1. Mencari Hikmah
Pertanyaan ini patut diajukan terlebih dahulu mengingat ada sebagian pihak yang memandang bahwa mencari alasan, rahasia, dan hikmah di balik ketentuan Allah merupakan tanda ketidak patuhan, dan pengingkaran. Dalam hal ini kita patut mengembalikannya terlebih dahulu kepada dasar pandangan ini. Dalam salah satu ayat Al Quran disebutkan bahwa Allah tidak ditanya dan dituntut atas apa yang diperbuatnya (Q.S. Al Anbiya’: 23). Allah memiliki kebebasan yang tidak akan pernah dimiliki oleh siapa pun. Hal ini karena –sebagaimana pendapat mazhab sunni-Asy’ari– Allah tidak akan pernah dikatakan zalim, walaupun mungkin bagi manusia hal itu sangat menyakitkan. Allah memiliki sifat jaiz, wenang, dan bebas berkehendak. Allah berhak menciptakan dan menetapkan segala sesuatu kepada manusia, baik sesuatu tersebut mengandung manfaat ataupun tidak. Karena Ia telah berbuat pada milik dan kekuasaan-Nya sendiri. Jadi kalaupun yang dibebankan kepada manusia tersebut tidak mengandung manfaat, faidah, ataupun hikmah, hal itu bukan masalah bagi Allah.
Dari ayat di atas pula, seakan ingin ditegaskan bahwa tidak seyogyanya manusia menanyakan dan mencari-cari, apa alasan Tuhan menetapkan sebuah keputusan. Parnyataan terakhir ini memang ada benarnya. Namun larangan bertanya ini tidak berlaku secara mutlak. Hanya untuk pertanyaan-pertanyaan yang berbau subsersif, pemojokan, didasari rasa ingkar, dan penuh buruk sangka saja. Namun untuk pertanyaan yang bertujuan mencari tahu, penuh keimanan, dan juga bertujuan menguatkan keimanan itu sendiri, hal itu masih diperbolehkan. Ad Dasuqi menyatakan bahwa pertanyaan dan tuntutan yang dilarang dalam ayat di atas adalah pertanyaan yang berbau pengingkaran. Sedangkan pertanyaan yang bertujuan mencari tahu (istirsyad) dalam hal ini diperbolehkan.
Hipotesa ini dapat kita perkuat dengan sebuah ayat dalam Al Quran. Allah berfirman:
وَإِذْ قَالَ إِبْرٰهِۦمُ رَبِّ أَرِنِى كَيْفَ تُحْىِ الْمَوْتَىٰ ۖ
قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِن ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلٰكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِى ۖ قَالَ فَخُذْ
أَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ
مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا ۚ وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّـهَ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ :٢٦۰
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku). Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Baqarah: 260)
Bahwa suatu
ketika nabi Ibrahim melihat bangkai yang dicabik-cabik oleh hewan buas dan
burung pemakan bangkai. Setan mendatangi Nabi Ibrahim, dan membisikkan
keragu-raguan ke dalam hati beliau. Bagaimana Allah bisa mengumpulkan kembali
daging dan seluruh bagian makhluk yang telah mati tercabik-cabik. Apakah Allah
begitu kuasa. Nabi Ibrahim akhirnya bertanya kepada Allah tentang cara
menghidupkan orang yang telah mati. Ketika ditanya balik tentang tujuan beliau
bertanya, apakah didasari oleh rasa tidak percaya dan ingkar, beliau menjawab
tidak. Bukan itu alasan beliau bertanya. Beliau telah yakin. Sedangkan
pertanyaan itu diajukan tidak lain agar hati merasa lebih mantap, dan tenang
dalam keimanan kepada-Nya. Dengan
demikian, bertanya atau mempertanyakan ketentuan Allah diperbolehkan dengan
syarat tidak dilandasi pengingkaran, ketidak percayaan, dan penuh buruk sangka.
