti yang 'seolah' sudah menjadi ajaran tak terpisahkah dalam paham Siti Jenar, karena pada hakikatnya term manunggaling kawula-Gusti hanyalah istilah lain dari hulûl atau ittihâd dalam kancah tasawuf Kejawen, di mana doktrin hulûl atau ittihâd dalam dunia tasawuf sejatinya tidak pernah ada selain muncul dari ungkapan-ungkapan yang lebih bersifat 'pengakuan' atau bahkan 'tuduhan'. Sebab, puncak dari ajaran tasawuf adalah peng-Esa-an Allah (tauhid) dengan menafikan semesta wujud selaian Dia (Huwa), yang melampaui doktrin hulûl dan ittihâd yang masih melihat dualitas wujud yang lantas salah satunya masuk (hulûl) atau menyatu (ittihâd) pada yang lain. Dalam kajian Siti Jenar ini, akan diuraikan paham wahdatul adyân (kesatuan agama-agama) dan thariqah yang ditempuh Siti Jenar dalam jalan mistiknya.
Paham yang menjadi pandangan Siti Jenar adalah bahwa para pemeluk agama pada hakikatnya adalah sama, yakni menuju kepada-Nya. Perbedaan yang terlihat pada dasarnya hanyalah penampakan inderawi belaka. Yang gelap maupun yang terang, yang sesat maupun yang lurus, semua menuju kepada-Nya. Jika seseorang berada dalam golongan Muslim yang dianugerahi iman yang lurus, maka sesungguhnya ia berada dalam golongan yang tercerahkan oleh cahaya salah satu nama indah-Nya, yakni aL-Hâdî (Yang Maha Memberi Petunjuk) yang darinya mengalir para Malaikat, nabi, rasul, wali dan orang-orang shaleh. Sedangkan jika seseorang berada dalam kegelapan di luar ajaran Islam, maka sesungguhnya ia berada di dalam golongan yang terbimbing oleh salah satu nama indah-Nya, yakni aL-Mudhil (Yang Maha Menyesatkan) yang darinya mengalir iblis, setan, penyembah berhala dan pemuja kegelapan.
Apapun akidah seseorang, menurut Siti Jenar semuanya bersumber dari-Nya dan bermuara kepada-Nya. Dialah yang Tunggal pemilik dan pengatur segala sesuatu yang tergelar di alam semesta. Yang memiliki kekuasaan mutlak untuk menggolongkan orang ke dalam pancaran masing-masing nama-Nya. Dia pula yang berkuasa mutlak membimbing orang ke jalan terang atau menyesatkan orang ke jalan kegelapan tanpa ada yang mengganggu gugat. Jalan terang atau jalan gelap pada hakikatnya tergantung mutlak pada kehendak-Nya.
"Barangsiapa
yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk;
dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan
seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya". (QS.
aL-Kahfi : 17)
Seseorang
menjadi Muslim atau non-Muslim pada hakikatnya bukanlah keinginan
pribadinya. Semua yang menentukan adalah Allah. Lantaran itulah ketika
nabi Muhammad saw. mendoakan pamannya, Abu Thalib, agar menjadi Muslim,
justeru ditegur oleh Allah bahwa beliau hanyalah sekedar menyampaikan
seruan Islam, persoalan Muslim atau tidak yang menentukan Alah.
"Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi,
tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya". (QS.
aL-Qoshshosh : 56)
Anggapan
suci dan lurus terhadap keyakinannya, adalah karena ia berada dalam
pandangan keyakin itu, sehingga menganggap ajaran lain sesat. Namun jika
ia berada dalam keyakinan sesat itu, ia juga akan mengganggapnya lurus
dan menyesatkan terhadap keyakinan yang lain. Demikianlah Allah memang
menempatkan sudut pandang yang berbeda bagi tiap-tiap umat untuk
memandang realitas yang tergelar di hadapannya. Dengan sudut pandang
inilah masing-masing manusia memiliki perbedaan agama yang dianutnya.
Namun jika minilik sisi hakikat bahwa tiap-tiap agama memiliki tatanan
yang mengatur kehidupan makhluk terhadap sesama dan Pencipta; semua
agama yang benar pasti berisi ajaran penyembahan kepada Tuhan; semua
agama pasti berdiri di atas landasan hukum suci yang berdasarkan moral
demi terjaganya keseimbangan kehidupan dunia, maka semua agama adalah
secita yang sama. Tetapi, hal itu tidak berarti bahwa semua agama adalah
sebangun, sewarna dan secitra. Keragaman agama-agama justeru merupakan
keniscayaan dari kesempurnaan-Nya sebagai sang Pencipta yang wajib
disembah oleh segala agama, segala bangsa bahkan segala makhluk semesta.
Keragaman agama adalah kehendak Dia semata. Dia Allah, Tuhan yang Maha
Esa, ingin disembah ciptaan-Nya dengan segala macam cara sesuai batas
kemampuan dan pemahaman penyembahan makhluk-Nya.
