Konsepsi Humanis Gerakan Pembebasan
Melalui
utusan-Nya, Muhammad saw. Allâh menurunkan Islam sebagai syariat bagi
seluruh umat yang berakal. Sebuah risalah yang paripurna menjadi pedoman
universal mencapai prospek harmonis kehidupan duniawi-ukhrowi (sa'âdah
ad-dâroin). Islam memandang dunia bukanlah sebagai obsesi kebahagiaan
terakhir, tetapi merupakan awal episode menuju kehidupan panjang tanpa
batas akhir. Penciptaan alam semesta adalah karunia Allâh yang
disediakan sebagai fasilitas kehidupan manusia di dunia. Diperlukan lima
elemen pokok (dlorûri) untuk mengawal keberlangsungan kehidupan duniawi
yang ideal, yakni agama, nyawa, akal, keturunan dan harta. Islam hadir
untuk melindungi lima kebutuhan elementer tersebut, maka Islam
mewajibkan jihad guna melindungi agama sekalipun nyawa sebagai
tawarannya. Nyawa harus dilindungi meski harus mengorbankan akal.
Demikian juga keturunan harus dilindungi meski mempertaruhkan harta.
Legislasi jihad dalam Islam bukanlah konsepsi anarkhis untuk pembantaian orang-orang non-Muslim. Jihad dalam Islam diproporsikan guna melindungi eksistensi agama, kebebasan akidah, kebebasan dakwah dan kemerdekaan tanah air dari teror, intimidasi, agresi dan penjajahan kemanusiaan dan keimanan. Islam tidak menghunuskan pedang untuk menancapkan keimanan dalam dada umat, akan tetapi Islam menanamkan akidah dalam hati dengan sentuhan dalil dan hujjah, karena tidak ada paksaan dalam keyakinan. Lebih dari itu, jihad juga datang sebagai gerakan pembebasan manusia dari sistem dan nilai-nilai jahiliah dan setan.
Dalam limit kajian seperti inilah tulisan berikut akan mengetengahkan sebuah analisa objektif melalui pendekatan metodologis dan historis tentang proporsi dan kedudukan konsepsi jihad dalam Islam yang kerap diperdebatkan dan disalahpahami terkait; bisakah Islam tetap dikatakan sebagai agama yang humanis-harmonis jika faktanya ada legislasi jihad di dalamnya? Logiskah Islam dikatakan memiliki asas kemerdekaan dan kebebasan dalam keyakinan (hurriyyah al-aqîdah), jika tumpah darah telah menjadi noktah lembar-lembar sejarah? Jika perang, perang dan perang dalam perkembangan Islam adalah fakta historis? Ataukah legislasi jihad dalam Islam justeru merupakan bukti konkret bahwa Islam memiliki konsep anarkhis sebagai program invasi dan islamisasi atau pemaksaan akidah secara formal? Di luar itu, juga kami ketengahkan ketegangan metodologis antara manhaj jihad defensif dan ofensif. Dalam beberapa paragraf akhir, juga kami angkat seputar dinamika dan kecamuk fenomena perang abad modern. Selamat berjuang!.
DEFINISI JIHAD
Kata
'jihâd' dengan aneka derivasi kata turunannya, tertera sebanyak 41 kali
dalam aL-Qur'ân yang tersebar di 19 Surat. Ayat-ayat jihad dalam
konteks perjuangan ditemukan sebanyak 28 ayat. Secara literal jihad
mempunyai arti: mengerahkan segenap kapasitas, mencurahkan kemampuan,
mengeksploitasi energi atau berjuang keras. Etimologis ini bisa dihimpun
dengan bahasa; mengerahkan segenap kemampuan demi mencapai tujuan.
Konotasi turunan yang dihasilkan dari akar kata jihad adalah ijtihâd
dan mujâhadah.
Ijtihâd dalam konteks Ushûliyyîn dideskripsikan sebagai istilah eksploitasi pemikiran dalam rangka penggalian hukum-hukum formal langsung dari sumbernya sebagai ketetapan yuridis Islam. Sedangkan mujâhadah adalah perang spiritual melawan hawa nafsu dan syaitan. Menurut aL-Ghozâly, perang ini tidak akan pernah berakhir dan akan terus berkecamuk hingga seseorang menemui kematian, karena menurutnya, selama darah masih mengalir dalam jasad, lorong-lorong syaitan menuju hati akan terus terbuka. Dan inilah jihad kubrô yang dimaksud oleh Nabi dalam sabdanya menyadarkan para sahabat yang merasa bangga dengan kemenangan perang fisik dalam perang Badar dengan jumlah lawan yang jauh dari seimbang;
"Kita kembali dari peperangan yang kecil menuju peperangan yang amat besar, yaitu perang melawan hawa nafsu".
Terminologi
jihad secara umum didefinisikan dengan; berjuang keras demi terciptanya
masyarakat Islami dan demi menegakkan serta menjunjung kalimat Allâh
supaya pesan-pesan Ilâhi bisa diaplikasikan di muka bumi.
Dalam konteks perang, terminologi jihad menurut Hanafiyyah didefinisikan sebagai usaha dakwah untuk mengajak kepada agama yang haq dan memerangi orang yang menolak dan menentangnya baik dengan turun langsung ke medan perang atau dengan wujud partisipasi lain. Mâlikiyyah mendefinisikan jihad sebagai peperangan antara umat Islam melawan kufâr yang tidak memiliki ikatan rekonsiliasi damai dengan Islam dengan tujuan li i'lâ'i kalimatillâh. Menurut Hanâbilah jihad adalah agresi umat Islam yang diarahkan hanya kepada orang kafir, sehingga menurut versi ini perang menghadapi pemberontak (bughat), quthô' at-thôriq (perampok jalanan) bukan termasuk jihad.
Sedangkan terminologi jihad menurut Syâfi'iyyah adalah perang melawan kufâr untuk melindungi eksistensi agama.
Dari variasi bahasa yang digunakan masing-masing madzhab dalam mendeskripsikan jihad di atas, maka amaliah nyata untuk media mengekspresikan jihad bagi individu atau kelompok Islam dapat dimanifestasikan dalam bentuk:
-Menunjukkan masyarakat kepada ajaran tauhid dan ajaran Islam melalui media pendidikan, diskusi, penelitian atau meluruskan kesalahpahaman, penyimpangan dan kesesatan akidah umat.
-Jihad dengan harta yang dialokasikan untuk kebutuhan dana sosial menegakkan masyarakat Islam yang kuat.
-Dengan perang difâ'i (defensif)
-Dengan perang hujûmi (ofensif).
-Dengan perang habis-habisan/perang total (an-nafîr al-âm).
FASE JIHAD DALAM SEJARAH
Pewahyuan
ayat-ayat qur'âni kepada Nabi saw. memiliki karakteristik yang selalu
mengacu pada respon gejala masyarakat dan kondisi sosio-kultur dan
psikologis yang menjadi fenomena saat itu. Seperti halnya ayat-ayat
jihad, nuansa proses pewahyuannya sangat memperhatikan perkembangan
kondisi sosial dan kejiwaan umat Islam kala itu. Sehingga wajar jika
diperoleh satu formula ketetapan hukum jihad yang bertahap berdasarkan
fase sejarah yang melatarinya.
I. Fase Dilarang Jihad (Kaffu aL-Yad)
Data
statistik sejarah mencatat selama + 13 tahun sejak kenabian, ketika
Nabi masih berdomisili di Makkah, risalah/misi kerasulan Muhammad hanya
diperintahkan untuk menyeru iman meng-Esa-kan Allâh dan indzâr
al-musyrikîn, yakni menyampaikan kabar duka-derita bagi orang-orang yang
tidak beriman, serta menjalankan beberapa perintah agama yang sudah
disyariatkan. Dari kelima rukun Islam, baru syahadat dan shalat yang
diwajibkan saat itu, itupun selama tiga tahun hanya disampaikan oleh
Nabi dengan cara tertutup (sirri). Setelah itu, ketika dakwah Nabi telah
diikuti oleh beberapa penduduk Quraisy, turunlah ayat yang
memerintahkan penyampaian risalah secara terbuka (jahr). Pertama-tama,
Nabi diperintah menyampaikan kepada keluarga kemudian sanak terdekat
yang masih memiliki ikatan famili dari kabilah-kabilah bani Quraisy.
Dakwah dengan cara terbuka ini menuai hasil pengikut yang cukup fantastis dibanding tiga tahun dengan cara tertutup sebelumnya, akan tetapi gelombang penolakan dan penentangan dari Quraisy terhadap dakwah Nabi juga jauh lebih besar. Kecintaan Quraisy karena ke-amîn-an figur Muhammad kini telah berubah menjadi kebencian, rasa familiar mereka ganti menjadi permusuhan dan kepercayaan selama ini telah mereka ganti pendustaan.
Berkali-kali mereka membujuk Abû Thâlib sebagai sesepuh untuk bersedia menghentikan dakwah keponakannya itu. Awal-awalnya permintaan mereka ditolak Abû Thâlib dengan halus, kemudian mereka mulai berani memberi ultimatum; "kami sudah kehabisan kesabaran dengan perilaku keponakanmu, maka sebaiknya engkau menghentikannya atau engkau izinkan kami untuk menghentikannya." Khawatir akan keselamatan Muhammad, Abû Thâlib memanggil Nabi dan membujuknya untuk berhenti. "Paman, demi Allâh, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allâh yang akan membuktikan kemenangan di tanganku atau aku binasa karenanya."
Demikian besarnya semboyan kebenaran itu, gemetar Abû Thâlib tertegun mendengar jawaban Muhammad. Ternyata Muhammad berdiri di hadapan tenaga Kudus dan irôdah yang Maha Tinggi. Berada di antara silang tekanan antara umat dan Muhammad itu, lalu Abû Thâlib berkata: "Anakku, Berangkatlah, dan sampaikan apa yang menjadi kehendakmu. Demi Tuhan, aku takkan membiarkan mereka mencelakaimu."
Melihat sikap Abû Thâlib tidak akan menghentikan dakwah keponakannya, kufâr Quraisy mendatanginya kembali dengan membawa pemuda rupawan bernama Umâroh bin aL-Wâlid bin aL-Mughîroh. "Ambillah pemuda ini sebagai anak dan serahkan keponakanmu untuk kami bunuh." Paman Nabi menjawab; "licik sekali cara kalian, kalian berikan anak agar aku merawatnya, sementara kuberikan anakku untuk kalian bunuh." Tiga kali kufâr Quraisy gagal menghentikan dakwah Rasûlullâh melalui pamannya. Kemudian mereka mulai melakukan teror dan tindakan-tindakan anarkhis terhadap Nabi dan pengikutnya.
Teror, intimidasi dan berbagai bentuk penyiksaan yang dilakukan penguasa-penguasa Quraisy dalam usaha mematahkan sayap-sayap dakwah Islâmiyyah kian waktu kian sadis dan tidak manusiawi. Mereka semakin anarkhis melakukan tindak kekerasan merusak keimanan para mu'allaf yang me-Maha Esa-kan Allâh dan memaksa untuk kembali pada akidah jahiliah. Menyaksikan penderitaan umat Islam kala itu dan menyadari akan bahaya pemurtadan dan teror keimanan, Nabi saw. menyarankan pada umat Islam untuk hijrah ke luar Makkah menghindari sekaligus mencari perlindungan fitnah agama;
"Jika
kalian pergi ke tanah Habasyah (Abisinia) di sana ada seorang raja yang
adil, sehingga Allâh akan memberi kalian jalan keluar".
Sejak
saat itu umat Islam yang tidak tahan lagi dengan penderitaan di Makkah
dan merasa khawatir dengan keimanannya memilih alternatif hijrah ke
Habasyah (Abisinia). Inilah hijrah gelombang pertama yang dilakukan umat
Islam dalam sejarahnya yang bertepatan dengan bulan Rojab tahun 5
setelah kenabian. Gelombang ini diikuti 11 laki-laki dan 5 wanita di
antaranya: Utsmân bin Affân dan isterinya Ruqoyyah, Abû Hudzaifah bin
Utbah bin Robî'ah, Zubair bin aL-Awâm, Abd Ar-Rahmân bin Auf, Mush'ab
bin Umair dan Utsmân bin Madh'ûn, saudara sesusuan Nabi.
Hijrah pada periode ini belum dihukumi wajib dan hanya dihukumi boleh bagi umat Islam yang merasa tidak aman. Bahkan menurut aL-Mâwardy, bagi umat Islam yang optimis bahwa diri dan agamanya aman, hijrah ke luar Makkah dikategorikan tindakan maksiat, karena tetap tinggal berada di Makkah bersama Rasûlullâh saw. adalah refleksi keteguhan iman dan memperkuat eksistensial barisan Muslimin di Makkah.
Rintangan dakwah yang bertubi-tubi dari Quraisy Makkah tidak setapak pun membuat mundur langkah Rasûlullâh dalam menyampaikan risalahnya. Keteguhan Nabi saw. dalam membawa risalah, menyeru umat kepada keimanan dan tauhid, kiranya telah meneteskan cahaya hidayah yang menyeruak kalbu tokoh-tokoh Quraisy yang pekat oleh akidah jahiliah. Cahaya yang telah merasuk pada hati Hamzah bin Abdul Muthâlib si "Macan Allâh" dan Umar bin Khaththâb sang "aL-Farûq" adalah ijabah agung Allâh yang menjadikan keduanya sebagai pilar-pilar kekuatan Islam.
Menyadari usaha teror dan intimidasinya tidak membuahkan hasil tapi justeru memperkokoh keimanan umat Islam, dan melihat sejumlah figur-figur sentral Quraisy telah masuk dalam barisan Rasûlullâh, mereka menempuh jalan diplomatik untuk upaya penghentian dakwah Rasûlullâh. Pertama, mereka menawarkan harta kepada Nabi berapa pun yang diminta, dan menawarkan wanita siapapun yang disuka. Jika tawaran ini ditolak, maka sebagai alternatif adil antara umat Islam dan kufâr dan dianggap lebih toleran dalam beragama, mereka menawarkan 'join ibadah'. Yakni setahun Muhammad menyembah berhala dan setahun kufâr Quraisy ganti menyembah Allâh swt. maka Rasûlullâh pun bersabda;
"Biar kutunggu, apa yang akan diputuskan Allâh dalam hal ini".
Maka Allâh swt. menurunkan wahyu surat aL-Kâfirûn sebagai reaksi dan jawaban tegas atas usaha pemurtadan tersebut bahwa tidak ada istilah 'kerja sama' dalam beragama, bagiku agamaku dan bagimu agamamu.
Melihat usaha deplomatiknya gagal, kufâr Quraisy mengubah strategi perlawanannya dengan dua cara. Pertama, mengirim dua utusan untuk membujuk rayu raja Najâsy dengan mengirimkan sejumlah hadiah sekaligus memprovokasinya dengan mengatakan; orang-orang yang hijrah kepadamu adalah kaum Muslimin yang telah meruntuhkan sendi-sendi agama. Mereka juga akan mengancam agama Nasrani yang dianut rakyatmu. Namun usaha ini pun gagal dilakukan dan utusan kufâr Quraisy harus kembali dengan tangan hampa. Kedua, kufâr Makkah pada tahun ke-7 kenabian membuat konspiarsi tertulis yang mereka gantung di dinding Ka'bah untuk menjatuhkan embargo atau boikot terhadap bani Hasyîm. Mereka memutuskan hubungan sosial dan ekonomi sejak Abû Thâlib berdiri di belakang Rasûlullâh saw. melindunginya.
Sebagai pemimpin bani, reaksi Abû Thâlib menyikapi keadaan yang menimpa sukunya, berusaha mengajak bani Hasyîm dan bani Muthâlib untuk menjaga kesatuan integritas bani dan tinggal di sebuah bukit. Sejak itulah Nabi memerintahkan para umat Islam hijrah ke Habasyah. Maka berangkatlah rombongan hijrah gelombang kedua yang di dalamnya Ja'far bin Abî Thâlib bersama 83 laki-laki dan 11 wanita.
Dalam lingkaran dan tekanan embargo ini tidak satupun orang dan pasok bahan makanan dari luar yang bisa diterima kecuali melalui penyelundupan-penyelundupan. Keadaan demikian berlangsung hampir tiga tahun hingga kemudian Nabi bersama bani Hasyîm dan bani Muthâlib keluar dari bukit kembali ke Makkah dan merasakan sedikit keleluasaan dari tekanan kufâr Quraisy setelah Nabi mengabarkan bahwa piagam konspiarsi yang digantung di dinding Ka'bah telah dimakan rayap.
Akan tetapi selang beberapa waktu, tepatnya tahun 10 kenabian, dalam waktu satu tahun Rasûlullâh kehilangan dua figur pelindung sekaligus. Yakni isterinya, Khâdijah dan rentang dua bulan kemudian pamannya, Abû Thâlib yang selama ini selalu berada di sisi setiap Nabi dalam keprihatinan. Bagi Rasûlullâh, wafatnya kedua figur tersebut adalah hilangnya figur pelindung karismatik yang sekaligus memberi sugesti besar kepada kufâr Quraisy untuk kian berani melancarkan teror dan penindasan kepada Rasûlullâh dan umat Islam.
Arus penindasan dan pendustaan kepada Rasûlullâh kembali bertambah deras ketika beliau menyampaikan kabar tentang peristiwa isrâ' mi'râj. Keadaan tersebut memuncak ketika kufâr Quraisy mengetahui bahwa Madinah telah menjadi dâr al-hijrah. Sebuah wilayah tempat pelarian Muslimin (aL-Muhâjirîn) yang dihuni oleh suku aL-Aus dan aL-Khozroj yang telah memeluk Islam dan menjadi penolong (aL-Anshâr) umat Islam Makkah. Kufâr Quraisy pun kemudian berkumpul di Dâr An-Nidwah untuk menggagas tindakan tegas terhadap Rasûlullâh. Sebagian mereka mengusulkan Muhammad dicekal dan dipenjara, sebagian lain mengusulkan pendeportasian, namun kemudian semua sepakat dengan pendapat Abû Jahal yang memilih untuk mengumpulkan pemuda-pemuda setiap kabilah guna mengepung rumah Muhammad dan membunuh lalu meratakan ceceran darahnya ke seluruh kabilah agar Abû Thâlib tidak akan mampu menuntut diat. Merespon rencana anarkhis ini, Allâh swt. menurunkan ayat;
"Dan
(ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya
terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau
mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allâh menggagalkan tipu daya
itu. Dan Allâh sebaik-baik Pembalas tipu daya". (QS. aL-Anfâl : 30)
Menyadari
akan keselamatannya dan setelah mendapat perintah hijrah, Rasûlullâh
mengajak Abû Bakar keluar meninggalkan tanah air tercinta menuju bumi
yang dicintai Allâh. Dikisahkan, ketika Nabi keluar dari Makkah sempat
meneteskan air mata seraya berdoa;
"Ya
Allâh Engkau telah membawaku keluar dari negeri yang paling kucintai,
maka hunikanlah aku di negeri yang paling Engkau cintai."
Rasûlullâh
bersama Abû Bakar keluar dari kepungan pemuda-pemuda kufâr Makkah
menuju goa Ats-Tsûr di tengah pekat gulita malam. Keduanya tinggal di
dalamnya selama tiga hari hingga kemudian sampai di Qubâ, Madinah pada
hari Senin 12 Robi'ul Awal atau 26 September 622 M.