2. Metode Mencari Hikmah
Untuk mengetahui hikmah di balik ketentuan Allah terdapat dua jalan yang dapat kita lewati. Pertama dengan cara kerja ilmiah, dan kedua dengan cara kerja amaliah. Maksud kerja ilmiah adalah pencarian hikmah melalui penalaran tertentu dengan menggunakan bantuan bidang keilmuan atau sumber informasi tertentu. Dalam hal ini, bidang keilmuan yang dapat kita pakai untuk mengungkap hikmah adalah bidang keilmuan naqliah-keagamaan dan aqliyyah-sains. Sedangkan kerja amaliah adalah dengan mengembangkan potensi bijak yang telah tertanam dalam diri manusia dengan olah batin tertentu. Yang dimaksud olah batin di sini adalah pengamalan ajaran agama, terutama yang terkait dengan hati sebagai sumber pengetahuan, kebijaksanaan, dan segala macam keputusan.
a. kerja ilmiah
Sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa kerja ilmiah dalam penggalian hikmah adalah pencarian hikmah melalui penalaran tertentu dengan menggunakan alat bantu bidang keilmuan atau sumber informasi tertentu. Lebih jelasnya, kita akan menggunakan dua jenis keilmuan; sains dan agama. Yang dimaksudkan dengan sains di sini adalah bidang-bidang keilmuan yang selama ini dikenal sebagai ilmu umum, yang hanya memiliki pijakan empiris-rasional, dan bersih dari ikatan dan dasar-dasar keagamaan, semacam ilmu kimia, sosiologi, dan filsafat. Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana sikap para pakar masing-masing bidang; agama dan sains, terhadap hubungan antara dua jenis tema ini. Hal ini karena ada kesan bahwa keduanya adalah dua eksistensi yang berlainan. Keduanya memiliki kemungkinan dipersatukan, atau malah dipertentangkan. Di sinilah perlunya mengetahui pandangan para pemerhati masalah ini.
1) sains
Sampai saat ini, memang para pemerhati masih belum menemukan kata sepakat untuk merumuskan hubungan antara sains dan agama. Paling tidak terdapat empat pandangan yang saat ini berkembang; konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi.
Menurut mazhab konflik, sains (modern) memiliki relasi negatif terhadap agama, dan penerimaan atas yang satu secara niscaya merupakan penolakan atas yang lain. Perspektif ini didukung oleh sejumlah ilmuan dan sekelompok kalangan beragama.
Sedangkan mereka yang bermazhab kontras berpandangan bahwa wilayah agama dan sains masing-masing terpisah satu sama lain. Sains berurusan dengan alam dan hukum-hukumnya, sedangkan agama berurusan dengan tema-tema semacam Tuhan, kebangkitan setelah kematian, dan sebagainya. Konflik hanya akan muncul jika orang mencampuradukkan sistem-sistem kepercayaan mereka -misalnya materialisme dan atheisme- dengan sistem saintifik. Sistem-sistem kepercayaan itu tidak berkaitan dengan sains itu sendiri; praanggapan-praanggapan filosofis itu sendiri berada di luar ranah sains.
Mereka yang bermazhab kontak –kendati tetap mengakui perlunya pemisahan wilayah sains dengan agama– menganggap bahwa dalam sejumlah isu, keduanya dapat berhubungan satu sama lain, dan pada praktiknya memang tidak mudah memisahkan keduanya. Kadang-kadang tinjauan saintifik akan mengarah pada tilikan religius, misalnya teori evolusi dapat diserasikan dengan konsep Tuhan.
Dalam perspektif konfirmasi, para ilmuwan melakukan riset mereka berdasarkan keyakinan bahwa dunia fisik adalah dunia sederhana, indah, dapat dipaham, dan disingkap dengan akal. Tanpa keyakinan semacam ini, tidak akan ada alasan untuk merumuskan teori-teori ilmiah. Di sinilah agama dapat mendukung sains untuk membuat sains menjadi bermakna. Dengan cara demikian, agama dapat memainkan peranan penting dalam pengembangan sains. Begitu juga, temuan-temuan sains dapat memperkaya dan memperdalam pemahaman teologis. Menurut Dr. Mohsen Miri, rektor Islamic College for Anvanced Studies, Jakarta, pandangan terakhir inilah sepertinya yang akhir-akhir ini mulai menggeliat. Kecenderungan religius mulai nampak pada sejumlah ahli fisika dan biologi. Sehingga diskusi-diskusi bermutu terkait hubungan sains dan agama, semakin semarak.