Jika seseorang hendak menuju kepada-Nya, maka harus memahami hakikat ketunggalan-Nya sehingga tidak terjebak dan terperangkap dalam batasan-batasan yang telah dibuat-Nya untuk menghijab ciptaan-Nya dari-Nya. Seseorang harus menyingsingkan tiap-tiap hijab yang membungkus kesadaran sejati sehingga bisa memahami bahwa seluruh makhluk semesta; Malaikat, manusia, hewan, tumbuhan, jin, setan bahkan iblis adalah penyembah dan pemuja-Nya meski dengan sebutan dan tata-cara yang berbeda.
Adapun jalan thariqat yang ditempuh Siti Jenar dalam mencari "Aku Sejati" adalah melalui thariqat Akmâliyyah, sebuah thariqat yang diwariskan nabi Muhammad saw. lewat hadlrah Abû Bakar yang tidak mengenal istilah mursyid berupa manusia, sebab mursyid dalam thariqat ini adalah Nûr Muhammad yang terdapat dalam diri manusia sendiri. Eksistensi seorang guru hanyalah sebatas petunjuk untuk menuntun langkah awal seorang salik dalam mencari guru sejati ini, dan memalui Nûr Muhammad itulah manusia akan mencapai Sumber Segala Sumber.
Orientasi fundamental thariqat ini adalah perjalanan kembali ke asal, yaitu innâ lillâh wa innâ ilaih râji'ûn. Kembali kepada Allah swt. Yang Maha Gaib, Maha Dhahir dan Maha Tak Terbandingkan. Kendati demikian, bukan berarti doktrin ini mengajarkan pengikutnya menanggalkan kehidupan duniawi secara total dan menjadi pertapa murni, melainkan seorang salik harus menjadikan hierarki kehidupan ini sebagai medan perjuangan menuju Dia. Boleh jadi penganut thariqat ini adalah seorang raja besar, panglima perang, saudagar kaya atau bahkan hamba sahaya. Karena orientasi thariqat ini berkaitan dengan suasana dan kiblat hati, bahkan setelah berhasil mencapai-Nya, seorang salik memiliki kewajiban untuk kembali ke tengah kehidupan manusia biasa sebagaimana hal itu diteladankan oleh Muhammad saw. setelah selama lima belas tahun berkhalwat untuk mencapai tahap bertemu Jibril di gua Hira dan perjalanan itu tetap beliau lakukan dengan istiqamah hingga mencapai peristiwa Isra' Mi'raj; menghadap ke hadirat sang Khâliq.
Lantaran
itulah tahapan perjalanan penempuh thariqat ini dibagi ke dalam empat
tingkatan. Pertama, as-safar min al-insân ilâ aL-Haqq (perjalanan dari
manusia menuju aL-Haqq). Kedua, as-safar fî aL-Haqq (perjalanan di dalam
aL-Haqq). Ketiga, as-safar min aL-Haqq ilâ al-insân bi aL-Haqq
(perjalanan kembali dari aL-Haqq menuju manusia bersama aL-Haqq). Dan
keempat, safar al-insân fî al-khalq bi aL-Haqq (perjalanan manusia di
tengah ciptaan bersama aL-Haqq).
Dalam menempuh perjalanan ini, bukanlah sebuah safari ajaib yang berlangsung gampang dan pintas, melainkan perjalanan penuh liku, tanjakan-tanjakan curam dan aral rintangan, karena harus melampaui tujuh lembah kasal, tujuh jurang futur, tujuh gurun malal, tujuh gunung riya', tujuh rimba sum'ah, tujuh samudera ujub dan tujuh benteng hajbun. Thariqat ini adalah jalan rahasia yang tidak untuk diajarkan kepada khalayak umum, karena mustahil menjelaskan kepada khalayak ramai tentang Dia (Huwa) yang tidak bisa digambarkan, dibayangkan dan dibandingkan, mustahil bisa menjelaskan kepada khalayak tentang kelezatan, kenikmatan, keindahan, kemuliaan dan keagungan bersama aL-Haqq, dan mustahil menyadarkan khalayak bahwa mereka tidak kembali ke surga yang penuh dengan kenikmatan, melainkan kembali ke Dia yang tidak bisa digambarkan.
Thariqat Akmâliyyah ini belum pernah diajarkan di depan khalayak umum kecuali pada masa Abu aL-Mughits aL-Husain bin Manshûr bin Muhammad aL-Baidlawy aL-Hallaj, dan tindakan itu terbukti bukan hanya mengakitkan kesalahpahaman melainkan juga menimbulkan kekacauan yang berakhir dengan eksekusi aL-Hallaj.
REFLEKSI SUFISTIK DAN KESADARAN ETIKA GLOBAL
Seperti
fenomena yang masih berkembang sampai saat ini, banyak yang menilai
ilmu tasawuf adalah ajaran sesat, bid'ah dan membahayakan. Penilaian
seperti ini terlalu gegabah dan tidak bijaksana. Penilaian yang
mengakibatkan ajaran Islam menjadi amat dangkal, karena nilai spiritual
yang seharusnya diajarkan telah hilang, yaitu nilai psikologi keihsanan
kepada Allah dalam setiap peribadatan, yang mestinya paling dianggap
menentukan dalam kaitan diterima atau ditolaknya perilaku keagamaan
seseorang.