Sejak saat itulah umat Islam yang mampu dan khawatir akan keimanannya diwajibkan hijrah dari Makkah ke Madinah. Kewajiban ini berlangsung hingga peristiwa Fath aL-Makkah pada tahun 8 Hijriah. Ulama konsensus domisili Nabi di Madinah selama 10 tahun.
Sejak saat itulah umat Islam yang mampu dan khawatir akan keimanannya diwajibkan hijrah dari Makkah ke Madinah. Kewajiban ini berlangsung hingga peristiwa Fath aL-Makkah pada tahun 8 Hijriah. Ulama konsensus domisili Nabi di Madinah selama 10 tahun.
Demikianlah, penderitaan demi penderitaan silih-ganti merundung Rasûlullâh dan umat Islam di Makkah selama 13 tahun. Namun sejauh itu, jihad belum diizinkan dalam agama. Umat Islam hanya diperintahkan mengajak pada tauhid dan iman, pertama dengan cara sirri kemudian dengan cara jahr dan diwajibkan untuk menghindari, kaffu al-yad (menahan diri) dan sabar atas perlakuan sewenang-wenang mereka walau harus dengan melakukan hijrah. Allâh berfirman;
"Maka
sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang
musyrik." (QS. aL-Hijr : 94)
"Tidakkah
kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah
tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!"
(QS. An-Nisâ' : 77)
Dan
banyak lagi ayat-ayat lain yang melukiskan limit perjuangan Nabi di
Makkah semuanya dalam bingkai kaffu al-yad, seperti aL-Fushilat : 34,
aL-Mâ'idah : 13, An-Nahl : 82, An-Nahl : 125, aL-Furqân : 63,
aL-Ghâsyiyah : 22, Qâf : 45 dan lain-lain dari ayat-ayat Makkiyyah.
II. Fase Izin Jihad Difâ'i (Defensif)
Sejak
Rasûlullâh saw. menapakkan langkah hijrahnya di negeri Madinah, maka
dimulailah sejarah kehidupan Islam yang baru. Suatu embrio sejarah yang
menghadirkan asas-asas Ulûhiyyah dan kauniyyah, spiritual dan sosial
sebagai kaidah normatif relasi vertikal-horizontal dalam
berperikehidupan. Maka di tahun pertama hijrahnya, Rasûlullâh pun mulai
mendirikan masjid sebagai sentral pengabdian ruhani, menjalin
persaudaraan lintas suku dan agama guna membangun kehidupan sosial
antara Muhâjirîn, Anshâr dan Yahudi Madinah dengan berdasarkan
nilai-nilai kemanusiaan.
Fenomena yang dibangun Rasûlullâh di negeri barunya telah merefleksikan nilai-nilai uswah dari risalah yang dibawanya. Suatu fenomena masyarakat yang hidup di bawah siraman cahaya nubuwwah, sehingga orang-orang yang masih memiliki 'hati' ia akan menyaksikan bahwa tiada Tuhan selain Allâh dan Muhammad adalah utusan-Nya, sebagaimana yang dilakukan oleh Aslam bin Abdullâh bin Salam.
Kendati Rasûlullâh telah berhasil merintis asas-asas kemanusiaan, kebebasan dan keadilan dalam integritas pluralisme masyarakat Madinah, namun sejarah mencatat: bahwa di balik keterbukaan tangan Yahudi Madinah menerima kehadiran hijrah Nabi dan umat Islam, sejatinya tersembunyi harapan-harapan busuk dalam hati mereka. Mereka menginginkan kehadiran umat Islam yang tertindas di tanah airnya, diharapkan akan menjadi kekuatan Yahudi Madinah untuk mengalahkan Nasrani. Maka tidak aneh jika integritas kerukunan masyarakat yang dibangun Nabi sebenarnya berdiri di atas kemunafikan-kemunafikan Yahudi Madinah. Nabi menyadari akan hal ini, namun beliau tetap menerima sikap simpatik lahiriah itu sebatas penampilan dhohir dan mengingkari kemunafikan di balik semua itu.
Yahudi Madinah hendak memanfaatkan pelarian umat Islam dari negerinya untuk dirangkul menjadi sekutunya. Akan tetapi, harapan itu tinggallah harapan, dan fakta bicara lain. Kehadiran risalah Muhammad justeru mengikis kekuatan Yahudi Madinah. Sadar akan kenyataan ini, akhirnya mereka melakukan gerakan provokatif untuk memecah dan meretas tali ukhuwwah Anshâr-Muhâjirîn dan mengobarkan kembali dendam jâhiliyah antara suku aL-Aus dan aL-Khozroj serta melakukan gerakan-gerakan destruktif merusak keimanan umat Islam. Maka untuk merespon aksi anarkhis orang-orang kafir, pada tahun 2 H. umat Islam diizinkan untuk jihad melindungi agama, keimanan, dan akidah dari serangan orang-orang kafir.
"Dan
perangilah di jalan Allâh orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allâh tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas." (Q.S aL-Baqarah : 190).
Izin
jihad dalam fase ini hanya bersifat jihad difâ'i (defensif). Yakni
jihad diizinkan hanya sebatas untuk membela diri dari serangan musuh,
tidak boleh mendahului menyerang, tidak boleh membunuh lawan yang telah
menyerah atau membunuh selain pasukan perang.
III. Fase Izin Jihad Hujûmi (Ofensif)
Dalam
fase ini, umat Islam telah diizinkan untuk melancarkan serangan
terlebih dahulu kepada orang-orang musyrik. Allâh swt. berfirman;
"Telah
diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allâh, benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu." (QS. aL-Haj : 39)
Redaksi
yang dipakai dalam ayat ini mengandung makna ibâhah dan tidak memuat
pesan-pesan yang bernuansa instruktif. Demikian juga dilâlah izin qitâl
yang tersirat dalam ayat tersebut menurut aL-Mâwardy mengarah pada makna
qitâl universal (âm), artinya umat Islam diberi kelonggaran memilih
antara memerangi atau tidak baik dengan cara defensif atau ofensif.
Jihad Nabi yang dilakukan dalam perang Badar pada Jum'at pagi 17 Romadlon tahun 2 H. secara hukum sebenarnya masih dalam limit aplikasi ayat ini. Dalam arti, jihad tersebut dilakukan bukan atas dasar kewajiban agama melainkan murni di atas inisiatif memilih opsi atau tawaran (ibâhah). Kendati demikian, bagi kaum Muslimin yang telah ditunjuk Nabi menjadi pasukan Badar baginya harus berangkat ke medan perang, bukan karena kewajiban jihad melainkan kewajiban taat. Allâh swt. berfirman;
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu." (QS. aL-Anfâl : 24)
IV. Fase Wajib Jihad
Prestasi
kemenangan yang diperoleh mujahidin dalam perang Badar memiliki sugesti
luar biasa terhadap keadaan psikologis-sosiologis masyarakat saat itu.
Kemenangan gemilang yang dicapai kaum Muslimin dengan kuantitas lawan
yang tiga kali jauh lebih besar, adalah nilai tersendiri yang semakin
memantapkan keimanan akan janji pertolongan Allâh kepada umat Islam.
Dengan demikian, kian hari barisan Islam semakin rapat dan kuat setelah
sekian waktu Islam mirip cerai-cerai kafilah sahara yang tercecer lemah
di bawah bayang-bayang kesewenang-wenangan, teror dan penindasan.
"Sungguh
Allâh telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah
(ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada
Allâh, supaya kamu mensyukuri-Nya." (QS. Ali Imrân :123)
Kehidupan
masyarakat Islam Madinah yang terus menemukan eksistensinya sebagai
umat yang kuat dalam level sosial dan keimanan, maka dalam kapasitas dan
kondisi kejiwaan masyarakat seperti inilah kemudian Allâh swt.
menurunkan wahyu yang menetapkan kewajiban jihad bagi umat Islam. Sebuah
kefardluan yang ditaklifkan Allâh sebagai batu ujian keimanan umat
Islam dalam memegang teguh keyakinan akidahnya, sekaligus sebagai
instrumen pencapaian prospek kebahagiaan ukhrowi, surga.
"Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu
benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu; Allâh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. aL-Baqarah
: 216)
Pada
awalnya, kefardluan jihad terbatas hanya di luar tanah Haram dan di
luar bulan-bulan suci (Dzul Qo'dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rojab).
Larangan jihad di bulan-bulan suci dan di tanah Haram tersebut tertera
secara eksplisit dalam surat At-Taubah : 36 dan aL-Ankabût : 67. Namun
karena orang-orang musyrikîn tidak lagi menghormati bulan-bulan suci dan
malah hendak melancarkan serangan di bulan-bulan itu, maka Allâh
menurunkan surat aL-Baqarah : 194 dan At-Taubah : 5 yang melegalkan
jihad difâ'i di bulan-bulan suci namun tetap melarang jihad hujûmi,
kemudian terakhir turunlah aL-Baqarah : 218 yang melegalkan jihad di
bulan-bulan suci secara defensif ataupun ofensif.
Fase seperti ini juga terjadi dalam hukum perang (jihad) di tanah Haram. Setelah awalnya dilarang secara mutlak melakukan perang di tanah Haram, lalu Allâh menurunkan surat aL-Baqarah : 191 yang memperbolehkan jihad defensif di tanah Haram dan melarang jihad ofensif. Kemudian Allâh swt. memperbolehkan jihad di tanah Haram secara mutlak.
"Dan
perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga)
ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allâh." (QS. aL-Baqarah : 193)
KAJIAN METODOLOGIS DAN HISTORIS LEGISLASI JIHAD
Dalam
sub tema ini kajian akan dikonsentrasikan pada analisis ayat-ayat
perang dan membaca peta peperangan dalam potret sejarah Rasûlullâh untuk
meletakkan neraca kajian pada titik keseimbangan hipotesis ilmiah
sebagai usaha rekonstruksi formulasi hukum yang obyektif dan akurat.
Dengan prinsip demikian, diharapkan akan kentara hakikat pensyariatan
(legislasi) jihad dalam Islam, akan terlihat hakikat musuh
(objek/sasaran) dalam jihad sehingga akan bisa disaksikan wajah dan
karakter Islam yang sesungguhnya.
I. Eksistensi Ayat-Ayat Perang
Wacana
metodologis yang paling mengemuka dalam term jihad adalah seputar
persepsi naskh-mansûkh dan pemahaman interpretatif terhadap ayat-ayat
perang yang varian dan relatif. Sehingga semarak interpretasi dan
persepsi dalam term ini tidak akan luput dari fenomena khilâfiyyah.
Kontroversi
sebenarnya sudah terjadi sejak dini, yakni mulai ketika ulama
mensinyalir mana ayat pertama yang turun merekomendasikan legalitas
jihad. Satu versi menengarai aL-Baqarah : 190 sebagai ayat pertama dan
versi lain aL-Hâjj : 39. Kontroversi pada fase ini sebenarnya telah
memiliki sugesti kontras terhadap perumusan konsepsi jihad dalam
sejarah, mengingat dilâlah ayat pertama bersifat khôsh, yakni izin jihad
hanya sebatas defensif, sedangkan dilâlah ayat kedua bersifat âm yakni
defensif dan ofensif.
Disparasi konsepsi jihad ini semakin tampak diametris, dengan turunnya ayat-ayat perang lain yang lebih eksplisit dilâlah universalnya. Seperti At-Taubah : 36, At-Taubah : 29, At-Taubah : 5, aL-Baqarah : 191 & 193 dan lain-lain. Corak redaksional ayat-ayat ini semuanya mengarah pada dilâlah qitâl universal, menyeluruh pada orang-orang kufâr baik melancarkan serangan (defensif) atau tidak (ofensif).
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul wacana Mufassirîn yang menggulirkan persepsi naskh-mansûkh antar ayat-ayat perang satu sama lainnya. Menurut sebagian ulama, seperti Ibn Zaid dan Ar-Robî' ayat yang melegalkan jihad defensif dan melarang jihad ofensif (aL-Baqarah : 190) telah dianulir (naskh) dengan At-Taubah : 36 yang memberi legalitas jihad secara mutlak. Sedangkan menurut Ibn Abbâs, Umar bin Abd aL-Azîz dan Mujâhid, aL-Baqarah : 190 tersebut adalah ayat muhkamah (tegas dan kukuh). Interpretasi yang mereka berikan terhadap ayat ini adalah; "perangilah orang-orang yang turut ambil bagian dalam memerangimu dan janganlah melampaui batas dengan menyerang selain mereka." Persepsi inilah yang nantinya melahirkan konsepsi madzhab jihad defensif.
Ayat yang hanya menjelaskan legalitas jihad defensif di atas menurut sebagian ulama juga dianulir dengan aL-Baqarah : 193;
"Dan
perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga)
ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allâh. Jika mereka berhenti (dari
memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap
orang-orang yang dhalim." (aL-Baqarah : 193)
Instruksi
qitâl yang tersurat dalam ayat ini bersifat universal tidak hanya
perang defensif saja. Pendapat ini menurut aL-Qurthuby dinilai adhhar,
karena setelah memadukan susunan kalimat berikutnya (æóíóßõæäó ÇáÏøöíäõ
áöáøóåö) serta hadits Nabi saw. "Aku diutus untuk memerangi manusia
hingga bersedia mengucapkan lâ Ilâha illa Allâh" keduanya
mengindikasikan motif atau maksud dari peperangan adalah demi
menghilangkan fitnah yakni kekafiran atau kemusyrikan.
Wacana
logis yang diperoleh dari interpretasi semacam ini adalah, motif atau
maksud perang menghilangkan kekafiran atau kemusyrikan tidak akan
menemukan efektifitas hasil tanpa legislasi jihad ofensif. Pemikiran
semacam inilah yang membidani kelahiran konsepsi madzhab jihad ofensif.
II. Manhaji Madzhab Jihad Ofensif & Defensif
Munculnya
dua kecenderungan paham ofensif dan defensif pada perkembangan
berikutnya menuntut keduanya menciptakan konstruksi metodologis yang
kontradiktif satu sama lainnya sebagai konsekuensi eksistensial sebuah
pemikiran.
a.Metodologi Jihad Ofensif
Paham
ini meletakkan dasar pemikiran konsepsinya, bahwa jihad disyariatkan
untuk diproyeksikan melenyapkan kekafiran di muka bumi. Dengan kata
lain, hakikat musuh (objek) dalam jihad adalah murni kekafiran itu
sendiri. Dasar yang dipakai titik tolak pemikiran ini adalah
interpretasi kata 'fitnah' dalam aL-Baqarah : 193 di atas dengan makna
'kufur' atau 'syirik'. Sehingga pesan makna yang ditangkap dari ayat
tersebut ditafsirkan sebagai instruksi memerangi orang-orang kafir
hingga tidak tersisa lagi kekafiran atau kesyirikan (fitnah) dan
tinggallah Islam semata.
Paham ini menyatakan bahwa kewajiban jihad akan terus berlangsung sepanjang kekafiran masih merajalela di muka bumi dan hanya akan berakhir ketika kafir selain kitabi telah memeluk Islam dan kafir kitabi masuk Islam atau bersedia membayar jizyah. Di antara ayat-ayat yang dipakai justifikasi paham ini adalah;
"Katakanlah
kepada orang-orang Badui yang tertinggal: "Kamu akan diajak untuk
(memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi
mereka atau menyerah (masuk Islam)." (aL-Fath : 16)
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allâh dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allâh dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allâh), (yaitu orang-orang) yang diberikan aL-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk." (QS. At-Taubah : 29)
Kenapa
musti kufur dan syirik yang menjadi musuh dalam jihad? Karena dosa
kafir dan musyrik tidak akan mendapat ampunan dan rahmat dengan
menghentikan jihad, tetapi dengan menghentikan kekafiran dan kemusyrikan
itu sendiri. Sedangkan keduanya hanya akan berhenti dengan keislaman
atau kematian seseorang.
Madzhab
jihad ofensif ini menjadikan ayat-ayat perang yang universal sebagai
justifikasi pemikirannya. Seperti An-Nisâ' : 74, aL-Anfâl : 65,
At-Taubah :123, At-Taubah : 36 dan lain-lain di samping itu juga
menyitir beberapa hadits Nabi saw.; "Aku diutus untuk memerangi manusia
hingga bersedia mengucapkan Lâ Ilâha illâ Allâh". (HR. Bukhâry &
Muslim) dan hadits-hadits lain yang senada.
Butir-butir formulasi hukum yang dihasilkan dari kecenderungan pemikiran madzhab ini terrumuskan dalam beberapa poin;
- Asas dasar ikatan antara Islam dengan kafir adalah konflik/perang kecuali terdapat faktor eksternal yang merubahnya seperti iman atau aman.
- Membagi kewajiban dakwah Islâmiyyah menjadi dua bentuk; Satu, dakwah dengan mau'idloh hasanah menggunakan dalil dan hujjah, dan dua, dakwah qohriyyah dengan pedang.
- Ketika dakwah mau'idloh hasanah telah disampaikan, dalil-dalil telah ditunjukkan, hujjah telah dijelaskan dan kebenaran telah nyata di depan mata, maka tidak ada alasan bagi orang musyrik tetap dalam keingkarannya sehingga tidak ada pilihan selain iman atau mati.
- Konsep aqdu adz-dzimmah tidak boleh diberlakukan karena konsekuensi dari rekonsiliasi ini adalah sama saja dengan mengabadikan kekafiran dan kemusyrikan, kecuali Islam dalam kondisi darurat atau aqdu adz-dzimmah diproporsikan untuk menempo ajal mereka selama masa perjanjian agar terbuka mata hatinya menyaksikan kemuliaan Islam kemudian meninggalkan kekafirannya.
b. Metodologi Jihad Defensif
Muara
terpecahnya dua kecenderungan konsepsi jihad bermuara dari kontroversi
seputar dinaskh-tidaknya ayat-ayat jihad defensif (ayat khôsh) di atas.
Bagi versi yang mengatakan tidak dinaskh, maka turunnya ayat-ayat
universal (âm) tidak merubah ketetapan hukum dalam ayat-ayat khôsh
melainkan diproporsikan sebagai penguat hukum ayat yang muhkamah. Dengan
demikian afirmasi hukum yang berlaku tetap melarang jihad ofensif.
Dengan kata lain, legislasi jihad hanya diproyeksikan untuk membela diri
(agama) dari serangan atau ancaman kufâr. Pemikiran semacam ini
akhirnya menjadikan hakikat musuh (objek/sasaran) dalam jihad adalah
serangan atau ancaman kufâr dan bukan semata-mata kekafiran itu sendiri.
Sehingga kewajiban jihad selesai ketika kufâr tidak melakukan serangan
atau menjadi ancaman lagi.
Konsepsi jihad seperti ini menafsirkan 'fitnah' dalam aL-Baqarah : 93 dengan arti ÇáÌÑã (pelanggaran/kekacauan) sehingga menurut Abû Muslim interpretasi ayat tersebut adalah; "perangilah orang-orang kafir sehingga tidak ada lagi aksi-aksi serangan yang mengancam dan mengacaukan menjadi fitnah umat islam".
Madzhab
jihad defensif memperkokoh konsepsi metodologisnya dengan membangun dua
pilar argumentatif sekaligus. Pertama, akumulasi ayat-ayat perang dan
kedua telaah progresif sejarah peperangan era Rasûlullâh saw.