Demikian empat pandangan kontemporer terkait hubungan sains dan agama. Lantas bagaimanakah pandangan ulama klasik tentang kaitan ini. Jenis pandangan manakah yang dianut para ulama klasik. Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu melacaknya dari karya-karya mereka.
Dalam banyak kitab fikih klasik, disebutkan bahwa ilmu pengetahuan terkelompokkan ke dalam beberapa hukum. Hukum-hukum ini terkait dengan manfaat dan kebutuhan pada pengetahuan itu sendiri. Sebagian wajib dipelajari, sebagian lagi sunah, makruh, dan bahkan ada yang haram. Ilmu yang wajib dipelajari terbagi menjadi dua. Ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim (fardhu ‘ain), dan ilmu yang hanya menjadi kewajiban kolektif (fardhu kifâyah) umat Islam. Ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim adalah ilmu agama yang sangat terkait dengan kehidupan religius setiap orang Islam. Dalam hal ini terdapat tiga macam ilmu; ilmu untuk membenahi dan menjaga akidah, ilmu untuk menjaga dan membenahi keabsahan amal-perbuatan, dan ilmu untuk membenahi dan menjaga kebaikan akhlak. Yang pertama merupakan lahan garapan ilmu tauhid (kalam). Pengetahuan yang kedua dapat dipelajari dalam ilmu fikih, dan yang ketiga lebih dikenal dengan ilmu tasawwuf. Batas kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap muslim adalah ilmu yang dapat membuat akidah, ibadah, dan akhlaknya baik dan benar. Lebih dari itu hukumnya sunah, seperti mempelajari fikih hingga mencapai derajat mufti.
Jenis ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian umat, dan akan gugur kewajiban itu tatkala sudah ada seseorang yang mempelajarinya, adalah ilmu-ilmu yang dapat menjaga keberlangsungan ajaran agama dan kemaslahatan umum. Seperti menghafal Al Quran, hadis, ushul fikih, fikih, ilmu bahasa, ilmu kedokteran, ekonomi, politik, militer, teknik, dan lain sebagainya, yang seandainya saja tidak ada seorang muslim pun yang mempelajarinya, maka akan membahayakan umat secara keseluruhan. Baik bagi kelangsungan agama, kesehatan masyarakat, kemapanan ekonomi, keamanan negara, dan kenyamanan infrastruktur.
Ilmu yang haram dan dilarang dipelajari adalah setiap ilmu yang dapat menghantarkan seseorang ke dalam mara bahaya dan tidak ada faidah keilmuan yang semestinya didapatkan dalam mengkaji bidang keilmuan tersebut. Namun demikian, hukum ini dapat berubah dengan adanya tujuan-tujuan yang dibenarkan oleh hukum syariat (gharadh syar’i).
Di sini kita melihat bahwa ilmu kimia, yang merupakan bagian inti dari sains modern, dimasukkan ke dalam kategori ilmu yang diharamkan (negatif). Apakah dengan demikian para ulama (fikih) termasuk kelompok yang menganut pandangan kontras, atau bahkan konflik. Sepertinya hal ini tidak sepenuhnya benar. Karena ilmu kedokteran, yang secara tidak langsung juga memanfaatkan jasa ilmu kimia, dimasukkan dalam kategori ilmu yang positif (baca: wajib dipelajari). Para ulama juga memandang bahwa pada dasarnya ilmu adalah netral. Faktor eksternlah yang menyebabkan ilmu memiliki nilai negatif dan positif. Seburuk apapun ilmu, semacam sihir dan lainnya, jika terdapat tujuan yang dibenarkan oleh syariat, maka mempelajarinya diperbolehkan, dengan syarat sudah memiliki dasar-dasar keagamaan yang kuat (mumârasah bi al kitâb wa as sunnah). Namun bila ketentuan ini belum dipenuhi, maka sangat tepat jika hukum haram-makruh (negatif) diberlakukan. Mempertahankan keselamatan keyakinan, jiwa, dan harta, lebih dikedepankan daripada harus mengorbankan semuanya untuk sesuatu yang tidak jelas.