Ada baiknya merenungkan ungkapan bijak seorang sufi yang shaleh menanggapi pernyataan orang yang menganggap dirinya Tuhan dengan doa dalam bentuk dialektis:
Oh
Allah, kau telah mengirim Musa dan Harun ke Fir'aun si pemberontak dan
berkata; "berbicaralah baik-baik dengannya", Oh Allah, inilah kebaikan
hati-Mu terhadap orang yang menganggap dirinya Tuhan; bagaimana pula
gerangan kebaikan hati-Mu terhadap orang menjadi abdimu sepenuh jiwanya?
Oh Allah, ada takut kepada-Mu karena aku budak, dan aku berharap
pada-Mu karena kaulah Tuan! …Oh Allah bagaimana pula aku tidak takut
pada-Mu karena Kau Maha Kuasa? Oh Allah, bagaimana aku datang kepada-Mu
karena aku budak yang memberontak, dan bagaimana aku tidak datang
kepada-Mu karena Kau Penguasa yang pemurah?.
Jadi,
jelaslah bahwa tidak ada alasan ilmiah apapun untuk menyatakan ajaran
tasawuf sebagai jalan bid'ah atau sesat. Penilaian ini jelas merupakan
kesalahan besar yang tidak bisa dimaafkan selain karena kejahiliahan
mereka yang tidak dianugerahi kemampuan untuk memahami jalan ini.
Tasawuf memang mempunyai filsafat yang begitu mendalam mengenai spiritualitas dan segi-segi religiusitas keberagamaan, sehingga healthy-spirituality bisa diperoleh dari tasawuf positif ini, di tengah ancaman "keberagamaan yang sakit" yang muncul karena otoritarianisme dalam beragama. Tasawuf menjanjikan penyelamatan. Apalagi di tengah berbagai krisis kehidupan yang serba materialis, hedonis, sekular, plus kehidupan yang kian sulit secara ekonomis maupun psikologis itu, tasawuf memberikan obat penawar ruhani, yang memberi daya tahan. Dalam wacana kontemporer, sering dibahas tasawuf sebagai obat mengatasi krisis keruhanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari kehidupan di dunia ini. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini memang sangat tidak mengenakkan dan membuat kegelisahan dan penderitaan batin. Maka mata air tasawuf yang sejuk memberikan penyegaran dan penyelamatan pada manusia-manusia yang terasing itu.
Mewujudkan cita-cita ini, bukanlah hal yang berlebihan. Apalagi dewasa ini tampak perkembangan yang menyeluruh dalam ilmu tasawuf dalam hubungan inter-disipliner. Beberapa contoh bisa disebut di sini, seperti pertemuan tasawuf dengan fisika, dan sains modern yang holistik, yang membawa kepada kesadaran arti kehadiran manusia dan tugas-tugas utamanya di muka bumi, seperti yang kini disebut The Anthropic Principle sebagai pertemuan tasawuf dengan ekologi yang menyadarkan mengenai pentingnya kesinambungan alam ini dengan keanekaragaman hayatinya, didasarkan pada paham kesucian alam; perjumpaan tasawuf dengan penyembuhan alternatif yang memberikan kesadaran bahwa masalah kesehatan bukan hanya bersifat fisikal, tetapi lebih-lebih ruhani, maka di sini tasawuf memberikan visi keruhanian untuk medis; perjumpaan tasawuf dengan psikologi baru yang menekankan segi transpersonal; dan lain-lain dari perjumpaan tasawuf dengan interdisipliner yang intinya sama, semua menyumbang kesadaran bahwa arti tasawuf dewasa ini bukan hanya pada keshalehan formal, tetapi justru terutama etika global. Untuk itu, tasawuf memang perlu wujud dalam cara dan gaya hidup modern. Cara hidup tasawuf bukan terutama benar dari formalnya, tetapi bagaimana nilai-nilai tasawuf itu menjadi way of life!
Islam di Indonesia telah berkembang sedemikian rupa sehingga kini tampak sangat formalis dalam beragama, seolah tidak ada lagi segi religiusitasnya. Bentuk-bentuk keshalehan formal dan keshalehan individual begitu menonjol. Keberagamaan sangat semarak, rumah ibadah berkembang pesat di mana-mana, jumlah orang naik haji meningkat, tetapi dari segi substansial, sebagai bangsa, keberagamaan rupanya belum mencerminkan nilai-nilai hakiki Islam lebih-lebih merefleksikan esensi ihsan. Apa yang disebut egalitarianisme, keadilan, kesadaran humanitarian, hormat kepada hukum, dan hak-hak asasi manusia, kesadaran lingkungan, kebersihan, penghargaan terhadap orang yang lemah, sikap inklusif dan pluralis, dan seterusnya, yang jelas merupakan nilai-nilai dasar agama, ternyata nilai religiusitasnya nyaris tidak tercermin dalam kehidupan masyarakat. Kiranya, sangat tepat jika saatnya penghayatan sufisme kembali ditanamkan dalam kalbu kehidupan masyarakat modern untuk merubah keshalehan formal kepada keshalehan sufistik.
Komentar
Posting Komentar