1. Akumulasi Teks-teks Perang
Ayat-ayat
qitâl dalam aL-Qur'ân baik Makiyyah atau Madaniah memiliki corak gaya
bahasa yang ragam, sebagian mutlak dan sebagian lain disertai
motif-motif (asbâb/qoyyid) qitâl. Motif-motif yang tertera dalam
sebagian ayat ada yang mengacu pada usaha untuk menghilangkan bentuk
kedhaliman, menghilangkan penindasan, fitnah atau melindungi dakwah.
Potret sejarah mengabadikan bagaimana kekejaman dan anarkhisme perilaku
orang-orang musyrik dan ahli kitab pada masa-masa Rasûlullâh saw.
terhadap fisik dan psikis umat Islam. Jihad disyariatkan sebagai reaksi
terhadap fenomena fitnah-fitnah itu.
Maka, upaya perumusan konsepsi jihad yang obyektif semestinya harus mengacu pada motif-motif tersebut. Sehingga ayat-ayat qitâl yang universal harus diarahkan pada ayat-ayat perang yang spesifik, hal ini mempertimbangkan bahwa pewahyuan ayat-ayat dengan gaya bahasa âm, karena motif (qoyid) telah dianggap cukup dengan motif-motif yang terdapat dalam ayat-ayat qitâl yang khôsh. Pola pikir semacam ini dalam membangun konsepsi jihad lebih berusaha membaca sitting kondisi historis, sosiologis dan antropologis kepada siapa, di mana dan kapan ayat diturunkan. Di samping itu, tidak terdapat satu ayat atau hadits pun yang tegas memerintahkan perang secara ofensif. Hadits yang mengatakan; "Aku diutus untuk memerangi manusia hingga bersedia mengucapkan Lâ Ilâha illâ Allâh". pun ulama sepakat hanya diarahkan bagi musyrikîn Arab yang memerangi umat Islam dan tidak mau membayar jizyah.
Islam tidak memperbolehkan mengalirkan darah semata-mata karena beda akidah, sebagaimana Islam pun tidak menghalangi pembunuhan kepada orang yang seakidah jika memang atas dasar alasan haq seperti qishas dan lainnya. Islam hanya mewajibkan memerangi non-Islam apabila nyata-nyata ada aksi anarkhis yang mengancam syiar dan agama Allâh saw. atau menjadi fitnah umat Islam. Tidak sedikit hadits-hadits Nabi yang melarang membunuh wanita, anak-anak, pendeta, orang buta, orang lanjut usia dan yang tidak turut berperan memberi perlawanan kepada umat Islam dalam peperangan.
Bukankah pengecualian ini satu bukti bahwa motif jihad bukan diproyeksikan untuk membasmi kekafiran atau kemusyrikan melainkan untuk membendung serangan atau ancaman kufâr (defensif)?
2. Telaah Progresif Sejarah Peperangan Era Rasûlullâh saw.
Setelah
beberapa bulan Nabi berhasil membangun kehidupan di negeri hijrahnya
Madinah, dan geliat kehidupan umat Islam menampakkan stabilitas yang
berarti dalam level atau parameter sebuah masyarakat, terlintas trauma
masa silam akan bahaya Quraisy yang memburu keberadaan Muhâjirîn untuk
dipaksa kembali ke tanah air dan ke keimanan semula. Manuver politik
yang sejak dini dimainkan Nabi untuk melindungi eksistensi embrio negeri
Islam yang masih prematur ini, adalah mengirim satuan-satuan (sariyyah)
ke jalur-jalur lintas perdagangan kafilah-kafilah Makkah untuk menutup
rute ekspor-impor ke dan dari Syam.
Pertama, Nabi mengutus pamannya Hamzah dengan membawa 30 pasukan Muhâjirîn tanpa Anshâr diarahkan ke tepi Laut Merah di sekitar Ish. Satuan ini bertemu dengan kafilah Abû Jahal bin Hisyâm yang dikawal oleh 300 pasukan Makkah. Dalam ekspedisi ini pasukan Hamzah tidak terjadi bentrokan dengan pasukan Abû Jahal setelah dilerai oleh Majdi bin Amr. Kemudian Nabi memerintahkan Ubaidah bin aL-Hârits untuk mengepalai 60 pasukan Muhâjirîn tanpa Anshâr menuju suatu tempat air di Hijâz yang dikenal dengan Wâdi Robigh. Meski satuan Ubaidah ini sempat bertemu dengan kafilah Makkah yang dipimpin Abû Sufyân dengan pengawal 200 pasukan, namun keduanya tidak sampai terjadi bentrokan kecuali yang diceritakan bahwa Sa'd bin Abî Waqash telah melepaskan anak panahnya, dan inilah anak panah sulung (pertama) yang dilepaskan dalam sejarah Islam. Setelah itu Nabi mengirim satuan dengan jumlah 8 pasukan —menurut satu versi dan versi lain mengatakan 20 pasukan— yang dikepalai oleh Sa'd bin Abî Waqash menuju ke Hijâz. Dalam ekspedisi ini juga tidak terjadi bentrokan karena satuan yang dipimpin Sa'd telah kehilangan jejak kafilah Quraisy.
Menginjak tahun ke-2 hijrah, Nabi berangkat sendiri dengan membawa pasukan dari sahabat-sahabat Muhâjirîn ke Abwâ'. Sesampainya di Waddan pasukan ini tidak menjumpai kafilah Quraisy, tetapi dalam ekspedisi ini Nabi berhasil mengadakan perjanjian damai dengan bani Dlamrah. Sebulan kemudian Nabi berangkat lagi dengan mengepalai 200 pasukan dari sahabat Muhâjirîn dan Anshâr menuju daerah Buwath dengan sasaran kafilah yang dipimpin Umayyah bin Kholaf yang terdiri dari 2.500 ekor unta yang dikawal oleh 100 pasukan. Tetapi kafilah itu telah ambil jalur lain sehingga pasukan Nabi tidak menjumpainya. Dua atau tiga bulan berikutnya, Nabi kembali berangkat dengan kekuatan 200 pasukan lebih menuju Usyairah di Pedalaman Yanbû' untuk mencegat kafilah Quraisy yang dikepalai Abû Sufyân menuju Syam. Sambil menunggu kafilah lewat —dan ternyata kafilah itu telah dua hari lebih dahulu lewat—, Nabi berhasil mengadakan perjanjian damai dengan bani Mudlij serta sekutu-sekutunya dari bani Dlamrah.
Sekembali dari ekspedisi ini, di Madinah Nabi dikejutkan dengan ulah Kurz bin Jâbir aL-Fihry, yakni orang yang masih memiliki hubungan dengan Quraisy Makkah merampok sejumlah unta dan kambing di Madinah. Nabi disertai beberapa sahabat langsung memburunya hingga sampai di Safawan di sekitar Badar, namun jejak Kurz sudah tidak terkejar. Inilah yang oleh ahli sejarah disebut dengan Perang Badar pertama.
Jika dianalisa dengan obyektif, historis ekspedisi-ekspedisi dan satuan yang dikirim oleh Nabi atau yang Nabi pimpin sendiri di paruh akhir tahun pertama dan awal-awal tahun kedua hijrah itu, tidak satupun yang merefleksikan sebuah ekspedisi yang membawa misi dendam ataupun penyerbuan terhadap Quraisy Makkah, lebih-lebih misi perampokan terhadap kafilah-kafilah Quraisy seperti yang dituduhkan para Orientalis. Indikasi yang paling mendasar bahwa ekspedisi-ekspedisi tersebut bukan dimaksudkan sebagai penyerbuan adalah; betapapun keberanian pemimpin-pemimpin mereka namun personil satuan-satuan dalam setiap ekspedisi tersebut bukanlah sebuah kekuatan yang layak untuk disebut sebagai pasukan yang akan menyerbu kafilah-kafilah dengan kekuatan yang praktis berlipat ganda. Penilaian yang paling bisa diterima akal dari analisis ekspedisi-ekspedisi itu adalah bahwa misi esensial yang dibawa satuan-satuan Muhâjirîn menghadang jalur-lintas perdagangan kafilah-kafilah Makkah adalah untuk unjuk kekuatan (show of force) di mata Quraisy bahwa Muhâjirîn telah memiliki identitas sebagai masyarakat yang kuat sehingga Quraisy akan memperhitungkan jika hendak melancarkan serangan terhadap Madinah. Demikian juga perjanjian-perjanjian damai yang disepakati Nabi dengan kabilah-kabilah di sepanjang rute perdagangan itu dimaksudkan untuk memperkuat Madinah dan menghapus trauma Muhâjirîn sewaktu di Abisinia (Habasyah).
Lebih dari itu, menurut Husein Haekal, misi yang dibawa satuan-satuan itu adalah supaya pihak Quraisy menyadari akan pentingnya saling pengertian dengan pihak Madinah bahwa kepentingan ekonomi Quraisy berupa keamanan perdagangannya ke dan atau dari Syam sebenarnya begitu tergantung pada jaminan kebebasan dari pihak Muhâjirîn. Dan kebebasan itu tidak akan mereka rasakan jika kepentingan umat islam sendiri berupa kebebasan dakwah dan memasuki Makkah untuk thowaf di Ka'bah telah mereka rampas. Tetapi kesadaran dan pengertian demikian juga mustahil akan terwujud jika Quraisy tidak memperhitungkan kekuatan pihak Muhâjirîn yang kini mencegat dan menutup lintas ekonominya. Untuk itulah diperlukan ekspedisi-ekspedisi sebagai manuver-manuver kekuatan Muhâjirîn untuk menakut-nakuti pihak Quraisy. Maka, fenomena ekspedisi pra-Perang Badar Kubro itu tidak bisa ditafsirkan bahwa umat Islam telah memberikan perlawanan lebih-lebih penyerbuan (ofensif).
Selanjutnya
tulisan berikut akan menganalisa secara singkat dan progresif beberapa
pertempuran di era Rasûlullâh saw. untuk menyingkap tabir motif
qitâl-qitâl tersebut. Apakah difâ'i (defensif) ataukah hujûmi (ofensif)?
Seluruh ekspedisi dan peperangan pada era Rasûlullâh bisa
distatifikasikan menjadi empat arah peta perlawanan. Yakni melawan
Quraisy, melawan Yahudi, melawan kabilah-kabilah Arab selain Quraisy dan
melawan tentara Romawi.
I. Perang Melawan Quraisy
a.Perang Badar Kubro
Tanggal
8 Romadlon tahun 2 H. Nabi saw. berangkat dengan sahabat-sahabatnya
meninggalkan Madinah dengan total kekuatan 305 pasukan. 77 di antaranya
dari Muhâjirîn, 61 dari kabilah Aus dan yang selebihnya dari Khozroj.
Keberangkatan pasukan Madinah ini dengan tarjet mencegat kepulangan
kafilah Abû Sufyân dari Syam yang pernah lolos saat dicegat
keberangkatannya dari Makkah di Usyairah.
Khawatir kepulangan kafilahnya akan dicegat lagi sebagaimana keberangkatannya, ketika telah mendekati Hijâz Abû Sufyân memerintah Dhomdhom bin Amr aL-Ghifary supaya segera ke Makkah untuk mengerahkan Quraisy menyelamatkan harta mereka, juga memberi tahu bahwa pasukan Muhammad sedang mengancam. Mendengar berita itu Abû Jahal segera memanggil orang-orang di sekitar Ka'bah yang punya saham dalam kafilah itu untuk dikerahkan semua. Mereka pun berangkat dengan kekuatan seribu pasukan.
Mengetahui kafilahnya dicegat, Abû Sufyân merubah rute kafilahnya menukik ke jalur laut hingga akhirnya aman sampai di Makkah. Sementara pasukan Quraisy saat itu telah sampai di Juhfah, lalu Abû Sufyân mengirim utusan kepada Quraisy mengatakan: "Kamu telah berangkat guna melindungi kafilah dagang, orang-orang serta harta kita. Sekarang kita sudah diselamatkan Tuhan. Kembalilah!" Maka mendengar pesan itu, pecahlah perselisihan di antara pemimpin Quraisy. Hanya pasukan dari bani Zahrah yang memilih kembali setelah mau mendengar nasehat aL-Akhnâs bin Syariq bahwa harta mereka telah selamat. Sedangkan Abû Jahal malah berteriak: "Demi Tuhan kita tidak akan kembali sebelum kita sampai di Badar. Kita akan tinggal tiga malam di tempat itu. Kita memotong ternak, makan-makan, minum-minum khamr, kita minta para biduanita bernyanyi, biar orang Arab tahu perjalanan dan persiapan kita. Biar mereka tidak lagi menakut-nakuti kita."
Sebelum kedua pasukan bertempur, beberapa kalangan ahli-pikir Quraisy merasa khawatir gembong-gembong mereka bakal terbunuh, sehingga Makkah akan kehilangan arti. Kendati demikian, mereka masih takut kepada Abû Jahal dituduh pengecut dan penakut. Tetapi tiba-tiba tampil Utbah bin Robî'ah ke depan sambil berkata: "Kaum Quraisy, memerangi Muhammad dan sahabat-sahabatnya, sebenarnya tak ada gunanya. Kalau pun ia sampai binasa, maka kalangan kalian sendiri yang akan melihat bahwa yang terbunuh itu adalah keluarga sendiri. Kembali sajalah dan biarkan Muhammad. Kalau dia binasa oleh pihak lain, maka itu yang kalian harapkan. Tetapi kalau bukan itu yang terjadi, kita tidak perlu melibatkan diri dalam hal-hal yang tidak kita inginkan."
Mendengar
kata-kata Utbah Abû Jahal naik pitam. Ia segera memanggil Amir bin
aL-Hadzramy dengan mengatakan: "Sekutumu ini ingin supaya orang pulang.
Engkau sudah melihat dengan mata kepala sendiri siapa yang harus
dituntut balas. Sekarang, tuntutlah pembunuhan terhadap saudaramu!" Maka
Amir bin aL-Hadzramy segera bangkit dan berteriak: "O saudaraku! Tak
ada jalan lain musti perang!" Lalu Aswâd bin Abd aL-Asâd aL-Makhzûmy
sontak keluar dari barisan Quraisy langsung menghujam ke tengah-tengah
barisan Muslimin, tetapi seketika itu juga Hamzah bin Abd aL-Muthâlib
menyambutnya dengan pukulan hingga ia tersungkur dan akhirnya tewas.
Begitu
melihat Aswâd jatuh, maka tampillah Utbah bin Robî'ah didampingi oleh
Syaibah saudaranya dan Wâlid bin Utbah anaknya, sambil menyeru mengajak
duel. Seruannya itu disambut oleh pemuda-pemuda Madinah. Tetapi setelah
melihat pemuda Anshâr yang maju, ia berkata: "Kami tidak butuh kalian.
Yang kami perlukan ialah golongan kami." Lalu mereka memanggil-manggil:
"Hai Muhammad! Suruh mereka yang berwibawa dari asal golongan kami itu
tampil!"
Maka
Nabi menampilkan Hamzah bin Abd aL-Muthâlib, Ali bin Abî Thâlib dan
Ubaidah bin aL-Hârits. Hamzah tidak lagi memberi kesempatan kepada
Syaibah, juga Ali tidak memberi kesempatan kepada Wâlid, keduanya tewas
di tangan Hamzah dan Alî yang kemudian segera membantu Ubaidah yang
sedang ditekan oleh Utbah. Melihat kenyataan ini Quraisy langsung maju
menyerbu. Maka berkecamuklah di Jum'at pagi 17 Romadlân tahun 2 H.
Perang Badar. Perang yang membawa janji pertolongan Allâh akan
kemenangan umat islam.
Menyimak
rekaman singkat Perang Badar itu, sepintas orang akan menyimpulkan,
bahwa keberangkatan Nabi memergoki kepulangan kafilah Makkah dari Syam
adalah bukti posisi Nabi sebagai pihak yang melancarkan serbuan
(hujûmi). Sedangkan kedatangan pasukan Makkah untuk melindungi
kafilahnya adalah pihak yang mempertahankan diri (difâ'i). Persepsi
demikian adalah kesimpulan naif dari analisis dangkal. Adalah fakta bila
Quraisy merupakan pihak yang paling nafsu untuk perang dan menyerbu
pasukan Islam. Kalau maksud Quraisy keluar hanya semata-mata untuk
menyelamatkan hartanya, dan senyatanya harta mereka itu telah aman serta
pemimpin kafilah (Abû Sufyân), dan aL-Akhnâs serta pemuka Quraisy
lainnya pun telah menganjurkan mereka kembali. Dus, kenapa mereka malah
senafsu dengan hasrat Abû Jahal yang mengatakan; "Demi Tuhan kita tidak
akan kembali sebelum kita sampai di Badar?" Apa ini bukan bukti yang
memposisikan diri Quraisy sebagai pihak yang hendak menyerbu (ofensif)?
Kalaupun toh Rasûlullâh keluar hendak mencegat kafilah Makkah, itu bukanlah membawa misi penyerbuan melainkan strategi untuk mencitrakan Madinah sebagai negeri Muhâjirîn yang merdeka, wibawa dan bebas dari segala bentuk penjajahan. Citra ini diharapkan akan membuat pihak Quraisy memperhitungkan eksistensial Madinah, sehingga mereka akan menyadari arti pentingnya saling pengertian akan kebebasan dan kepentingan masing-masing pihak. Bahwa kepentingan Quraisy adalah jaminan keamanan perdagangannya, sedangkan kepentingan Muhâjirîn adalah kebebasan dakwah, kebebasan memasuki Makkah sebagai tanah air sendiri dan kebebasan menjalankan ibadah berdasarkan akidah yang merdeka di Baitullâh. Jadi keluarnya Rasûlullâh memergoki kafilah Makkah tidak lain hanya untuk mendidik Quraisy agar bisa diajak pada perdamaian. Kalaupun toh akhirnya Muhâjirîn harus bertempur di Badar, itu bukan berarti tindakan hujûmi, tapi merupakan kebijakan dalam keadaan yang menuntut demikian, karena mundur dalam keadaan itu berarti meruntuhkan citra eksistensial Muhâjirîn yang berarti membuka jalan Quraisy dan sekutunya leluasa menghujam Madinah yang berarti kehancuran islam. Maka, apapun yang dilakukan umat Islam dalam perang Badar posisinya masih dalam limit difâ'i (defensif).
b. Perang Sawîq
Kemenangan
pasukan Islam dalam perang Badar benar-benar menghujam ke dasar luka
Quraisy hingga mengalirkan dendam kesumat tak terperikan. Abû Sufyân
adalah salah satu Quraisy yang paling kronis dengan luka ini hingga
sampai sumpah serapah tidak akan menyentuh wanita dan tidak akan
mengalirkan air pada jasadnya sebelum bisa menyerang suku Aus dan
Khozroj yang melindungi Muhammad. Maka dia berangkat menuju Madinah
dengan membawa 40 pasukan —menurut satu versi dan 200 pasukan versi
lain—. Sesampai di daerah bernama Uraidh pasukan mereka bertemu dengan
Ma'bad bin Amr dan seorang pekerjanya di sebuah perkebunan. Kedua orang
Anshâr itu dibunuh oleh Abû Sufyân dan dua rumah serta satu pohon kurma
mereka bakar. Merasa sumpah serapahnya telah ia tunaikan, Abû Sufyân
kemudian melarikan diri.