Dari referensi yang ada, pengkategorian ilmu kimia ke dalam daftar ‘ilmu hitam’ disebabkan adanya unsur penipuan dalam banyak praktek yang dilakukan oleh mereka yang ahli dalam bidang ini. Sebuah materi dapat saja dirubah dengan campuran unsur dan senyawa tertentu. Hasil jadinya, tentu merupakan barang imitasi yang bila digunakan berbisnis (mu’amalah), dan relasi bisnis tidak tahu atau tidak diberi tahu sebelumnya, maka ilmu kimia telah memasuki ruang wasilah (penghantar) menuju penipuan. Sedangkan para penipu tidak akan pernah diakui sebagai umat nabi:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا.
“Barang siapa menipu (seseorang dari golongan) kami, maka ia bukan bagian dari (golongan) kami.” (H.R. Muslim No. 45)
Namun demikian,
Ibnu Hajar dari kelompok Syafi’iyyah melihat bahwa persoalan ilmu kimia, tidak
hanya dilihat dari sudut pandang ini.
Beliau melihat bahwa persoalan kimia, harus dilihat dari segi perubahan
yang ditimbulkan dari proses kimiawi itu sendiri. Apakah perubahan itu hakiki,
atau hanya temporal, sementara, dan akan kembali ke wujud asal dalam beberapa
waktu setelah efek kimiawi tersebut habis. Untuk menjawab pertanyaan ini,
beliau menggunakan pendekatan mutakallim, yang masih bersilang pendapat tentang
perubahan pada suatu benda dalam kasus mukjizat dan sihir. Jika perubahan itu
hakiki, maka mempelajari kimia tidak masalah, boleh, dan bahkan bila ada
penunjang lain yang mengharuskan maka dapat saja berkemungkinan menjadi wajib.
Namun bila perubahan itu hanya temporal-tidak hakiki, maka hukum mempelajarinya
haram, karena dalam hal ini unsur penipuannya terlihat jelas.
Dari pemaparan Ibnu Hajar di atas, harus dilihat apakah perubahan kimiawi itu nyata atau tidak. Di sini ilmu kimia mendapatkan ruang negatif dan positifnya. Hal ini, dipicu oleh ambiguitas status hukum dari kimia itu sendiri. Dan lebih dari itu, unsur negatif dalam kimia adalah disebabkan faktor eksternal. Jika faktor ini dihilangkan, maka tentu saja unsur negatif itu akan hilang dengan sendirinya. Jika perubahan kimiawi dapat dibuktikan, kemudian perubahan ini tidak disalahgunakan, untuk menipu pihak lain misalnya, dan ada tujuan-tujuan yang dapat dibenarkan oleh syariat, maka ilmu kimia sudah kembali menemukan ruang positifnya. Artinya dalam hal ini para yuris Islam tidak sepenuhnya dapat dikatakan sebagai kelompok yang mendukung mazhab konflik. Bahkan, dengan kemungkinan dapat dipakainya ilmu kimia untuk mendukung proyek-proyek syariat, ilmu kimia dapat saja masuk dalam ruang positif murni, sejajar dengan ilmu kedokteran.
Akhirnya, penggunaan ilmu kimia dalam hal ini bisa-bisa saja dibenarkan sebagaimana dapat ditemukan dalam banyak bagian buku ini. Ilmu kimia dipakai untuk menguatkan pernyataan nabi, meneliti unsur-unsur positif tubuh ketika melaksanakan ibadah tertentu. Semua tadi tidak lain untuk menampakkan kesan bahwa syariat memiliki kelebihan secara kimiawi-medis. Kasus ilmu kimia ini dapat kita analogikan kepada ilmu-ilmu yang lain. Seperti filsafat yang digunakan sebagai pembanding bagi ajaran syariat, untuk kemudian ditunjukkan keunggulan syariat itu sendiri. Mempelajari ilmu sihir untuk membuktikan bahwa antara mukjizat dan sihir memang benar-benar berbeda. Karenanya, penggunaan berbagai penemuan dari cabang ilmu pengetahuan dalam buku ini dapat dibenarkan secara hukum.