Ketika
berita itu sampai pada Nabi, pada hari Ahad 5 Dzul Hijjah 2 H. beliau
langsung memburunya dengan mengerahkan 200 pasukan Muhâjirîn dan Anshâr
hingga sampai daerah Qarqarat aL-Kudr, namun Rasûlullâh telah kehilangan
jejak dan hanya menemukan sawîq (sejenis tepung jelai atau gandum)
bekal mereka yang ditinggalkan karena ketakutan. Lantaran itulah
peristiwa ini disebut ghozw as-sawîq.
c. Perang Uhud
Serbuan
yang dilancarkan pasukan Abû Sufyân dalam perang sawîq ternyata tidak
cukup untuk menjadi penawar kepedihan luka Quraisy akibat kekalahan
perang Badar. Kematian pembesar-pembesar mereka seperti Abû Jahal dalam
perang Badar kiranya telah menjelma menjadi bayang-bayang yang
menghidupkan dendam Quraisy untuk bertekad menuntut balas. Hingga tak
aneh jika kemudian para pemuka Quraisy sepakat dan rela menjual kafilah
mereka yang dananya disisihkan untuk membiayai perang balas dendam ini.
Maka berangkatlah pasukan Quraisy dengan kekuatan 3.000 personil
laki-laki dan 15 wanita-wanita para pembesar Quraisy yang disiapkan
untuk merangsang emosi pasukan dalam bertempur. Dengan amarah dan dendam
menyala-nyala mereka berangkat menuju Uhud dengan tarjet Madinah.
Menyambut kehadiran pasukan Quraisy yang telah sampai di Uhud ini, antara angkatan tua dengan angkatan muda sahabat-sahabat Nabi sempat terjadi perselisihan seputar apakah harus keluar menyongsong musuh di Uhud atau menunggu musuh dengan tetap bertahan di Madinah. Namun demikian akhirnya pasukan islam sepakat pada Jum'at petang 6 Syawal tahun 3 H. keluar menyambut musuh di Uhud dengan kekuatan 1.000 pasukan dan sampai di bukit itu Sabtu pagi tanggal 7 Syawal dengan jumlah pasukan tinggal 700 personil karena sebelumnya di tengah perjalanan telah terjadi penghianatan Abdullah bin Ubay bin Salûl yang berhasil mengelabuhi 300 pasukan munafik untuk kembali lagi ke Madinah.
Sesampai
di Uhud, Nabi segera mengatur strategi perang. Lima puluh orang barisan
pemanah ditempatkan di lereng gunung dengan pemimpin Abdullâh bin
Jubair yang akan menghalau serbuan lawan dan pasukan kuda dipercayakan
pada Zubair bin aL-Awam. Kepada pasukan pemanah Nabi mewanti-wanti agar
tetap berada di barisannya apapun yang akan terjadi. Maka meletuslah
perang Uhud antara dua kekuatan yang jauh dari seimbang, antara amarah
dan amanah, antara dendam dan pembelaan, antara kufur dan iman.
Dalam
perang ini nyaris kemenangan berada di pihak Muslimin andaikan ketaatan
tetap dipatuhi, andaikan gema li i'lâ'i kalimatillâh tetap kedap dalam
nurani dan tidak redam oleh bersit naluri duniawi. Kekalahan umat islam
dalam Uhud ini, luka di pelipis dan pecahnya gigi Rasûlullâh, bahkan isu
gugurnya Nabi, gugur dan dirobek-robeknya dada dan dikunyah-kunyahnya
hati Hamzah oleh Hindun isteri Abû Sufyân dan gugurnya 70 syuhadâ',
kiranya cukuplah dengan pelajaran yang dapat dipetik dari ketidaktahuan
dan ketidaktabahan terhadap perintah dan ujian. Maka, kiranya tidak
berlebihan jika melihat realitas ini Abû Sufyân sesumbar; "Inilah Uhud
sebagai ganti di Badar yang lalu. Sampai jumpa lagi di Badar tahun
depan".
d. Perang Hamrô' aL-Asâd
Kekalahan
pasukan Islam di Uhud kiranya telah melegakan Quraisy yang haus akan
darah pembalasan dendam. Fenomena ini jika dibiarkan akan menimbulkan
opini negatif dari Quraisy bahwa Madinah telah luluh. Maka keesokan hari
sekembali dari Uhud, Ahad 8 Syawal Nabi mengutus Bilâl untuk
mengumpulkan kembali pasukan yang pernah hadir di Uhud untuk mengadakan
pengejaran terhadap pasukan Quraisy. Pengejaran ini dimaksudkan untuk
menepis opini bahwa Madinah telah tak berdaya sekaligus untuk
mengembalikan citra kekuatan dan kewibawaan Madinah hingga menimbulkan
kegentaran pada musuh-musuh yang ingin menyerbu.
Setelah pasukan Nabi sampai di Hamrô' aL-Asâd, kehadirannya membuat Abû Sufyân yang berada di Rauhâ' miris dan hilang arah. Andaikan tidak menghadapi pasukan Muhammad setelah memperoleh kemenangan, apa cemoohan orang Arab nanti. Dan jika ia maju menghadapi Muhammad di Hamrô' lalu kalah, maka tamatlah riwayat Quraisy. Akhirnya ia memutuskan mengirim berita kepada Muhammad bahwa pasukannya siap tempur lagi. Namun setelah melihat kegigihan pasukan muslimin yang tiga hari terus-menerus menyalakan api unggun menunjukkan siap-siaga menunggu kedatangan Quraisy, Abû Sufyân kembali miris dan memilih untuk kembali ke Makkah cukup dengan kemenangan di Uhud.
e. Perang Badar Ketiga
Selang
setahun kemudian Nabi teringat akan sesumbar dan tantangan Abû Sufyân
sewaktu perang Uhud; "Inilah Uhud sebagai ganti di Badar yang lalu.
Sampai jumpa lagi di Badar tahun depan". Badar adalah sebuah pasar Arab
jaman jâhiliyah. Setiap tanggal 1 sampai 8 Dzul Qo'dah tempat itu selalu
ramai dikunjungi orang. Rasûlullâh pun berangkat menjelang Dzul Qo'dah
tahun 4 H. dengan kekuatan 1.500 pasukan menuju Badar sambil membawa
sejumlah barang dagangan.
Sementara
di pihak Quraisy, Abû Sufyân telah berangkat mengerahkan 2.000 pasukan.
Namun setelah dua hari perjalanan, Abû Sufyân mengurungkan
pertempurannya dan kembali ke Makkah. Dia berkata; "Pasukan Quraisy,
musim kering seperti ini sangat tidak cocok dengan misi kita.
Kembalilah, kita tunggu saja musim subur". Mereka pun kembali untuk
merencanakan dan bersiap-siap dalam perang Khandaq/Ahzâb. Nabi pun
kembali dengan membawa keuntungan perdagangannya setelah 8 hari menunggu
di Badar.
f. Perang Khandaq
Setelah
beberapa bulan bani Nadlîr melarikan diri dari Madinah ke Haibar, hati
mereka mulai terjangkit benih-benih dendam menuntut balas terhadap
muslimin di Madinah. Mereka kemudian mengadakan konspiarsi masal dengan
pihak Quraisy, Ghathafan, Kinanah, Tuhamah dan berbagai bani serta
kabilah-kabilah Arab yang lain, mereka dihasut untuk dijadikan sekutu.
Akhirnya mereka berhasil menghimpun kekuatan besar mencapai 10.000
pasukan. Sebuah kekuatan yang belum pernah ditemukan dalam sejarah
perang Arab.
Mengetahui ancaman dengan jumlah kekuatan sebesar itu, Nabi segera merembuknya dengan para sahabat yang kemudian menyepakati ide Salman aL-Fâritsy (orang dari Persia) untuk menggali parit (al-khandaq) sebagai rintangan pertahanan yang masih asing bagi orang Arab. Nabi sendiri menjadikan markaz pasukannya yang berjumlah 3.000 di bukit Sala' yang sekaligus menjadikannya sebagai benteng dari arah belakang, sedangkan dari arah musuh telah disiapkan rintangan parit yang selesai digali selama enam hari. Letak parit ini berada di sebelah barat laut Madinah sepanjang 5.000 hasta dengan kedalaman 7 sampai 10 hasta dan lebar lebih dari 9 hasta.
Setiba di Madinah, Pasukan koalisi pimpinan Abû Sufyân dikejutkan dengan adanya parit yang merintangi mereka memasuki Madinah. Akhirnya mereka menjadi kelimpungan. Beberapa mereka seperti Ikrimah bin Abî Jahal, Naufal bin Abdullah, Dlirôr bin aL-Khaththâb, Hubairoh bin Abî Wahâb dan Amr bin Abd Wadd memaksa untuk berani menerobos parit itu dengan memacu kencang kuda-kudanya di titik parit tersempit hingga berhasil menyeberanginya, namun seketika itu mereka lansung dihalau oleh pasukan muslimin hingga ada yang terbunuh. Menyaksikan kenyataan ini terpikir oleh pasukan koalisi (ahzâb) bahwa sia-sia saja memaksakan diri memasuki Madinah dengan menerobos parit-parit itu. Satu-satunya jalan untuk berhasil masuk dan sekaligus sebagai siasat melucuti kekuatan Madinah adalah mengadakan diplomasi dengan bani Quroidhoh agar bersedia membatalkan perjanjian damai dengan Muhammad sekaligus melobinya sebagai sekutu.
Kendati
siasat itu berhasil dilakukan dan bani Quroidhoh telah bergabung dengan
barisan pasukan koalisi, tetapi berkat intrik-intrik Nu'aim bin Mas'ud,
loyalitas pasukan koalisi berhasil dipecahnya sehingga beberapa
kabilah banyak yang putus asa. Di tengah-tengah suasana mencekam dalam
kepungan pasukan koalisi, Nabi memanjatkan doa;
"Ya
Allâh Tuhan yang menurunkan aL-Kitab, yang lekas perhitungannya, pukul
mundurlah tentara ahzâb dan guncanglah barisan mereka."
Maka
ijabah doa pun turun, dan malam itu juga datang hujan deras disertai
halilintar menyambar-nyambar, angin ribut dan badai ganas menghajar
barisan dan barak-barak pasukan koalisi hingga kocar-kacir dan
kalang-kabut. Akhirnya keesokan harinya, pagi-pagi itu juga mereka
memutuskan kembali ke Makkah setelah selama 15 hari mengadakan
pengepungan Madinah dan gagal melampiaskan dendam mereka. Umat Islam pun
bersyukur mengantar kaburnya musuh-musuh Allâh tanpa memerlukan
perlawanan yang berarti dari pihak Madinah itu. Dalam perang yang
terjadi pada bulan Dzul Qo'dah tahun 5 H. (April 627 M.) ini ada lima
—versi aL-Mâwardy dan tujuh versi M. Husein Haekal— pasukan islam gugur
menjadi syuhadâ' dan empat orang tewas dari pihak musuh.
g. Fath aL-Makkah
Dalam
perjanjian Hudaibiyah (Maret 268 M) telah ada kebebasan bagi kabilah
manapun yang ingin masuk dalam persekutuan Muhammad atau Quraisy.
Ketika itu bani Khuza'ah memilih bergabung dengan Muhammad sedang bani
Bakr dengan pihak Quraisy. Hal ini memang karena antara keduanya
sebenarnya sudah lama terjadi perseteruan. Setelah dalam durasi beberapa
waktu perjanjian Hudaibiyah berlaku, bani Bakr menyerang Khuza'ah. Di
balik penyerangan ini terlibat beberapa pihak Quraisy seperti Ikrimah
dan lain-lain lewat suplai senjata kepada bani Bakr. Kemudian Khuza'ah
lari ke Madinah minta suaka politik ke pihak Muhammad.
Aksi serangan banu Bakr kepada Khuza'ah yang merupakan sekutu Nabi, dan adanya keterlibatan pihak Quraisy, berarti Hudaibiyah telah dilanggar, maka tak ada jalan lain menurut Nabi, Makkah harus dibebaskan. Strategi Rasûlullâh dalam pembebasan ini merencanakan penyergapan mendadak di Makkah sehingga mereka akan menyerah tanpa harus ada pertumpahan darah di tanah suci itu. Kemudian beliau segera berangkat dengan sangat rahasia membawa kekuatan raksasa yang belum pernah dimilikinya, pasukan yang terhimpun dari berbagai kabilah hingga total mencapai 10.000 pasukan.
Sementara bagi pemikir-pemikir di kalangan Quraisy, mereka sudah mempridiksikan bahaya yang menjadi boomerang akibat tindakan Ikrimah bin Abî Jahal cs. Itu. Lalu mereka mengutus Abû Sufyân ke Madinah untuk mengadakan diplomasi, agar perjanjian itu bisa dikukuhkan kembali. Namun akhirnya Abû Sufyân harus kembali ke Makkah dengan membawa kegagalan perundingan damai. Di tengah-tengah kekhawatiran para pemimpin Makkah itu, mereka malah dikejutkan dengan kabar pasukan Madinah dengan jumlah raksasa telah sampai di Marr Ad-Dhahran. Menyadari kekuatan lawan yang benar-benar raksasa, akhirnya kabilah-kabilah Makkah menyerah melalui seruan Abû Sufyân. Dalam Fath aL-Makkah ini praktis tidak terjadi pertempuran sama sekali kecuali pasukan Khâlid bin aL-Wâlid yang mendapat perlawanan dari penduduk bagian bawah Makkah. Mereka ini terdiri dari orang-orang Quraisy yang paling keras memusuhi Muhammad dan yang turut serta dengan bani Bakr melanggar Perjanjian Hudaibiyah dengan menyerang Khuza'ah. Maka, pada Romadlon tahun 8 H. Makkah pun terbuka, berhasil diduduki dan dibebaskan dari segala bentuk penjajahan dan kebatilan;
"Dan
katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap".
Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap." (aL-Isrâ'
: 81)
Perang
melawan Quraisy mulai dari perang Badar hingga Fath Makkah, tidak
satupun perang Rasûlullâh yang terdapat nuansa ofensif sama sekali,
seluruhnya bermotif difâ'i yang memang disyariatkan untuk membela diri
dari serbuan musuh (Quraisy). Andaikan dipaksakan ditafsiri bahwa
Rasûlullâh lebih dahulu menyerbu, sebenarnya tindakan Quraisy selama 13
tahun kepada umat Islam hingga terjadi exodus Muhâjirîn ke Abisinia dan
Madinah, telah cukup untuk memposisikan keberadaan pasukan Madinah
sebagai pihak yang membela diri (defensif).
II. Perang Melawan Yahudi
a. Perang Bani Qoinuqô'
Bani
Qoinuqô' adalah penduduk Yahudi Madinah yang pada awal-awal kedatangan
Muhâjirîn termasuk bani yang turut mengadakan perjanjian dengan
Rasûlullâh untuk komitmen bersama menjaga kerukunan di Madinah. Namun
ternyata bani Qoinuqô' inilah pihak Yahudi yang pertama kali melanggar
perjanjian. Seusai mendapat kemenangan dalam perang Badar yang penuh
dengan nuansa pertolongan Allâh, selang beberapa hari, ada seorang
wanita Arab datang ke pasar Yahudi Banu Qoinuqô' dengan membawa
perhiasan. Ia sedang duduk interaksi dengan tukang emas dan diminta
supaya ia memperlihatkan mukanya. Tapi wanita itu menolak. Diam-diam
seorang Yahudi dari belakang mengikat ujung baju wanita itu dengan
sebatang penyemat ke punggungnya, sehingga bila berdiri auratnya akan
tampak. Mereka ramai-ramai menertawakannya. Wanita itu menjerit-jerit.
Waktu itu juga seorang laki-laki Muslim langsung menikam Yahudi tukang
emas itu hingga tewas. Orang-orang Yahudi datang mengikat laki-laki
Muslim itu lalu membunuhnya.
Kasus ini kian meluas hingga timbul ketegangan antara pihak Islam dengan Yahudi. Kemudian Nabi minta mereka supaya jangan lagi mengganggu kaum Muslimin dan tetap komit dengan perjanjian yang telah disepakati dan berseru; "Hai golongan Yahudi, takutlah kalian kepada Allâh sekiranya ditimpakan petaka seperti Quraisy. Masuklah ke dalam Islam, karena kalian mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah Nabi yang diutus sebagaimana termaktub dalam kitab kalian." Mendengar seruan itu mereka malah mengatakan; "Hai Muhammad, kamu kira kami seperti kaummu itu (Quraisy). Jangan terkecoh oleh kenyataan. Kamu berhadapan —di Badar— dengan kaum yang tidak mengerti taktik perang sehingga kamu dapat mengalahkannya. Demi Tuhan, jika kamu berhadapan dengan kami, maka kamu akan mengetahui, kamilah manusia."
Melihat kecongkakan mereka yang menampakkan sikap permusuhan dan tidak mengindahkan lagi arti sebuah perjanjian, maka tak ada tawaran lain kecuali menyerbu mereka. Pada pertengahan Syawal tahun 2 H. Nabi mengepung Yahudi bani Qoinuqô' selama 15 hari berturut-turut. Tak ada orang yang dapat keluar atau memasuki wilayahnya menyuplai bahan makanan. Akhirnya mereka menyerah dan memilih keluar dari Madinah menuju utara ke di Adzri'at di perbatasan Syam.
b. Perang Bani Nadlîr
Pada
tahun 4 H. Nabi disertai beberapa sahabatnya datang ke bani Nadlîr.
Salah satu kabilah Yahudi Madinah yang mengadakan perjanjian damai
dengan Rasûlullâh. Maksud kedatangan Nabi itu agar bani Nadlîr bersedia
membantu membayar diat dua orang yang dibunuh oleh Amr bin Umayyah
Ad-Dlimry. Sewaktu perbincangan Nabi dengan pihak bani Nadlîr
berlangsung, Nabi melihat gelagat sebagian mereka yang hendak membunuh
dengan melempari batu. Menyadari hal ini, Nabi langsung pamit ke Madinah
dan diikuti sahabatnya yang tidak tahu alasan kepergian Rasûlullâh
tersebut. Sesampai di Madinah para sahabat baru diberi tahu bahwa bani
Nadlîr telah melanggar perjanjian.
Pelanggaran
perjanjian oleh Yahudi Madinah, jika tidak segera ditindak tegas,
adalah ancaman serius yang akan merapuhkan kekuatan dalam negeri
sendiri, sehingga mudah bagi musuh-musuh dari luar menyerang Madinah.
Maka, dengan pandangan strategi jauh ke depan Nabi membuat kebijakan
politik mendeportasi bani Nadlîr dari Madinah. Kebijakan ini sebenarnya
cukup menggentarkan nyali bani Nadlîr hingga merekapun berencana akan
keluar. Namun setelah mendapat dukungan dari Abdullah bin Ubay bin Salûl
dengan 2000 pasukan akhirnya bani Nadlîr berani menolak kebijakan
Muhammad. Melihat keadaan ini, Nabi langsung menyerbu bani Nadlîr dan
mengepung mereka selama 15 hari.