2) ilmu keagamaan; menggali
hikmah melalui Illat
Hikmah juga dapat kita peroleh dengan menggunakan ilmu keagamaan, terutama ushul fikih. Ushul fikih di sini memiliki kajian khusus tentang analisa teks yang merupakan bagian dari kajian qiyas secara umum, dan masâlik al ‘illat secara khusus. Dengan analisa teks ini, kita dapat melihat mana dalil-dalil yang memiliki kandungan hikmah dan mana yang tidak. Metodologi penggalian ‘illat ini, secara tidak langsung juga merupakan metode penggalian hikmah itu sendiri. Di mana, sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada dasarnya yang menjadi alasan diterapkannya suatu ketentuan adalah hikmah. Karena hikmah bersifat relatif, maka kedudukannya digantikan oleh ‘illat. Sedangkan syarat dari ‘illat sendiri, sebagaimana diungkapkan Abdul Wahhab Khalaf, harus memiliki keterkaitan-keserasian dengan hikmah. Sehingga tidak legal menjadikan ‘illat sebuah sifat yang tidak memiliki keterkaitan dengan hikmah ini. Dalam kajian masâlik al ‘illat dikenal beberapa metode. Pertama adalah dengan merujuk pada teks, kedua dengan merujuk pada ijma’, dan ketiga dengan menggunakan metode isntinbath yang lebih mengedepankan olah fikir, semacam at taqsim wa as sabr, munâsabah, syabah, tanqîh al manath, takhrîj al manath, dan tahqiq al manâth.
Namun yang paling kuat dalam menunjukkan ‘illat, juga hikmah, adalah yang berkaitan dengan teks secara langsung seperti metode pencarian ‘illat yang langsung merujuk pada teks. Dalam metode ini, terdapat dua cara pembacaan ‘illat dalam teks; sharih-eksplisit dan ghair ash sharih-implisit. Jenis pertama terbagi menjadi qath’i-pasti dan zhanni-asumtif.
a. qath’i-pasti
Teks yang secara sharih dan pasti dapat menujukkan ‘illat adalah sebuah nash yang menunjukkan’illat secara tekstual serta tidak mungkin diarahkan pada yang lain. Ini dapat diketahui dengan melihat susunan dan tata bahasa dalam gramatika Arab. Untuk urutan kadar kekuatan sebuah pesan dalam mengidentifikasi ‘illat, dapat kita lihat sebagai dalam urutan berikut:
1) Statemen dengan lafal yang
musytaq dari kata al hukm
Teks ini dapat kita lihat dalam firman Allah:
حِكْمَةٌۢ بٰلِغَةٌ ۖ فَمَا تُغْنِ النُّذُرُ ﴿القمر:٥
“Itulah suatu hikmah yang sempurna. Maka peringatan-peringatan itu tidak berguna (bagi mereka).” (Q.S. Al Qamar: 5)
Penggunaan kata
al hikmah dalam ayat ini sangat jelas menunjukkan adanya alasan. Ayat di atas
turun dalam rangka merespon orang kafir yang tidak percaya berita-berita yang
dibawa Al Quran. Mereka hanya mengikuti kehendak nafsu mereka.
2) Lafal لِعِلَّةِ كَذَا
dan لِسَبَبِ كََذَا
‘Illat juga dapat ditetapkan dengan melihat lafal لِعِلَّةِ كَذَا (karena alasan demikian) atau lafal لِسَبَبِ كََذَا (karena sebab demikian) dalam sebuah dalil. Jika dalam sebuah teks terdapat kata-kata ini, maka secara jelas teks-teks itu menunjukkan alasan, ‘illat, atau hikmah itu sendiri.
3) Lafal لأَجْلِ dan مِنْ أَجْلِ
Berikutnya adalah lafalلأَجْلِ (oleh karena) atau lafal مِنْ أَجْلِ (oleh karena). Jika dalam teks terdapat kata ini, maka secara jelas terdapat penunjukan alasan. Sebagai contoh adalah firman Allah:
مِنْ أَجْلِ ذٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِىٓ إِسْرٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن
قَتَلَ نَفْسًۢا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ
جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَآءَتْهُمْ
رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِّنْهُم بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْأَرْضِ
لَمُسْرِفُونَ ﴿المائدة:٣٢
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,” (QS. Al Maidah: 32)
Dari ayat di atas,
beserta rentetan kalimatnya, dapat kita pahami bahwa alasan diberlakukannya
qishash pada masyarakat adalah karena adanya pembunuhan yang dilakukan oleh
anak Adam atas saudaranya. Dengan demikian, tujuan dari pelaksanaan
qishas itu adalah untuk menjaga kedamaian antara sesama.
4) Lafal كَيْ danلاَ كَيْ
Berikutnya adalah lafal كَيْ (supaya) atau lafalلاَ كَيْ (supaya tidak). Seperti dalam ayat:
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِىٓ أَنْعَمَ اللَّـهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ
أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّـهَ وَتُخْفِى فِى نَفْسِكَ مَا اللَّـهُ
مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّـهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَىٰهُ ۖ فَلَمَّا قَضَىٰ
زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنٰكَهَا لِكَىْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ
فِىٓ أَزْوٰجِ أَدْعِيَآئِهِمْ إِذَا قَضَوْا۟ مِنْهُنَّ وَطَرًا ۚ وَكَانَ أَمْرُ
اللَّـهِ مَفْعُولًا ﴿الأحزاب:٣٧
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (Q.S. Al Ahzab: 37)
Ayat ini secara jelas menunjukkan alasan Allah menikahkan Rasulullah dengan Zainab. Yakni agar orang-orang mukmin tidak merasa berat (haraj) menikahi bekas istri anak angkatnya.
5) Lafal إِذَنْ
Dalam bahasa arab, lafal إِذَنْ juga dapat menunjukkan alasan. Hal ini dapat dilihat dalam salah satu sabda Nabi ketika ditanya oleh Sa’ad bin Abi Waqqash mengenai praktek barter kurma basah dengan kurma kering. Beliau menjawab,
أَيَنْقُصُ الرُطَبُ إِذَا جَفَّ ؟ فَقَالُوْا : نَعَمْ فَقَالَ فَلاَ
إِذنْ.
“Apakah akan berkurang (berat) kurma di saat kering? Para sahabat menjawab benar. Nabi bersabda: maka, tidak boleh di saat itu (berkurangnya berat kurma di saat kering).” (H.R. Malik no. 5.390)
6) Maf’ul lah
Untuk mencari alasan kita juga dapat melihat apakah dalam urutan kalimat terdapat maf’ul lah. Maf’ul lah dapat diidentifikasi sebagai alasan dari fi’il (verbal)-nya. Sebagai contoh adalah firman Allah:
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِى كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِم مِّنْ أَنفُسِهِمْ
ۖ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هٰٓؤُلَآءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيٰنًا
لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ ﴿النحل:٨٩
“Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (Q.S. An Nahl: 89)
Jadi, dengan jelas
penyebutan maf’ul lah dalam ayat di atas adalah untuk menunjukkan bahwa alasan
diturunkannya Al Quran adalah untuk menjadi tibyân (penjelas) segala sesuatu.
b. zhanni-asumtif
Sedangkan teks yang dapat menunjukkan alasan (‘illat) dengan penunjukan yang asumtif (zhanni) dapat kita lihat dalam rentetan kalimat terdapat kata:
1) lafal lam
Sebagai contoh
adalah ayat:
الٓر ۚ كِتٰبٌ أَنزَلْنٰهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمٰتِ
إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرٰطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ ﴿ابراهيم:١
“(Ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim: 1)
Lam dalam frase
لِتُخْرِجَ menunjukkan alasan diturunkannya kitab suci. Namun demikian lam
juga memiliki makna lain selain ta’lîl (pemberian alasan), yakni âqibah
(tujuan). Sehingga penunjukan lam pada alasan suatu ketetapan bersifat ambigu
dan tidak pasti. Inilah yang menyebabkan lam dimasukkan dalam kategori teks
yang secara asumtif menunjukkan alasan.