Dalam kepungan muslimin selama itu, bani Nadlîr masih enggan untuk menyerah, karena di samping masih menunggu pasukan Abdullah bin Ubay bin Salûl, mereka masih cukup memiliki persediaan bahan makanan untuk setahun. Baru akhirnya bani Nadlîr menyerah ketika bantuan Ubay tak bisa diharapkan dan setelah melihat kebun kurmanya dibakar pasukan muslimin. Nabi telah memutuskan untuk membunuh mereka semua, Namun setelah Ubay negoisasi, Nabi pun membiarkan mereka kabur dari Madinah menuju Haibar dengan membawa anak-isteri dan harta-benda yang sanggup dibawa tapi Nabi melarang mereka keluar dengan membawa senjata apapun.
c. Perang Bani Quroidhoh
Bani
Quroidhoh adalah kabilah Yahudi Madinah yang merusak perjanjian damai
dengan Muslimin ketika terjadi perang Khandaq dan bersekutu dengan
pasukan ahzâb. Adalah rongrongan dari dalam jika eksistensinya tetap
dibiarkan di Madinah. Maka setelah pasukan ahzâb kabur, pada bulan Dzul
Qo'dah 5 H. itu juga Rasûlullâh segera berangkat dengan kekuatan 3.000
pasukan dan mengepung bani Quroidhoh selama 25 hari dan sempat terjadi
beberapa kali bentrokan dengan panah dan lempar batu. Selama dalam
kepungan, Banu Quroidhoh sama sekali tidak berani keluar dari kubu-kubu
mereka dan ketika sadar mereka pasti akan jatuh ke tangan Muslimin
mereka meminta kepada Rasûlullâh mengirimkan Abû Lubabah dari pihak Aus
yang menjadi sekutunya untuk dimintai pertimbangan. Namun justeru Abû
Lubabah memerintahkan mereka tunduk kepada Muhammad sambil memberi
isyarat dengan tangan ke lehernya. Artinya kalau tidak berarti
dipenggal.
Banu Quroidhoh lalu meminta kepada Rasûlullâh akan pergi ke Adzri'at dengan meninggalkan harta-benda mereka. Tetapi permintaan itu ditolak. Mereka harus tunduk kepada keputusan perang. Dalam hal ini mereka lalu mengirim orang kepada Aus untuk meminta agar berkenan membantu negoisasi dengan Nabi, seperti yang pernah dilakukan oleh Khozroj terhadap saudara-saudaranya. Lalu pihak Aus memenuhi dan segera menemui Nabi. "Ya Rasûlullâh, dapatkah permintaan sekutu kami itu dikabulkan seperti permintaan sekutu Khozroj dulu yang juga dikabulkan?" Nabi berkata; "Dapatkah kalian menunjuk seorang dari kalian untuk menengahi persoalan ini". Lalu pihak Yahudi memilih Sa'd bin Mu'âdz. Sa'd lalu membuat persetujuan dengan kedua belah pihak itu. Masing-masing hendaknya dapat menerima keputusan yang akan diambilnya. Pertama Sa'd memerintahkan bani Quroidhoh meletakkan senjata. Lalu Sa'd memutuskan, mereka yang turut perang dijatuhi hukuman mati dan yang tidak dijadikan budak. Sedangkan harta, wanita dan anak-anak ditawan.
Banu Quroidhoh tidak menduga akan menerima putusan demikian dari Said bin Mu'âdz sekutunya itu. Bahkan mereka mengira ia akan bertindak seperti Abdullah bin Ubay terhadap bani Qoinuqô'. Dalam hal ini mungkin Sa'd teringat, andaikan pihak Ahzâb menang karena penghianatan bani Quroidhoh itu, kaum Muslimin pasti akan dikikis habis. Sesudah itu Sa'd keluar ke sebuah pasar di Madinah. Diperintahkannya supaya digali beberapa buah parit di tempat itu. Orang-orang bani Quroidhoh itu dibawa dan di sana leher mereka dipenggal, dan di dalam parit-parit itu mereka dikuburkan.
d. Perang Haibar, Perang Fadak, Taimâ' dan Wâdi aL-Qurâ
Dengan
ditandatangani perjanjian Hudaibiyah maka posisi Madinah ada jaminan
keamanan dari ancaman Quraisy di sebelah selatan. Tetapi dari sebelah
utara dan timur, ancaman dua adidaya menjuntai-juntai sekiranya Kaisar
Heraklius (Romawi) atau Kisra (Persia) datang melalui Haibar. Haibar
adalah wilayah di bagian utara Madinah yang menjadi sarang pelarian Bani
Quroidhoh, Bani Nadlîr dan Bani Qoinuqô' yang pernah disuwiping dari
Madinah. Wajar saja mereka akan mengadakan pembalasan bila
sewaktu-sewaktu mendapatkan bantuan dari pihak Heraklius atau kekuatan
pihak lain. Maka, "sedia payung sebelum hujan" mungkin adigium tepat
untuk melukiskan strategi kebijakan Rasûlullâh dalam menumpas Yahudi
Haibar, di mana pihak Muslimin yakin sekali, bahwa selama Yahudi tetap
menjadi benalu jazirah, maka selama itu pula persaingan antara agama
Musâ dengan agama baru ini akan jadi panjang tanpa solusi.
Dengan total kekuatan 1.600 pasukan yang pernah mengikuti perjanjian Hudaibiyah Nabi berangkat menuju Haibar. Negeri kolonial Israel terkuat yang paling banyak memiliki benteng pertahanan. Setelah tiga hari menempuh jarak Madinah-Haibar pada malam hari mereka telah berada di depan perbentengan Haibar, sehingga pada bulan Jumadil Ulâ tahun 7 H. pecahlah perang Haibar itu. Satu demi satu benteng-benteng Haibar berhasil dikuasai pasukan Muslimin.
Benteng pertama yang dikuasai adalah benteng Na'im yang sekaligus berhasil membunuh komandannya, Mahmûd bin Maslamah Barha. kemudian benteng Qomush yang dijaga oleh Sallam bin Abî aL-Huqoiq, lalu benteng Abî aL-Huqoiq dan disusul benteng-benteng lain seperti benteng Asy-Syiqq, benteng Ruthoh, benteng Sho'b bin Jutsâmah, benteng Katibah, dan terakhir dapat dikuasai pula dua benteng paling kokoh benteng Wathih, benteng Sulalim. Sejak itulah perasaan putus asa mulai merayap ke dalam hati mereka. Akhirnya mereka menyerah dan minta damai. Semua harta-benda mereka di dalam benteng-benteng Asy-Syiqq, Natat dan Katibah diserahkan kepada Nabi untuk disita asal nyawa mereka diselamatkan. Permohonan ini dikabulkan oleh Rasûlullâh dan mereka dibebaskan tinggal di negerinya yang menurut hukum penaklukan sudah berada di bawah kekuasaan Muslimin. Mereka akan mendapat separuh hasil buah-buahan daerah itu sebagai imbalan atas tenaga kerja mereka.
Setelah Yahudi Haibar menyerah dan minta damai, Nabi mengutus pasukannya ke Fadak dengan maksud agar mereka tunduk pada pasukan Muslimin. Mengetahui peristiwa yang sudah terjadi di Haibar, penduduk Fadak merasa gentar dan menyerah tanpa pertempuran dan bersedia membayar separuh harta mereka. Kalau daerah Haibar menjadi milik Muslimin karena mereka yang telah berjuang menaklukkannya, maka Fadak untuk Rasûlullâh karena pihak Muslimin tidak memperolehnya dengan pertempuran. Dengan takluknya Haibar di bawah pasukan Muslimin, juga menggentarkan nyali Yahudi Taimâ', hingga mereka berbondong-bondong minta rekonsiliasi damai dengan Rasûlullâh. Maka Rasûlullâh pun menjadikan mereka di bawah lindungannya (Dzimmah) dengan membayar jizyah.
Serampung menyelesaikan gemilang kemenangan ini pasukan kembali ke Madinah hendak melalui Wâdi aL-Qurâ. Akan tetapi pihak Yahudi daerah itu telah menyiapkan diri hendak menyerang Muslimin. Maka pertempuran pun pecah di sana. Setelah merasa tertekan Yahudi Wâdi aL-Qurâ terpaksa menyerah dan minta damai seperti halnya dengan pihak Haibar. Dengan demikian semua orang Yahudi tunduk di bawah bendera Nabi, dan berakhir pulalah semua imperium Yahudi di seluruh jazirah mulai bagian utara hingga Syam dan bagian selatan hingga Makkah.
Peperangan
Rasûlullâh dengan pihak Yahudi mulai dari melawan bani Qoinuqô' hingga
Wâdi aL-Qurâ, begitu nyata motif-motif yang melatarinya. Yakni
penghianatan dan pelanggaran. Andaikan saja Yahudi konsisten dan solid
dengan perjanjian yang telah disepakati, niscaya Rasûlullâh tidak akan
pernah beranjak dari batas-batas masyarakat yang cinta damai. Kebijakan
yang diambil Rasûlullâh dalam memerangi Yahudi adalah manifestasi sebuah
strategi wajar dalam situasi memaksa (darurat) demi melindungi akidah
dan dakwah. Maka dengan fakta ini cukup kiranya menilai posisi
Rasûlullâh berdiri di pihak difâ'i (defensif).
III. Perang Melawan Kabilah-Kabilah Arab Selain Quraisy
Sebelum
peristiwa Badar Kubro, hubungan kabilah-kabilah Arab selain Quraisy
dengan Muslimin praktis nuansa permusuhan tidak kentara. Persekutuan
kabilah-kabilah Arab dengan pihak Quraisy dalam memusuhi Muslimin
disinyalir ahli sejarah terjalin karena ekspedisi-ekspedisi yang dikirim
Nabi memergoki kafilah-kafilah Makkah sehingga mengalihkan rute
perdagangannya dari kabilah-kabilah yang hidupnya bertumpu pada lewatnya
kafilah-kafilah tersebut. Dari sini mereka tumbuh rasa solidaritas
dengan Quraisy demi kepentingan yang sama.
a. Perang Qarqarat aL-Kadr
Pada
pertengahan Muharram tahun 3 H. Nabi disertai 200 pasukan berangkat
menuju bani Sulaim dan Ghathafan yang berkomplot memusuhi Madinah.
Namun sesampai di sasaran, penduduk setempat telah kabur sehingga
pasukan muslimin leluasa merampas kekayaan mereka.
b. Perang Dzî Amr
Perang
ini berawal dari berita yang terdengar oleh Nabi bahwa bani Tsa'labah
dan bani Mahârib bersatu hendak menyerbu Madinah. Maka pada tanggal 18
Robi'ul Awal tahun 3 H. Rasûlullâh bersama 450 pasukan berangkat
menghadapi mereka. Pasukan Madinah ini tidak sampai tempur karena begitu
kedua kabilah itu mengetahui kehadiran pasukan Madinah, langsung kabur
ke pucuk-pucuk gunung.
Dalam ekspedisi ini, saat Nabi istirahat sambil merebahkan tubuhnya tiba-tiba datang Du'tsûr bin aL-Hârits sambil menghunus pedang ke arah Nabi dan berkata; "Muhammad! Siapa yang akan menolongmu dariku?" "Allâh!" Jawab Nabi. Mendengar jawaban yang keluar dari lubuk keyakinan itu, Du'tsûr gemetar hingga pedangnya pun jatuh. Lalu Nabi mengambilnya dan balik menghunuskan ke arah Du'tsûr. "Siapa yang akan menolongmu Du'tsûr?" Tanya Nabi. "Tidak ada selain engkau memaafkan aku". Jawab Du'tsûr dengan penuh ratap dan ketakutan. Nabi pun memaafkan hingga akhirnya Du'tsûr mengucapkan syahadat.
c. Perang aL-Far'i
Sekitar
2 bulan kemudian, tepatnya tanggal 6 Jumadil Awal tahun 3 H. bersama
300 pasukan Nabi berangkat ke Bahran dekat aL-Far'i dengan tarjet bani
Sulaim yang telah diketahui hendak menyerbu Madinah. Kedatangan pasukan
Madinah ini telah menggentarkan nyali bani Sulaim sehingga mereka
memilih kabur dari pada tempur.
d.Perang Dzât Ar-Riqô'
Begitu
terdengar berita bahwa bani Tsa'labah, bani Mahârib dan bani Anmar
bergabung kembali hendak menyerang Madinah, maka Rasûlullâh pada malam
sabtu 10 Muharram tahun 5 H. bersama 400 pasukan berangkat menghadapi
mereka. Namun sesampai di gunung Dzât Ar-Riqô', kesatuan musuh telah
pecah dan kabur meninggalkan wanita-wanita serta harta-bendanya.
Khawatir mereka akan kembali, maka diadakan penjagaan beberapa hari,
dalam pada itulah turun legislasi shalat khauf dan rukhshoh tayammum.
Setelah wanita-wanitanya ditawan, ada sebagian mereka yang nekat
kembali hendak menyerbu. Tetapi mereka sadar akan kesia-siaan
tindakannya itu sehingga mereka kembali tak bernyali.
e. Perang Dumah AL-Jandal
Dumah
aL-Jandal adalah sebuah oasis di perbatasan Hijâz dan Syam yang
terletak pada pertengahan jalan antara Laut Merah dengan Teluk Persia.
Latar belakang terjadinya perang ini bermula dari berita bahwa penduduk
daerah tersebut selalu membuat onar dan mencegat setiap musafir di jalur
menuju Madinah. Pada tanggal 25 Robi'ul Awal tahun 5 H. Nabi berangkat
bersama 1.000 pasukan menyergap musuh secara tiba-tiba sebelum sempat
mengadakan persiapan mempertahankan diri. Beberapa hari pasukan Madinah
menduduki Dumah aL-Jandal dan tidak satupun terjadi bentrokan karena
penduduknya telah kabur sejak kedatangan pasukan Madinah. Kemudian
Rasûlullâh pun kembali, di tengah perjalanan beliau sempat mengadakan
perjanjian dengan Uyainah bin Hushoin dan baru tiba di Madinah tanggal
20 Robi'ul Akhir.
f. Perang Bani Mushtholiq
Rahasia
aL-Hârits bin Abî Dlirôr pemimpin bani Mushtholiq —bagian dari kabilah
Khuza'ah— yang sedang merencanakan penyerbuan Madinah dengan mengerahkan
segala potensi rakyatnya telah disadap Rasûlullâh melalui seorang
badwi. Maka pada hari Senin 2 Sya'ban tahun 5 H. Rasûlullâh berangkat
menyergap bani Mushtholiq dengan kekuatan 1.000 pasukan. Sesampai di
sebuah pangkalan air yang bernama aL-Muraisi', tidak jauh dari wilayah
bani Mushtholiq, pasukan Madinah bergerak cepat dan langsung mengepung,
sehingga pihak-pihak yang tadinya datang hendak membantu kini pun
kabur.
Setelah terjadi saling hantam anak panah dan telah jatuh kurban 10 pasukan tak ada jalan lain bagi bani Mushtholiq kecuali menyerah. Akhirnya mereka semua dijadikan sebagai tawanan perang oleh pasukan Madinah. Namun kemudian mereka semua dibebaskan dalam rangka sebagai mahar Rasûlullâh atas perkawinannya dengan Juwairiyah binti aL-Hârits bin Abî Dlirôr (puteri pemimpin bani Mushtholiq). Dalam perang inilah terjadi hadits al-ifki (rumor dusta perselingkuhan Aisyah dengan Shofwân bin aL-Mu'aththal).
g. Perang Bani Lahyan
Pada
bulan Robi'ul Awal tahun 6 H. terpikir oleh Nabi untuk membuat
perhitungan dengan bani Lahyan yang telah membunuh sejumlah delegasi
Rasûlullâh yang diutus untuk mengajarkan agama, yakni Hubaib bin Ady dan
kawan-kawannya di Raji' dua tahun silam. Strategi Rasûlullâh dalam
perang ini adalah siasat sergap. Rasûlullâh pura-pura pergi ke Syam
menuju ke arah utara. Setelah yakin sekali bahwa Quraisy dan
sekutu-sekutunya tak ada yang hirau, Rasûlullâh menukik ke arah Makkah.
Tetapi setiba di perkampungan bani Lahyan di Uran, penduduk setempat
mengetahui bahwa ia menuju ke tempat mereka. Mereka pun segera kabur ke
puncak-puncak bukit dengan membawa harta-benda yang ada. Nabi pun tidak
sempat menyergap mereka.
h. Perang Dzî Qord
Sepulang
dari ekspedisi bani Lahyan beberapa malam kemudian Nabi Muhammad
kembali ke Madinah, tiba-tiba datang Uyainah bin Hishn aL-Fazary
menyerang pinggiran kota. Di tempat tersebut (aL-Ghobah) ada 20 ekor
unta kepunyaan Nabi yang digembalakan oleh Ibn Abî Dzar dengan istrinya.
Ibn Abî Dzar oleh Uyainah dan kawan-kawannya dibunuh, unta diambil dan
isterinya dibawa. Tetapi Salamah bin Amr bin aL-Akwâ' ketika melintasi
Thaniat aL-Wadâ' melihat jejak Uyainah.
Dia terus membuntuti sambil teriak minta bantuan hingga akhirnya terdengar oleh Nabi. Lalu Nabi segera mengajak para sahabat untuk mengejar jejak gerombolan itu hingga sampai di sebuah gunung di bilangan Dzu Qord. Tetapi Uyainah dan anak buahnya sudah bergabung dengan Ghathafan dan Rasûlullâh melarang pasukannya yang hendak terus memburunya. Dalam usaha pengejaran ini 2 orang musuh terbunuh dan 10 unta serta isteri Ibn Abî Dzar berhasil diselamatkan.
i. Perang Hunain
Pasca-Fath
Makkah, setelah lima belas hari Muhâjirîn bisa nostalgia kembali di
tanah airnya dengan merdeka dan Anshâr pun bisa mengunjungi Baitullâh
dengan bebas, tiba-tiba tersiar berita yang membuat mereka harus segera
asah senjata, menghunus pedang terjun ke medan sabîlillâh kembali.
Hawazin,—kabilah terbesar setelah Quraisy yang tinggal di pegunungan
sebelah timur laut Makkah—bergolak karena risau akan mendapat giliran
disapu pihak Muslimin. Pemimpin Hawazin, Mâlik bin Auf An-Nashiry,
segera mengadakan konspiarsi masal dengan bani Tsaqif, bani Nashr, bani
Jusyam dan lain-lain untuk lebih dulu menyerbu sebelum tersapu, hingga
mereka pun berangkat sampai di Authos.
Menyambut tamu perang ini Rasûlullâh mengerahkan 12.000 pasukan lebih. 10.000 pasukan Madinah yang turut dalam Fath Makkah, 2.000 penduduk Makkah yang baru masuk Islam saat Fath Makkah dan 80 orang Musyrik Makkah. Dengan kekuatan besar yang belum pernah dimiliki ini, sebagian Muslimin terpesona dan mengatakan; "Saat ini kita tak akan kalah oleh musuh yang sedikit". Pasukan besar ini kemudian menuju lembah Hunain pada Selasa malam 10 Syawal 8 H. Pagi-pagi buta setelah fajar pasukan langsung bergerak diikuti Rasûlullâh dengan mengendarai bagal putih (Duldul). Namun tempat-tempat strategis telah dikuasai pihak Hawazin sehingga ketika pasukan Muslimin menyusuri lembah di Tihamah langsung mendapat terjangan deras hujan anak panah pasukan Hawazin hingga kocar-kacir melarikan diri dan tinggal Rasûlullâh beserta beberapa sahabat yang tetap teguh dengan keimanan akan pertolongan Allâh sehingga tetap tegar menghadapi runcingnya keadaan.