2) lafal أََنْ
Lafal أََنْ dengan dibaca fathah hamzah-nya, dan sukun pada nun-nya, ketika bertemu dengan fi’il mustaqbal (kalimat verbal yang menunjukkan kejadian yang akan datang), maka ada kemungkinan lafal tersebut menjadi alasan dari keterangan sebelumnya. Seperti dapat kita lihat dalam ayat:
أَن تَقُولُوٓا۟ إِنَّمَآ أُنزِلَ الْكِتٰبُ عَلَىٰ طَآئِفَتَيْنِ مِن
قَبْلِنَا وَإِن كُنَّا عَن دِرَاسَتِهِمْ لَغٰفِلِينَ ﴿الأنعام:١٥٦
“(Kami turunkan Al Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: “Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum Kami, dan sesungguhnya Kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.” (QS. Al An’am: 156)
Dalam ayat ini lafal أََنْ masuk pada fi’il mustaqbal (يقولوا), sehingga
muncul makna “agar kamu”. Dengan demikian secara jelas kata ini menjadi
penunjuk alasan.
3) Lafal إِنْ
Lafal إِنْ yang terbaca kasrah hamzah dan sukun nun-nya, juga sangat berkemungkinan menjadi alasan (illat) dari suatu ketetapan. Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat:
مَّنَّاعٍ لِّلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ ﴿القلم:١٢
عُتُلٍّۭ بَعْدَ ذٰلِكَ زَنِيمٍ ﴿القلم:١٣
أَن كَانَ ذَا مَالٍ وَبَنِينَ ﴿القلم:١٤
“Yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya, karena Dia mempunyai (banyak) harta dan anak.” (QS. Al Qalam: 12-14).
Dalam ayat ini
Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang memiliki sifat yang tertera dalam ayat
adalah karena mereka memiliki banyak harta dan anak. Lafal إِنْ dalam ayat
ini memuncul makna karena, sehingga lafal ini merupakan lafal yang berfungsi
untuk menunjukkan alasan. Namun demikian, penunjukan yang muncul dari lafal ini
hanya berdasar dugaan saja, karena ada kemungkinan dikehendaki lain, selain
makna alasan di atas.
4) lafal إِنَّ
Lafal ini juga dapat menunjukkan alasan suatu ketetapan. Sebagaimana dapat dilihat dalam sebuah redaksi hadis:
إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ
وَالطَّوَّافَاتِ.
“Sesungguhnya ia (kucing) bukanlah hewan yang najis, karena ia termasuk hewan yang suka berkeliling di sekitar kalian.” (HR. Abu Dawud No. 75)
Kata إِنَّ dalam redaksi kedua mengisyaratkan alasan ketidaknajisan
kucing. Yakni, kucing merupakan hewan yang suci karena ia adalah hewan sering
berinteraksi dengan manusia. Sehingga bila kucing dianggap najis, maka akan
sangat menyusahkan. Padahal ajaran nabi dikenal sebagai ajaran yang bercirikan
moderat dan mudah. Dengan demikian, إِنَّ dapat berfungsi sebagai penunjuk alasan.
5) Lafal ba’
Huruf jar ba’ dapat juga bermakna sebab. Sehingga secara otomatis ba’ menunjuk pada alasan suatu keterangan. Sebagai contoh dapat dilihat dalam ayat:
ذٰلِكَ بِأَنَّهُمْ شَآقُّوا۟ اللَّـهَ وَرَسُولَهُۥ ۚ وَمَن يُشَاقِقِ
اللَّـهَ وَرَسُولَهُۥ فَإِنَّ اللَّـهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿الأنفال:١٣
“(Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barang siapa menentang Allah dan Rasul-Nya, Maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al Anfal: 13)
Az Zarkasyi
mensyaratkan ba’ yang dapat digunakan untuk menunjukkan alasan bila ba’
tersebut layak menempati posisi lam ta’lil. Seperti dalam contoh di atas. Kata sifat yang jatuh setelah kata ini
kadangkala dapat diidentifikasi sebagai alasan dari hukum yang ditetapkan oleh
teks di depannya. Karena penunjukan alasan oleh kata-kata di atas hanya sebatas
kemungkinan, maka penunjukan itu tergolong dugaan (asumsi) saja.