Menyikapi situasi ini, Nabi dengan gagah berani berseru kepada pasukannya yang melarikan diri; "Hai hamba Allâh, kemarilah! Aku adalah utusan-Nya. Aku Muhammad bin Abdillâh. Aku Nabi, tidak ada kedustaan dariku. Aku Putera ibn Abdul Muthâlib". Lalu beliau menyuruh Abbâs bin Abdul Muthâlib menyeru mereka. "Saudara-saudara dari kalangan Anshâr yang telah memberikan tempat dan pertolongan! Saudara-saudara dari Muhâjirîn yang telah memberikan ikrar di bawah pohon! Kemarilah! Muhammad masih hidup!"
Sebuah
gema panggilan yang membahana menyeruak ke dalam dada-dada yang sempat
sempit oleh kegamangan yang kemudian lapang kembali, kedap oleh
keyakinan, keberanian, kebangkitan dan kemenangan. Kumandang seruan
Abbâs kiranya telah menggugah gelombang kekuatan baru yang menerjang
musuh hingga kabur terpecah ke tiga arah. Ke Thâif, ke Nakhlah dan ke
Authos.
j. Perang Thâif
Sebagian
besar pasukan yang tergabung dengan Hawazin, setelah kalah dalam perang
Hunain melarikan diri mencari perlindungan ke Thâif. Sebuah kabilah
yang memiliki benteng pertahanan yang sangat kokoh. Rasûlullâh kemudian
pada bulan Syawal tahun 8 H. itu juga langsung mengadakan pengejaran
terhadap mereka, namun sesampai di sana pasukan Nabi kesulitan menduduki
kabilah tersebut karena benteng Thâif begitu kokoh untuk dirobohkan,
sehingga aksi tempur hanya dengan saling kirim anak panah dari jarak
jauh dan menggunakan manjaniq (ballista).
Untuk menerobos benteng itu, juga digunakan alat dabbaba (testudo), sebuah alat pelindung serangan dari arah atas mirip kura-kura guna mendekati benteng untuk dilubangi dan dibongkar. Tetapi lagi-lagi upaya ini dapat digagalkan pihak Thâif.
Untuk menerobos benteng itu, juga digunakan alat dabbaba (testudo), sebuah alat pelindung serangan dari arah atas mirip kura-kura guna mendekati benteng untuk dilubangi dan dibongkar. Tetapi lagi-lagi upaya ini dapat digagalkan pihak Thâif.
Setelah pengepungan cukup lama dilakukan dan tidak ada indikasi Thâif akan lekas menyerah, lalu Rasûlullâh berinisiatif hendak menebang dan membakar kebun anggur yang menjadi tumpuan hidup mereka. Mengetahui strategi ini, pihak Thâif meminta untuk dihentikan. Nabi pun memenuhi permintaan itu dan berseru kepada mereka; "siapa yang bersedia keluar dari dalam benteng dia akan dimerdekakan." Menyambut seruan ini terdapat belasan orang yang melarikan diri dari benteng dan menemui Rasûlullâh, di antaranya Abû Bakrah. Dari orang-orang inilah kemudian diketahui bahwa bani Thâif memilki persediaan makanan yang cukup untuk bertahan selama setahun. Akhirnya Rasûlullâh memutuskan untuk menarik pasukan dan menuju Ji'rânah guna mengadakan pembagian ghonîmah dari perang Hunain. Akan tetapi ghonîmah itu tidak jadi dibagikan setelah pihak Hawazin memintanya dan bersedia masuk Islam. Selama 13 hari berada di Ji'rânah (miqât penduduk Tsaqif) kemudian Rasûlullâh dari tempat itu juga ihrom untuk menunaikan umroh. Seusai umroh, pada bulan Dzul Qo'dah tahun 8 H. Rasûlullâh kembali ke Madinah setelah beliau tinggalkan selama 2 bulan 15 hari.
Samapi di sini, dapat kita baca limit peperangan Rasûlullâh melawan kabilah-kabilah Arab selain Quraisy mulai dari Qarqarat aL-Kadr hingga Thâif yang telah menjadi simbol supremasi Islam di Hijâz, semuanya terjadi karena jelas-jelas bahaya telah di ambang pintu. Tindakan penyerbuan Rasûlullâh ke wilayah musuh adalah tindakan menghadapi tantangan membahayakan sebagai siasat mematahkan sejak dini usaha musuh agar jangan sampai mengalami kehancuran hanya karena tindakan bodoh berdiri di tempat menunggu kehadiran musuh. Penyerbuan itu bukan atas alasan faktor kekafiran atau kemusyrikan musuh, sehingga jelas bahwa jihad bukan diproyeksikan semata-mata untuk membantai orang kafir dan musyrik. Penilaian ini sangat obyektif, sebab kalau tujuan perang Rasûlullâh adalah karena kekafiran dan kemusyrikan dan agar mereka Islam, lalu kenapa Rasûlullâh membiarkan mereka hidup ketika telah menyerah dan tidak beriman, padahal Rasûlullâh sangat mampu untuk merealisasikan hal itu?.
IV. Perang Melawan Romawi
a. Perang Mu'tah
Ahli
sejarah masih silang pendapat menengarai muara terjadinya perang
Mu'tah. Satu versi mengatakan karena lima belas orang sahabatnya yang
dibunuh di Dzâ Ath-Talh. Versi lain berpendapat bahwa ketika Nabi
mengirim seorang utusan kepada Gubernur Heraklius di Bushrâ (Bostra),
utusan itu dibunuh oleh orang badwi dari Ghassan atas perintah
Heraklius.
Pada bulan Jumadil Awal tahun 8 H. (629 M.) Nabi mengutus 3.000 pasukan di bawah pimpinan putera angkatnya, Zaid bin Hâritsah dengan mengatakan: "Kalau Zaid gugur, maka Ja'far bin Abî Thâlib yang memegang pimpinan, dan jika Ja'far gugur, maka Abdullah bin Rawâhah yang memegang pimpinan." Rasûlullâh juga memberikan pesan kepada mereka: "Di sana kalian akan bertemu orang-orang yang menutup diri di dalam gereja, maka jangan kalian usik. Jangan membunuh wanita, anak-anak, orang-orang tua. Jangan menebang pepohonan dan menghancurkan rumah-rumah". Pasukan pun berangkat hingga sampai di Ma'ân di bilangan Syam.
Berita keberangkatan pasukan Madinah ini sudah sampai ke Syurahbil, antek Romawi di Syam. Dia segera menghimpun tentara terdiri dari orang-orang Yunani dan orang-orang Arab serta bantuan dari Heraklius hingga total mencapai 100.000 pasukan. Ketika sudah sampai di perbatasan Balqâ', di sebuah desa Masyarif, pasukan Madinah bertemu dengan pasukan Romawi. Bendera dibawa oleh Zaid bin Hâritsah, ia bertempur mati-matian sampai ia pun gugur. Saat itu juga bendera diambil Ja'far bin Abî Thâlib dan terus maju menghunus pedang menebas leher-leher musuh hingga tangan kanannya pun ditebas musuh, bendera dipegang dengan tangan kiri kemudian kembali ditebas hingga ia mendekap bendera itu sampai akhirnya ia pun gugur. Setelah Ja'far gugur bendera diambil Abdullah ibn Rawâhah. Dengan menghunus pedangnya ia maju bertempur sampai akhirnya ia pun gugur. Maka datanglah si 'pedang Allâh', Khâlid bin aL-Wâlid. Diambilnya bendera itu dan ia segera memulai siasat briliannya. Sengaja ia membuat insiden-insiden kecil yang terkesan diulur-ulur hingga sampai petang, karena dipastikan malamnya kedua pasukan akan meletakkan senjata menunggu pagi, di samping menciptakan opini lawan bahwa ia sedang menanti kedatangan bala bantuan.
Pada malam itu juga Khâlid menyusun siasat lepas dari cengkraman tentara raksasa Romawi. Maka barisan pasukannya dipencar dalam suatu garis memanjang ke arah belakang, dan pagi-pagi buta itu segera ia menciptakan keadaan gaduh, hiruk-pikuk sedemikian rupa yang mirip dengan kedatangan bala bantuan hingga cukup merisaukan nyali pasukan Romawi yang kemudian menjauhkan diri dari posisi Khâlid dengan berharap Khâlid tidak menyerbu. Tetapi sebenarnya Khâlid lebih senang lagi, ia dapat menarik pasukannya dari zona maut itu dan kembali ke Madinah setelah bertempur mati-matian tanpa kemenangan di pihak Muslimin lebih-lebih di pihak Romawi.
b. Perang Tabûk
Kepulangan
Rasûlullâh dari Fath Makkah adalah simbol kemenangan Madinah di bagian
selatan. Pengaruh Rasûlullâh kian rata ke penjuru jazirah dan kini
perhatiannya difokuskan dengan konsolidasi ke segenap semenanjung Arab
untuk menetralisir segala potensi yang hendak menggoyah supremasi
Madinah. Tiba-tiba ada berita dari Romawi, bahwa negeri itu sedang
menyiapkan tentara untuk menyerang perbatasan jazirah sebelah utara,
karena mereka pernah dipermalukan oleh siasat penarikan mundur yang
cerdik dilakukan Khâlid bin aL-Wâlid di Mu'tah silam.
Tidak ingin ketiwasan, ketika musim panas mencapai titik didih, sebuah musim maut di padang pasir, Rasûlullâh segera mengerahkan kekuatan maksimal menghadapi tentara adidaya itu. Sebuah perang besar yang tidak hanya membutuhkan kekuatan fisik dan senjata tetapi juga tekad dan keteguhan batin, sehingga perang ini benar-benar menyeleksi level keimanan umat Islam kala itu. Lantaran itulah pasukan ini disebut "Mu'sirîn" (pasukan penuh rintangan). Rasûlullâh lalu berangkat menuju Tabûk pada bulan Rojab tahun 9 H. dengan jumlah kekuatan yang rasanya dapat menyempitkan luas padang sahara, 30.000 pasukan.
Sementara tentara Romawi mengetahui kedatangan pasukan Rasûlullâh di Tabûk, kembali terbayang akan kegigihan pasukan Muslimin di Mu'tah tahun silam, yang waktu itu hanya segelintir namun sempat mematahkan serangan tentara raksasa Romawi. Trauma itu belum hilang, kini pasukan itu datang kembali dengan kekuatan maksimal. Praktis nyali pasukan Romawi menjadi ciut menyaksikan kekuatan dan tekad pasukan Muslimin yang 'menggila'. Akhirnya mereka menarik mundur pasukan yang sudah diterjunkan di perbatasan guna melindungi Syam. Dengan penarikan pasukan Romawi ini, ada nilai kemenangan tersendiri bagi pihak Rasûlullâh, sehingga beliau merasa cukup dan belum atau tidak perlu untuk memburu sampai negeri mereka. Rasûlullâh tetap tinggal dan berjaga-jaga di perbatasan sampai beberapa hari. Ketika itulah Yohanna bin Ru'bah, amir Ailah yang tinggal di perbatasan datang sendiri dengan memakai salib dari emas di dadanya menyatakan setia dan sedia membayar jizyah sebesar 3.000 dinar tiap tahun. Demikian juga pihak Jarbâ' dan Adzruh, Rasûlullâh juga telah membuat resolusi damai dengan mereka.
Setelah keamanan di perbatasan utara telah berhasil dibangun, lalu Nabi menugaskan Khâlid bin aL-Wâlid dengan 500 kavaleri dengan tarjet Ukaidir bin Abd aL-Mâlik aL-Kindy seorang penguasa Nasrani di Dumah aL-Jandal yang menjadi antek Romawi. Sementara Rasûlullâh dan pasukannya kembali ke Madinah setelah 20 hari di Tabûk. Khâlid pun berhasil menduduki Dumah aL-Jandal dan menangkap Ukaidir, setelah dihadapkan kepada Rasûlullâh ia pun dilindungi setelah bersedia membayar jizyah. Dengan ekspedisi Tabûk ini maka berakhirlah perang dalam sejarah hidup Rasûlullâh. Jazirah Arab telah bebas dari imperium Yahudi dan Nasrani serta ancaman yang mengarah pada kemerdekaan beragama.
Seluruh
peperangan yang dipimpin Nabi atau pun para sahabat merupakan perang
yang paling sedikit menumpahkan darah dalam sejarah perang. Total korban
meninggal dari seluruh rangkaian peperangan Rasûlullâh tidak lebih dari
1.018 jiwa dari kedua belah pihak. Bandingkan dengan korban jiwa dalam
Perang Dunia I tahun 1914-1918 M. yang mencapai 6.400.000 jiwa dan
Perang Dunia II tahun 1939-1945 M. yang mencapai 35.000.000-60.000.000
jiwa. Sedangkan korban penerapan persekutuan dalam pasukan sekutu
mencapai 100.000.000 jiwa yang mayoritas terdiri dari kaum buruh dan
petani, namun Barat kemudian melipat lidah mengklaim diri sebagai
pahlawan penolong buruh dan petani.
Peperangan yang dilakukan Rasûlullâh merupakan penjagaan harkat kemanusiaan dan perlindungan kemerdekaan akidah. Peperangan yang tunduk pada norma-etik dan nilai-nilai kasih sayang sehingga mirip sebuah pengajaran moral yang kadang diperlukan bentuk hukuman. Sebuah peperangan sebagai proses mengubah keadaan dan mencegah petaka. Sebuah peperangan untuk menghentikan peperangan. Sebuah peperangan untuk menciptakan perdamaian dan rasa aman beragama dan bermasyarakat di semenanjung Arab dan dunia. Inilah hasil yang dicapai dari peperangan Rasûlullâh, terciptanya tatanan kehidupan umat manusia yang merdeka, bermoral dan berbudi. Lalu apa yang dicapai dari angkara murka perang dunia yang menelan korban ratusan juta jiwa itu? Praktis tak ada kemaslahatan hakiki yang diperoleh bagi dunia selain nilai-nilai semu yang justeru meruntuhkan hakikat pilar dan sendi kemanusiaan dalam berkehidupan.
Dengan
larut ke dalam rangkaian singkat potret sejarah peperangan Rasûlullâh
yang dapat diklasifikasikan menjadi empat arah peta perlawanan di atas,
semestinya bisa diambil konklusi bahwa tidak satupun bentuk perang
Rasûlullâh —mulai dari melawan Quraisy, hingga melawan tentara Romawi—
yang dilatari motif hujûmi (ofensif) kendati pada beberapa kesempatan
ada yang bernuansa penyerbuan, namun sangatlah naif jika hal itu
kemudian dijadikan sebagai acuan konsepsi jihad ofensif. Karena nuansa
itu pada hakikatnya hanyalah soal taktik, siasat dan strategi perang
mematahkan sejak dini rencana dan usaha musuh yang jelas-jelas mengancam
dan berbahaya. Dari sisi ini, kokohlah paham madzhab jihad defensif
yang menjadikan hakikat musuh dalam jihad bukanlah semata-mata kekafiran
ataupun kemusyrikan, melainkan bahaya dan ancaman dari orang kafir dan
musyrik. Dengan kata lain, jihad hanya diproyeksikan terhadap ancaman
dan serangan musuh agar keberadaannya tidak menjadi fitnah dan benalu
umat Islam dalam berakidah, beragama dan berkehidupan. Sehingga dalam
beragama bisa tulus, ikhlas, tanpa rasa takut, tanpa gamang, tanpa
paksaan dan agama murni semata-mata karena Allâh.
Butir-butir formulasi hukum yang dihasilkan dari kecenderungan pemikiran madzhab defensif (difâ'i) ini terrumuskan dalam beberapa poin;
-Asas dasar ikatan antara Islam dengan kafir adalah rukun/damai kecuali terdapat faktor eksternal yang merubahnya seperti menyerang, merusak keimanan, menghalangi kemerdekaan akidah, menghalangi kebebasan dakwah atau menyebar fitnah.
-Memproporsikan jihad sebagai pengawal atau pelindung (al-himâyah) dakwah. Jihad hanya wajib jika kebebasan dakwah terancam atau dihalangi.
-Kufâr yang tidak memusuhi Islam, tidak menyerang atau mengancam dan bisa diajak hidup berdampingan, maka tidak ada paksaan baginya untuk memeluk Islam dan berhak hidup serta tidak boleh diperangi.
-Konsep aqdu adz-dzimmah (rekonsiliasi damai) hanya diberlakukan kepada kufâr yang telah tunduk kepada pihak Islam dengan bersedia mengikuti hukum-hukum formal Islam di luar hukum ritual dan bersedia membayar jizyah yang semata-mata sebagai tarif (ujroh) perlindungan dan jaminan keamanan yang diberikan pihak Islam dari ancaman pihak manapun.
ANTARA PEDANG DAN BURHAN
Menyimak
manhaj paham defensif dan ofensif di atas dapat diketahui titik bentur
dari dua kecenderungan tersebut. Karakteristik pola pikir madzhab
ofensif cenderung tekstualis dan mengabaikan berkas historis sebagai
pertimbangan hukum, sehingga bias formulasi metodologis yang diperoleh
praktis bernuansa agresif (baca : pemaksaan akidah). Padahal jelas
fatalitas pemikiran demikian jika dikembalikan kepada watak dan ajaran
Islam. Pedang (pemaksaan) hanya memiliki sugesti konkret terhadap
ketaatan fisik untuk bersedia melakukan atau meninggalkan dan absurd
sama sekali memiliki sugesti terhadap batin yang merupakan lubuk
keimanan dan akidah seseorang. Islam tidak menilai keislaman seseorang
dari ekspresi fisik belaka sementara sisi batinnya kosong dari tauhid.
"Dan di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allâh dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman". (QS. aL-Baqarah : 8)
"Orang-orang
Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada
mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk",
karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu". (QS. aL-Hujarat : 14)
Apabila
Allâh swt. telah menafikan predikat keimanan yang diikrarkan dari dan
dengan lisan-lisan mereka, adalah sangat tidak ilmiah jika lalu
disimpulkan bahwa misi kehadiran utusan-Nya adalah untuk memaksa
keyakinan umat agar memeluk risalah yang dibawanya. Dengan bahasa tegas
ayat aL-Qur'ân pun telah mengkandaskan harapan umat Islam menempuh
'jalan paksa' untuk menghantarkan pada keimanan (dakwah). Allâh swt.
berfirman;
"Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat". (QS. aL-Baqarah : 256)
"Maka
berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang
memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka". (QS.
aL-Ghâsyiyyah : 21-22)
"Dan
jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya?" (QS. Yûnus : 99)
Islam
adalah soal keimanan, soal akidah dan soal tauhid yang hanya akan
tertanam di dasar jiwa seseorang melalui perenungan, pengetahuan dan
kesadaran terhadap bukti-bukti (ayat-ayat) Ulûhiyyah dengan tulus,
ikhlas tanpa keterpaksaan sehingga hatinya terbuka menerima cahaya
hidayah. Pengetahuan dan kesadaran seseorang bukan didapatkan dari
ketajaman mata pedang, tetapi dari kebenaran dalil dan burhân. Sehingga
menjadikan pedang (jihad) sebagai sarana dakwah qohriyyah sama saja
dengan menutup pintu hati dan memadamkan cahaya iman. Inilah natijah
fatal dari kecenderungan faham jihad ofensif (hujûmi).
Sedangkan karakter paham defensif (difâ'i) yang melegislasikan esensi jihad hanya diproyeksikan untuk melindungi dakwah Islâmiyyah, pada skala tertentu cenderung jihad hanya diinterpretasikan sebagai legislasi bela diri atau mempertahankan diri. Interpretasi demikian praktis mereflesikan nuansa karakteristik rûhul Islam yang pasif, vakum dan tidak reaksioner dalam menegakkan syariat di muka bumi. Paham defensif juga terkesan mendudukkan Islam —maksimal hanya— setara dengan non-Islam atau malah lebih rendah dari itu, padahal al-islâm ya'lû wa lâ yu'lâ alaih.
Jihad ketika hanya diartikan sebagai gerakan defensif, membela atau mempertahankan diri, berarti juga menyederhanakan eksistensi Islam itu sendiri. Padahal Islam —dengan legislasi jihadnya— hadir untuk membela diri sekaligus memerdekakan dan membebaskan dunia dari segala kedhaliman yang melanda umat manusia. Semua sistem dan pandangan hidup baik sektor akidah, politik, sosial, ekonomi dan lainnya yang tidak islami dan tidak diridloi Allâh swt. adalah bentuk kedhaliman anak manusia yang melanda dunia. Di sinilah Islam dengan jihadnya—datang sebagai gerakan pembebasan dunia dengan menegakkan syariat Allâh di muka bumi dan menghapus segala sistem dan pandangan jahiliah yang senantiasa bersandar kepada setan dengan berbagai bendera, aturan, jalan, nilai dan parameter.
Jihad dalam Islam bukan sekedar gerakan defensif, bela diri dari serangan atau ancaman kufâr semata. Lebih besar dari itu, jihad adalah pembebasan dan perjuangan kemerdekaan kemanusiaan. Apakah watak dan ajaran Islam menganjurkan umatnya untuk pangku tangan, berdiri di tempat dan tidak bereaksi jika kedhaliman telah merajalela menjadi sistem dan pandangan hidup manusia hanya karena mereka tidak terlebih dahulu menyerang atau mereka tidak mengancam dan mau hidup berdampingan? Apakah kemerdekaan itu hanya sebatas hidup toleran, hidup rukun dan hidup damai, sementara dunia kedap dengan gelimang kedhaliman dan kemunkaran? Bayangkan, apakah Abû Bakar, Umar dan Utsmân seandainya telah berhasil membebaskan jazirah Arab dari serangan Romawi dan Persia akan berpangku tangan dan tidak mendorong penyebaran Islam ke penjuru dunia? Di sisi inilah madzhab jihad defensif tidak bisa dimaafkan jika jihad hanya dideskripsikan sebatas gerakan mempertahankan atau membela diri dari serangan atau ancaman kufâr dan menafikan watak ajaran Islam sendiri yang memang ofensif untuk menyebarkan misinya ke segala penjuru dunia tanpa terkurung oleh batas rasial dan geografis.
Dalam Tafsîr Fî Dhilâl aL-Qur'ân, Sayyid Quthb mengatakan; "Orang yang mengerti tabiat Islam, niscaya tahu akan keharusan adanya gerakan Islam dalam bentuk jihad dan mengerti pula bahwa kewajiban ini tidak hanya bersifat difâ'iyyah, membela dan mempertahankan diri dalam arti sempit sebagaimana yang dipahami sekarang dengan istilah 'perang defensif'. Atau sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang yang kalah di bawah tekanan realitas dan gempuran orientalis yang licik menggambarkan jihad dalam Islam sebagai gerakan defensif. Apabila kita menamakan gerakan jihad dalam Islam ini dengan 'harakah difâ'iyyah', maka kita harus mengubah pengertian difâ' itu sendiri, dengan difâ' an al-insân, yaitu membela manusia untuk melawan semua unsur yang mengikat kebebasannya dan menghalangi kemerdekaannya". Dalam karyanya di balik jeruji (baca : istana uzlah) 'Aku Melawan Teroris', Imam Samudera setelah mengulas marhalah (periodesasi) jihad dan setelah menyitir beberapa ayat dan hadits perang mengatakan; "saya mengerti, bagaimana ocehan kaum kafir yang diwakili oleh para orientalis terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits di atas. Saya mengerti pula bagaimana segelintir umat Islam merasa minder terhadap segala ocehan sekaligus tuduhan kaum kafir tersebut. Mereka seakan (atau benar-benar) malu dengan adanya ayat dan hadits-hadits di atas, sambil menampilkan 'citra Islam' yang tidak akan dikritik atau dicerca oleh kaum kafir. Saya tahu pula, terdapat segolongan dari kalangan umat Islam yang tidak sanggup menolak ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut, tetapi mereka memalingkan pada pengertian lain yang menurutnya lebih pas, lebih sreg, lebih manusiawi (humanis). Konon begitu?!"
Lebih lanjut Samudera mengatakan: "jika kita telusuri dan cermati, akan nampak bahwa tahap keempat (terakhir) pensyariatan perang dalam Islam, dapat dikatakan tahapan perang ofensif (hujûmi, menyerang), setingkat lebih tinggi dari tahap yang ketiga (defensif, bertahan)".
Sedangkan Sayyid Quthb dalam karya terakhirnya, Ma'âlim fî Ath-Thôriq —yang mengantarkannya menemui ajal— menentang keras pendapat sebagian ulama atau orientalis yang menyatakan bahwa jihad bersifat defensif. Sayyid Quthb berkata; "Kita jangan sampai tertipu atau lalai oleh provokasi orientalis mengenai prinsip jihad. Kita jangan sampai menyerah di hadapan tekanan realitas sekarang ini. Walaupun tekanan itu terasa berat sekali dipandang dari segi perimbangan kekuatan militer nasional, lantas karena semua itu, kita mencari-cari alasan moral bagi jihad islami dengan bentuk yang sangat bertentangan dengan tabiat agama ini. Kemudian kita menyatakan bahwa legislasi jihad dalam Islam hanya sebagai upaya 'mempertahankan diri". Lebih lanjut Quthb menyatakan bahwa kewajiban jihad itu harus bergerak menyebar ke penjuru dunia. Islam tidak mungkin meninggalkan sebagian manusia yang hidup di belahan bumi bersimbah kejahatan dan dilanda perbudakan. Jihad dalam Islam adalah untuk menegakkan manhaj dan mendirikan sistem universal (sistem Ilâhi). Jihad dengan lisan dan penjelasan akan mudah dilakukan jika saja antara manusia dan dakwah ini tidak ada aral yang merintanginya, kebebasan berdakwah terjamin dan mereka pun benar-benar terlepas dari segala tekanan eksternal. Oleh karena itu di sini, prinsip tidak ada paksaan dalam agama dapat diaplikasikan. Namun di saat ada rintangan dan tekanan-tekanan materil atas seruan universal ini, maka yang musti dilakukan pertama-tama adalah melenyapkan rintangan dan tekanan itu dengan kekuatan.
Sampai di sini, jelaslah kelebihan sekaligus kelemahan dua kecenderungan madzhab ofensif dan defensif tersebut. Namun dengan perluasan makna kata difâ'i (defensif) yang digulirkan Sayid Quthb di atas kiranya dapat menjadi benang moderat yang menengahi sekaligus menjembatani dua kecenderungan ekstrim tersebut, bahwa; sepanjang nilai-nilai kebebasan dakwah dan syi'ar Islâmiyyah dihormati, maka Islam tidak akan menghunuskan pedang untuk membasmi kekafiran, namun tidak berarti dengan tercapainya perdamaian dunia, misi agama menegakkan syariat Ilâhi di muka bumi berhenti. Sepanjang kedhaliman masih menjadi sistem dan pandangan hidup, maka sepanjang itulah jihad —dalam pengertian luas— menjadi gerakan perjuangan pembebasan dalam Islam yang melintasi ruang dan waktu. Maka tampaklah hakikat Islam tertinggi, bahwa jihad merupakan pernyataan umum untuk melepaskan penyembahan sesama makhluk dan menetapkan Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah semesta hanya kepada Allâh swt. serta meruntuhkan kekuasaan hawa nafsu di muka bumi dan menegakkan kekuasaan syarî'ah Ilâhiyyah terhadap manusia. Wa Allâh a'lam.
PERANG ABAD MODERN
I. Dendam Historis
Selama
berabad-abad, Barat yang nota bene Zionis Yahudi dan Salibis Kristen
takluk di bawah hegemoni khilâfah Islam. Kebencian kaum Kristen Barat
pernah membara dalam bentuk pengobaran api perang terhadap umat Islam
yakni ketika Perang Salib tahun 1096-1291 M. dengan satu misi
penghancuran Islam. Akan tetapi Islam gagal dilumpuhkan, bahkan
kalkulasi akhir kemenangan lebih banyak diraih umat Islam. Kekalahan
mereka dalam Perang Salib telah menjadikan trauma perang berkepanjangan
yang sekaligus menanamkan rasa antipati mereka dan menancapkan fondasai
pertama dan esensial untuk memantapkan sikap Eropa (baca : Barat)
terhadap Islam. Bara dendam Perang Salib tidak pernah padam dan kembali
menyala pasca berakhirnya Perang Dingin antara konfrontasi negara-negara
kapitalis Barat pimpinan AS dengan negara-negara komunis Eropa Timur
pimpinan Uni Soviet. Pasca-Perang Dingin, dunia Barat melihat Islam
sebagai kekuatan baru yang menjadi ancaman mereka. Islam adalah Green
Menace (Bahaya Hijau) sekaligus The next enemy (musuh selanjutnya)
setelah tumbangnya Bahaya Merah (Uni Soviet) dalam Perang Dingin.
Memang, "adalah kesalahan fatal bila menyangka dendam dan semangat
Perang Salib telah punah" kata Murad W. Hoffman.
II. Invasi Intelektual (Ghozw aL-Fikr)
Trauma
berat akan kekalahan militer dan akan kekuatan Islam yang telah
menghegemoni dunia sejak era Khulafa' Ar-Rosyidin hingga khilâfah
Utsmaniyah di Turki, kiranya telah menjadi luka sejarah yang memaksa
mereka senantiasa merencanakan dan melakukan berbagai upaya serangan
untuk melemahkan Islam melalui ragam siasat dan taktik invasi serta
agresi. Lantaran mereka yakin tidak akan mampu menguasai Islam dengan
jalan peperangan militer mereka merubah haluan siasat perang ke medan
laga baru, invasi yang lebih ampuh, fatal dan berbahaya, karena mereka
menukik langsung ke jantung idiologi dan doktrin kaum Muslimin yang
dewasa ini diistilahkan dengan ghozw al-fikr (invasi intelektual) yang
merupakan program penjajahan, pemikiran, pendidikan, pelatihan,
orientasi dan segala medan yang mengarah pada pengaruh psikologis,
etika, pribadi atau sosial melalui agen-agen internasional atau nasional
dengan misi dan target menjauhkan kaum muslimin dari agamanya secara
universal dan partikular, memecah belah, merobek-robek persatuan sosial
Islam hingga akhirnya menjajah idiologi dan psikologis umat Islam guna
menjadi batu loncatan menuju penjajahan secara politik, ekonomi dan
militer.
Salah satu cara dari serangkaian serangan invasi mereka adalah upaya mengganti tradisi dan budaya Islam dengan tradisi budaya mereka melalui propaganda bahwa tradisi dan budaya Barat adalah perilaku yang lebih utama, lebih maju bagi peradaban manusia dalam pergaulan dunia. Mereka juga mengecam habis-habisan tradisi dan pakerti umat Islam melalui pemikiran dan cara persuasi dengan dalih tidak sesuai dan ketinggalan zaman, kolot, tidak berguna dan tidak merealisasikan kebahagiaan.
Sejauh ini, misi busuk mereka telah menuai hasil dengan keberhasilan mempengaruhi dan mencetak beberapa pemikir Muslim yang berkiblat pada idiologi mereka. Menurut Mushthafa aL-Siba'i, setidaknya ada tiga kelompok dari kaum muslimin yang memiliki orientasi Barat dan membantu kesuksesan invasi intelektual mereka;
Pertama; Para antek-antek bayaran yang menjual dirinya kepada Barat dengan harga murah berupa sejumlah uang, jabatan yang dijanjikan atau kesenangan-kesenangan sementara. Di antara mereka ada yang dari kalangan pelajar yang memiliki jiwa lemah dan ada yang memiliki posisi keagamaan yang membuatkan justifikasi musuh dengan menjaring pendapat-pendapat lemah untuk kepentingan musuh dan sengaja mengemasnya dalam penampilan yang lebih baru. Terkadang mereka juga mengeluarkan penakwilan-penakwilan menyimpang yang menguntungkan musuh dan kadang juga menyampaikan fatwa-fatwa 'dingin' yang memadamkan semangat ghîrah umat Islam untuk melakukan perlawanan dengan menuduhnya sebagai Islam garis keras, fundamentalis, teroris dan entah apalagi. Sementara mereka sendiri yang dikenal sebagai cendikiawan atau moderat malah pangku tangan terhadap aneka kemunkaran, dengan dalih; "itu tidak manusiawi" atau malah "itu hak asasi".
Kedua; Kalangan luar, yaitu mereka yang telah keluar dari agama dan umatnya. Yang paling bahaya dari kalangan ini adalah komunitas terpelajar dengan ilmu pengetahuan modern. Mereka sebenarnya termasuk tentara-tentara Zionis Salibis yang bertugas tidak lebih dari miniatur yang sempurna dari tugas para orientalis, missionaris dan kolonialis hanya saja tampil berbaju dan wajah nasionalis. Kesibukan mereka kadang mengimpor idiologi-idiologi dan aliran-aliran pemikiran yang telah diplaning oleh pihak asing untuk memusuhi Islam kemudian menyuguhkan ke hadapan para generasi muda dengan mengagung-agungkan serta menanamkan kultus kepada tokoh-tokohnya lalu menganggap sebagai kebenaran dan penemuan besar dalam bidang sains. Hasilnya, tumbuh sikap skeptis dan kekufuran dalam pikiran dan hati generasi sehingga melakukan penghinaan terhadap agama, umatnya dan apatis bahkan benci terhadap nilai-nilai hakiki Islam serta sejarah dan ulama-ulama salaf as-shalihin.
Ketiga; Kalangan yang tertipu, yaitu mereka yang tidak diragukan keislamannya dari kaum cendikiawan dan jurnalis muslim, akan tetapi terkecoh dengan baju penelitian ilmiah absurd yang dikenakan para orientalis dan sejarawan Barat yang menutupi hakikat target dan tujuan mereka sehingga mereka turut dalam membantu misi-misi penyebaran keragu-raguan dan kecurigaan terhadap doktrin islam.
Ada empat sebab yang membawa kalangan ini terkecoh hingga terjerumus ke dalam belitan orientalis, sejarawan dan penulis-penulis Barat;
-Ada kalanya karena kebodohan mereka terhadap hakikat tradisi Islam serta tidak menelaahnya dari sumber yang bersih serta terpesona dan silau dengan Barat.
-Ada kalanya tertipu oleh asumsi metodologi ilmiah yang diklaim Barat.
-Ada kalanya karena mencari popularitas dan tampil dengan kebebasan berpikir dari belenggu taqlid seperti yang kerap mereka 'nyanyikan'.
-Ada kalanya terjebak di bawah pengaruh tendensi dan penyimpangan pemikiran, yang mereka tidak menemukan ruang untuk mengungkapkannya kecuali dengan cara bersembunyi di belakang para orientalis.
Menurut
Abû Ridlo, ghozw al-fikr merupakan bagian tak terpisahkan dari uslub
al-qitâl (metode perang) guna menyingkirkan umat Islam dari agamanya.
Ghozw al-fikr adalah penyempurnaan, alternatif dan penggandaan cara
perang dan penyerbuan terhadap dunia islam. Program ghozw al-fikr ini
meliputi;
-Tayskîk;
Sebuah
gerakan yang berupaya menciptakan keraguan dan pendangkalan umat Islam
terhadap agamanya. Prakteknya, di antaranya dengan melecehkan dan
mengecam habis-habisan Qur'ân, Hadits dan Muhammad saw. atau
mengkampanyekan bahwa hukum-hukum Islam tidak relevan dengan tuntutan
zaman.
-Tasywîkh;
Gerakan
yang berupaya menghilangkan kebanggaan umat Islam dengan agamanya
sendiri. Di sini mereka melakukan pencitraan negatif tentang agama dan
umat Islam lewat media dan lain-lain dengan mengesankan bahwa Islam
menyeramkan, radikal, sadis, dan lain sebagainya. Sehingga timbul rasa
rendah diri di kalangan umat Islam.
- Tadzwîb;
Yakni
pelarutan budaya dan pemikiran dengan mencampur-adukkan antara yang haq
dan yang bathil antara ajaran Islam dan non-Islam, sehingga umat Islam
tidak lagi bisa membedakan mana tuntutan Islam dan mana tontonan dari
setan.
-Taghrîb;
Yakni
westernisasi atau pembaratan dunia Islam. Mereka mendorong umat Islam
agar menerima pemikiran dan budaya Barat seperti sekularisme,
kapitalisme, liberalisme dan lain-lain. Mereka ingin menerapkan
terhadap Islam di Timur apa yang diterapkan terhadap Kristen di Barat.
Seolah kebangkitan yang ada di Barat tidak akan pernah berlangsung
kecuali setelah terbebas dari kekuasaan agama. Karena itu kebangkitan
Timur harus dibangun di atas puing-puing agama.
III. Hegemoni & Propaganda
Tidak
hanya berhenti sampai di sini, serangan yang dilancarkan dalam invasi
Barat terhadap Islam dan umatnya. Dewasa ini proganda yang paling
popular adalah stigma (labelisasi) fundamentalisme Islam atau Islam
fundamentalis yang dicapkan terhadap setiap gerakan (pemikiran dan
gerakan/politik) Islam yang melandaskan perjuangan pada ruh ajaran Islam
dan memperjuangkan berlakunya syariat Islam dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Label ini memiliki pengaruh besar dalam
upaya kaum Zionis Salibis Barat melakukan hegemoni dunia sekaligus
menjadi 'istilah selimut' (blanket term) untuk melegalkan tuduhan Barat
terhadap setiap fenomena kebangkitan Islam yang menyeru umat untuk
kembali pada Qur'ân dan Hadits serta Islam yang bebas dari kontaminasi
asing (baca : bid'ah).
Fundamentalisme Islam juga dianggap sebagai ancaman besar bagi Barat setelah masa 'vakum ancaman' dengan berakhirnya Perang Dingin, dan dipropagandakan Barat sebagai ancaman seluruh umat manusia, karena selalu dikaitkan dengan ekstrimisme, fanatisme, militanisme, radikalisme dan terorisme. Akbar S. Ahmed menyebut fundamentalisme Islam sebagai 'Hantu Barat', bahkan Wakil Presiden AS Dan Quayle memasukkan bahaya fundamentalisme ke dalam kelompok yang sama dengan Nazisme dan Komunisme. Ketakutan akan kebangkitan Islam kembali yang mereka istilahkan 'Fundamentalisme Islam' memaksa AS untuk memicu sekutu-sekutunya di Eropa untuk menelurkan program terpadu sebagai antisipasi arus deras fundamentalisme Islam yang kian menggejala. Pacuan AS tentu diamini karena di negara-negara Eropa selalu ada kekhawatiran atas bangkitnya kekuatan Islam.