Sedangkan nash yang secara implisit (ghair ash sharih) dapat menunjukkan adanya alasan (illat-hikmah) adalah sebuah nash yang tidak secara langsung menunjukkan illat dalam teks. Namun dengan isyarat dan peringatan, dapat diketahui penunjukkan ‘illat dari nash tersebut. Di antara indikasi-indikasinya adalah:
- Hukum yang muncul sebagai jawaban yang diajukan oleh Rasulullah. Hal ini dapat diidentifikasi dengan cara merekonstruksi kembali alur kejadian, sehingga perkataan Nabi menjadi semacam jawaban atas sebuah persoalan. Sebagai contoh adalah jawaban Nabi yang diutarakan untuk menjawab persoalan seorang badui yang mengawini istrinya pada siang bulan Ramadan. Nabi mengatakan أَعْتِقْ رَقَبَةً (merdekakanlah hamba sahaya).
Ungkapan Nabi ini menunjukkan bahwa kewajiban memerdekakan budak adalah karena adanya hubungan badan (wiqa’).
- Penggantungan hukum dengan fa’ ta’qib. Sebagai contoh adalah ayat Al Quran:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوٓا۟ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا
كَسَبَا نَكٰلًا مِّنَ اللَّـهِ ۗ وَاللَّـهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴿المائدة:٣٨
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al Maidah: 38)
Penyebutan secara
beruntun antara hukum (kewajiban potong tangan), sifat (pencuri laki-laki dan
pencuri perempuan) dengan menggunakan perantara fa’ ta’qib menunjukkan bahwa
alasan dari pemotongan tangan adalah pencurian (sifat).
- Kemunculan hukum yang bersamaan dengan sifat munasib. Hal ini dapat dilihat dalam hadis:
لايَحْكُمْ أَحَدٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ.
“Janganlah seseorang menghukumi di antara dua orang, padahal ia sedang dalam keadaan marah.” (HR. Muslim No. 16)
Rangkaian sifat
(marah) dan hukum (larangan memutuskan hukum) menunjukkan bahwa sifat marah
adalah alasan (illat) dari hukum larangan memutuskan hukum suatu perkara.
Memutuskan hukum dalam kondisi marah, dapat mempengaruhi obyektifitas penilaian
seorang hakim. Karenanya, setiap keadaan yang dapat mengganggu obyektifitas
penilaian dapat disamakan dengan sifat marah ini, seperti keadaan sangat lapar,
rasa sakit, dan haus.
- Membedakan hukum dengan perbedaan sifat. Seperti dalam hadis:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ أَسْهَمَ
لِلرَّجُلِ ثَلاَثَةَ أَسْهُمٍ لِلرَّجُلِ سَهْمٌ وَلِلْفَرِسِ سَهْمَانِ.
“Sesungguhnya Rasulullah membagi (harta rampasan perang) kepada satu orang sebanyak tiga bagian. Satu bagian untuk tentaranya dan dua bagian untuk kuda.” (HR. Al Baihaqi No. 13.245)
Pembedaan
pemberian (hukum) dengan adanya perbedaan sifat menunjukkan bahwa sifat-sifat
itu adalah alasan pembedaan, tidak lain. Dengan demikian, sifat-sifat itu dapat
diplot sebagai alasan (illat) jumlah pemberian.Dua analisa teks di atas (sharih
dan ghairu ash sharih) dapat dikembangkan sendiri dalam banyak contoh yang tertera
dalam teks-teks Al Quran atau As Sunah. Sedangkan bentuk-bentuk masalik al
‘illat lainnya, sepertinya agak jauh dan sulit untuk dipakai mengungkap hikmah.
Karenanya, tidak perlu kita uraikan lebih lanjut.
Komentar
Posting Komentar