Akhirnya, jadilah fundamentalisme Islam sebagai 'Hantu Barat', 'Bahaya Hijau' dan 'Pedang Islam' (sword of Islam). Awal Februari 1992 digelar Konferensi tentang Kebijakan Keamanan di Munich, Jerman (The Munich Conference on Security Policy) oleh negara-negara Barat/NATO muncul persepsi fundamentalisme Islam sebagai ancaman setelah runtuhnya Komunisme. Maka dimulailah era baru pengganyangan habis-habisan terhadap semua kekuatan yang dinilai sebagai fundamentalis Islam dengan dukungan penuh media massa yang menjadi kaki-tangan Barat. Gencarnya propaganda Barat tentang fundamentalisme Islam melalui media massanya yang dikaitkan dengan citra kekerasan telah menimbulkan opini publik dan image negatif tentang Muslim dan Islam. Islamophobia (ketakutan terhadap Islam) telah melanda dunia, tidak hanya dunia Barat, bahkan negara Islam sendiri merasakan keresahan hebat —khususnya negara-negara Arab— seperti Aljazair, Mesir dan Tunisia. Beberapa (atau malah semua?) pemimpin negara Arab tampak mengekor pada persepsi Barat bahwa fundamentalisme Islam sebagai ancaman besar di dunia Arab, sehingga mereka mengadakan pembasmian terhadap setiap gerakan Islam karena dipandang akan membahayakan eksistensi kekuasaan.
Istilah fundamentalisme pada mulanya merupakan istilah yang muncul dari gerakan Kristen Protestan di Amerika Serikat sekitar tahun 1920-an yang menekankan kebenaran Bible dan menentang temuan-temuan sains modern yang bertentangan dengan doktrin yang termaktub dalam ajaran umat Kristen. Doktrin kaum fundamentalis yang penting di antaranya adalah; inspirasi dan kebenaran mutlak Bible, Trinitas (Tritunggal), Ketuhanan dan kelahiran suci Kristus (Yesus), kejadian pasti atas kehendak Tuhan, dosa manusia, penebusan dosa oleh Kristus bagi dosa-dosa manusia, kebangkitan dan kenaikan Kristus dan lain-lain. Karena karakternya yang berpegang teguh pada standar ortodok agama Kristen, fundamentalisme sering dilawankan dengan modernisme yang mengutamakan setiap yang baru dari hal lama. Fundamentalisme adalah lawan dari modernis, manakala sains modern bertentangan dengan cerita atau ajaran Bible. Kaum fundamentalisme menuduh kaum modernis sebagai perusak agama Kristen dan mengorbankan Bible demi kepentingan sains modern.
Stigma (labelisasi) fundamentalisme pada gerakan Islam adalah merupakan pemerkosaan besar-besaran terhadap sejarah, karena "gerakan kembali ke Qur'ân dan Hadits serta ajaran Islam yang murni" itu mempunyai visi dan cita-cita serta orientasi yang sama sekali berbeda dengan fundamentalisme Kristen. Salah satu perbedaan itu adalah, fundamentalisme Kristen muncul karena ketidakpuasan terhadap doktrin dan dogma Kristen yang kian melapuk dan tidak sanggup menghadapi arus penemuan dan pengembangan sains modern. Sedangkan gerakan —yang mereka tuduhkan sebagai—'fundamentalisme Islam' muncul justeru karena ketidakpuasan terhadap keadaan masyarakat dunia, khususnya umat Islam yang kian menyimpang dan jauh dari ajaran Islam. "Gerakan yang sama" dalam Islam tidak anti-sains modern tapi justeru mendorong umat untuk menguasainya. Perkembangan sains modern bahkan sejalan dengan aL-Qur'ân. Dalam "Debat Kristologi" di Chicago, Amerika Utara, Dr. Zakir Abdul Karîm Naik mengatakan; "sepanjang kita berpikir logis dan setelah penjelasan logis itu diberikan kepada Anda, tidak peduli baik menggunakan pendekatan konflik (conflict approach) atau pendekatan kesesuaian (concordist approach) tak seorang pun dapat membuktikan satu ayat pun dari kitab suci aL-Qur'ân untuk dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan modern". Lebih lanjut Zakir mengatakan; "ayat-ayat dalam Injîl, mungkin saja mengandung firman Tuhan, tapi juga mengandung perkataan nabi-nabi, dan juga perkataan ahli sejarah. Semuanya serba tidak jelas dan semrawut dan sama sekali tidak ilmiah. Injîl yang diyakini umat Kristiani sebagai kitab suci mungkin juga firman Tuhan. Namun bagian yang tidak ilmiah dapatkah ini dikaitkan dengan Tuhan? Wahyu Tuhan tidak mungkin mengandung kesalahan ilmiah!" Kewahyuan ayat-ayat aL-Qur'ân yang tidak mengandung kesalahan ilmiah juga telah dibuktikan oleh hasil penelitian ilmuwan Prancis Dr. Maurice Bucaille, yang dituangkan dalam bukunya yang terkenal "Bible, Qur'ân, dan Sains Modern".
Pada abad XIII–XIV, di dunia Islam muncul gerakan salafiyah, yaitu gerakan (pemikiran) yang menyeru umat Islam untuk kembali pada tradisi salaf (generasi sahabat) dan berpegang teguh pada aL-Qur'ân dan As-Sunnah. Gerakan salafiyah ini dikenal juga sebagai 'gerakan pembaruan/reformis Islam' dan 'gerakan pemurnian Islam' yang dipandang Barat sebagaimana 'gerakan yang sama' dengan yang terjadi dalam sejarah Kristen. Dari sinilah Barat kemudian melakukan pemerkosaan historis dengan memunculkan 'istilah selimut' 'fundamentalisme Islam' yang kini mengarah kepada gerakan-gerakan Islam yang bergerak di jalur politik dan berupaya menekankan pemberlakuan syariat Islam dalam sistem pemerintahan negara, menentang pemerintahan sekuler ala Barat dan rezim pro-Barat dan tentu saja menentang hegemoni Barat dalam kancah politik ekonomi internasional. Labelisasi fundamentalisme Islam kian marak dengan semakin bermunculannya berbagai gerakan Islam (harakah Islâmiyyah) di bumi-bumi Islam.
Gerakan-gerakan yang di cap Barat sebagai 'fundamentalis' antara lain; Ikhwân aL-Muslimin di Mesir, Jamâ'ah Islâmiyyah di Pakistan, serta gerakan lain yang diklaim sepaham dan sejalan dengan mereka seperti, Front Islamique du Salut (FIS, Aljazair), Front Islam Nasional (NIF, Sudan) HAMAS (Harakah aL-Muqawwamah aL-Islâmiyyah/Gerakan Perlawanan Islam) di Palestina dengan aksi intifadhahnya, Milisi Hisbullâh di Lebanon dan lain-lain. Gerakan-gerakan Islam tersebut merupakan "oposisi terdepan" terhadap hegemoni Barat setelah Barat menundukkan Blok Timur (komunis) dalam Perang Dingin. Merekalah sebenarnya yang merupakan wujud reaksi umat Islam sejati yang sadar akan ketertindasan dan keterbelakangannya, Merekalah yang memiliki kesadaran akan sejarah Islam yang panjang dengan hegemoni Barat selama ratusan tahun. Gerakan Islam merupakan reaksi atas kedhaliman Barat yang sepanjang sejarah memusuhi dan menindas Islam. Ia pun merupakan manifestasi kesadaran akan kepalsuan dan kepincangan paham-paham Barat seperti sekularisme, liberalisme, dan lain-lain dari idiologi kesejahteraan semu yang dewasa ini berhasil ditanam Barat pada otak-otak intelektual Muslim yang memiliki batin 'keruh' dan 'lemah jiwa?' dan tidak memiliki harga diri di hadapan setan (baca : Barat). Gerakan kebangkitan Islam adalah kesadaran umat Islam yang bukan 'basa-basi' dalam memeluk agama, mereka memiliki kebeningan batin dan kekuatan iman yang tidak rela Islam dinomorduakan, terbaratkan atau malah dibuang. Gerakan Islam hendak kembali pada ajaran Islam yang asli dan mengamalkan secara murni dan kâffah, bukan setengah-setengah atau blasteran antara haq dan bathil, apalagi menyingkirkan agama dari sistem politik negara. Wartawan kondang Mesir, Muhammad Haekal mendefinisikan fundamentalisme Islam sebagai; gerakan yang kembali pada ide-ide dan praktek-praktek dasar yang menjadi ciri Islam pada masa permulaan sejarahnya.
Lalu pantaskah mereka disebut 'fundamentalis' yang anarkhis, radikalis dan teroris jika seluruh gerakannya adalah reaksi kesadaran atas ketertindasan penjajahan Barat? Lalu apa 'gelar' yang pantas untuk disematkan bagi 'penjahat agama' yang hanya demi dalih kemajuan, mem-barter sistem dan nilai-nilai Islam dengan sistem kafir?
"Mereka
menukarkan ayat-ayat Allâh dengan harga yang sedikit, lalu mereka
menghalangi (manusia) dari jalan Allâh. Sesungguhnya amat buruklah apa
yang mereka kerjakan itu". (QS. At-Taubah : 9)
"Karena
itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku.
Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allâh,
maka mereka itu adalah orang-orang kafir". (QS. aL-Mâidah : 44)
IV. Terorisme
Term
terorisme, menurut Noam Chomsky, sebenarnya mulai digunakan sejak abad
XVIII terutama untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan pemerintah guna
menjamin kepatuhan rakyat. Namun sampai dewasa ini terorisme masih
menjadi istilah kabur dan bermakna ganda (ambiguous). Kalangan akademisi
dan sosial politik pun tidak ada kesepakatan tentang batasan-batasan
definitif istilah tersebut. Tidak satu pun devinisi terorisme yang
diterima secara integral, selain sebatas seperti yang disebutkan dalam
Ensiklopedi Oxford bahwa terorisme merupakan penggunaan kekerasan untuk
tujuan secara sengaja dan acak terhadap kelompok yang dilindungi. Ini
adalah devinisi fungsional dan tidak mengundang polemik, bersifat
ringkas namun universal, yang pelakunya bisa dari pihak manapun seperti
negara, agen negara, kelompok atau individu.
Sementara Ensiklopedi Americana menyebut bahwa terorisme adalah penggunaan atau ancaman kekerasan yang terbatas pada kerusakan fisik namun memberi dampak psikologis yang tinggi karena menciptakan ketakutan, kejutan dan trauma. Efektifitas aksi terorisme lebih bersifat politis dari pada militer dengan maksud mengomunikasikan sebuah 'pesan'.
Dalam perjalanannya, terjadi semacam relatifisme pemaknaan term terorisme yang terasa saling kontras dan kabur. Selain tidak ditemukan kesepakatan definitif, proses pemaknaan juga tergantung dan erat sekali dengan perspektif siapa yang menerjemahkannya. Berdasarkan kamus adikuasa (baca : Amerika dan sekutunya) terorisme yang mulanya memiliki arti sadisme atau tindak kekerasan akan berubah makna menjadi aksi protes dari negara-negara atau kelompok-kelompok kecil yang menuntut haknya. Pembunuhan seorang tentara Israel oleh pihak HAMAS misalnya, akan disebut aksi terorisme, akan tetapi giliran tentara Zionis Israel atau Salibis Amerika sengaja, membantai puluhan, ratusan, bahkan ribuan rakyat jelata, orang-orang tua dan lemah, wanita-wanita hamil dan menyusui, anak-anak kecil tanpa dosa; di Palestina, Afghanistan, Irak, Bosnia, Chechnya, Kosovo, Kashmir dan di basis-basis Islam lain, semua dikatakan bukan aksi terorisme melainkan tidak lebih dari human error, aksi pembalasan, aksi hukuman, serangan untuk mendahului sebelum diserang atau mengatasi aksi-aksi sparatis dan berbagai label lain yang memiliki konotasi legal.
Jadi, terorisme dapat diartikan sebagai alat atau media perjuangan kemerdekaan sekaligus bisa disebut sebagai alat untuk merusak kemanusiaan. Yang pasti, sebuah aksi yang kemudian disebut 'teror' dilontarkan oleh satu pihak ketika kepentingannya dihancurkan. Dari sini teror dan terorisme hadir sebagai simplikasi agar terdapat objek yang legal untuk diperangi demi menentang kejahatan kemanusiaan sekalipun devinisi konvensional lebih identik pada aksi-aksi kalangan revolusioner yang menentang pihak yang sedang berkuasa.
Belakangan, lekatnya tudingan terhadap umat Islam sebagai pelaku teror, lebih-lebih pasca meningkatnya aktifitas gerakan atau kelompok pejuang Islam dan beberapa aksi peledakan atau bom bunuh diri serta diasosiasikannya jihad dengan terorisme—adalah bagian dari propaganda Barat sebagai usaha demonologi Islam (penyetanan terhadap Islam) dengan objek gerakan-gerakan Islam 'radikal' yang terpaksa memakai bahasa kekerasan dalam perjuangannya. Propaganda ini tidak lebih dari 'istilah selimut' untuk 'mencuri' dukungan dunia dan pembenaran atau justifikasi pembasmian setiap harakah Islâmiyyah.
Memang semenjak Islam tidak memiliki institusi politik tunggal dengan runtuhnya khilâfah Turki Utsmâni, fungsi kekhilâfahan lebih banyak diperankan oleh jamaah-jamaah kecil yang tersebar di penjuru bumi. Oleh karena itu, tidak dipungkiri, bahwa aksi kekerasan kerap dilakukan oleh aktifis gerakan Islam seperti HAMAS, FIS, AIS, NIF, Hisbullâh, Ikhwân aL-Muslimin dan gerakan-gerakan Islam lain di berbagai belahan dunia. Namun harus ditegaskan di sini, bahwa aksi kekerasan tersebut merupakan sebuah upaya mempertahankan diri atau sebagai alternatif untuk melanjutkan perjuangan dari hak-hak mereka yang dirampas. Atau justeru sekedar ke-muak-an dan hukuman terhadap arogansi dan kedhaliman yang tengah berlangsung. Jika ini motifnya, maka seluruh aksi kekerasan (terorisme) yang ilegal itu —seperti kata Ali Maschan Moesa — mungkin saja absah, khususnya bila aksi-aksi tersebut sebagai reaksi dari ketertindasan dan penjajahan serta diarahkan pada orang-orang yang tidak dilindungi.
Di Indonesia sendiri, yang nota benenya merupakan negara damai, aksi-aksi peledakan dan bom bunuh diri relatif meningkat sejak tahun-tahun terakhir (2000-an). Peledakan hotel Kuningan, Marriott, Kedubes Australia, Bom Bali I dan II yang melibatkan aktifis-aktifis Islam, kendati disinyalir motifnya murni pembalasan terhadap arogansi Amerika dan sekutunya atas agresi militer di Timur Tengah dan dunia Islam, namun dalam konteks ke-Indonesia-an, untuk menyebut aksi-aksi itu sebagai refleksi jihad yang benar-benar sah perlu ditinjau ulang. Sebab, apabila kita memakai parameter Ismâ'îl aL-Kurdy, bahwa non-Muslim di Indonesia adalah berstatus dzimmah at-ta'mîn (di bawah lindungan UUD). Atau memakai parameter Ismâ'îl Az-Zain sekalipun, yang menyatakan status non-Muslim di Indonesia sebagai kafir harbi, namun dalam menyikapi atau memperlakukan non-Muslim di Indonesia, Ismâ'îl Az-Zain tetap menempuh prinsip maslahah, sehingga dalam kondisi Islam seperti saat ini, keberadaan non-Muslim di Indonesia juga tidak serta merta boleh diharu-biru.
Di samping itu, meski pembalasan atau hukuman masih bisa ditolerir dalam Islam, namun tindakan demikian tentunya tidak boleh dilakukan secara acak, melainkan harus melalui investigasi identitas dan keterlibatan individu-individu secara selektif, karena pembalasan, bagaimanapun hanya legal bila diarahkan terhadap orang-orang yang benar-benar bersalah.
Semarak 'terorisme' (silakan dibaca : jihad) di Indonesia dan di negara-negara Islam lain, sebenarnya lebih dipicu dari kesadaran dan pemahaman terhadap fenomena perang modern yang sedang berlangsung. Sangat terlambat jika hingga saat ini masih ada yang tidak menyadari dengan kecamuk perang universal yang lebih sengit di balik fatamorgana perdamaian dunia. Sejak robohnya mercusuar khilâfah Islâmiyyah di Turki dan pasca runtuhnya Komunisme, kendali dunia benar-benar dipegang oleh Zionis Salibis. Amerika dan sekutunya telah menjelma menjadi dajjal-dajjal gentayangan yang senantiasa memporak-porandakan Islam dan umatnya. Medan perang abad ini begitu kompleks yang tidak lagi mengancam fisik atau materi, tapi juga idiologi. Perang yang dilancarkan Zionis Salibis adalah perang universal yang tidak lagi mengenal rambu-rambu moral dan batas-batas teritorial. Maka masihkah kita mempersoalkan prinsip jihad ofensif-defensif jika beberapa umat Islam yang sadar, sedikit marah dan berontak memberikan reaksi atas kenyataan ini. Atau, patutkah reaksi itu disebut sebagai gerakan ofensif (hujûmi) jika nyata-nyata didasari oleh kesadaran ketertindasan dan kedhaliman Zionis Salibis selama ini? Dan adilkah tudingan 'teroris' dialamatkan kepada para pejuang yang menggugat ketidakadilan, kekejaman dan kebiadaban pembantaian internasional?
Dalam literatur klasik kita temukan, bahwa jihad merupakan kewajiban tahunan bagi umat Islam, minimal setahun sekali dalam keadaan Islam kuat, yang bisa tunai/gugur dengan jalan mengadakan invasi atau memperkuat benteng pertahanan keamanan (saddu ats-tsughûr). Menghadapi perang abad ini, memang tidak cukup hanya dengan melancarkan serangan fisik kepada pihak musuh atau malah tidak efektif sama sekali. Dalam perang modern ini, di mana benteng pertahanan tidak lagi mampu menghadang arus agresi musuh yang menghujam ke jantung idiologi, maka saatnya saddu ats-tsughûr harus diinterpretasikan dengan membentengi diri dan generasi dari agresi yang meruntuhkan moral dan budaya. Namun, sejak Islam tidak memiliki institusi politik tunggal dengan tumbangnya kekhalifahan Utsmâni 1924, adalah fakta jika sejak saat itu moral dan budaya Islam bukan menampakkan kekokohannya. Malah sebaliknya, Islam dengan segala panji ajaran dan simbol-simbolnya kian jatuh ke dasar degradasi dan kekalahan, sementara dalam waktu yang bersamaan, agresor-agresor Zionis Salibis dengan segenap siasat seranganya kian telak menghujam dunia Islam. Sampai kapan Islam tetap diam terpuruk dan membiarkan musuh kian membabi buta? Islam memang agama yang cinta damai, menekankan pada pendekatan dakwah serta anti kekerasan (terorisme), namun jika keadaan menuntut lain, apa boleh buat?!.
"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu". (QS. An-Nahl : 126)
Kalaupun
toh Islam harus berperang, maka perang dalam Islam dilakukan dengan
semangat kemanusiaan, teratur dan indah sekali. Militer lawan militer,
tentara versus tentara. Islam melarang pembantaian terhadap sipil dan
non-Muslim yang tidak memusuhi, karena Islam melarang melampaui batas.
Mungkin etika perang ini bisa dipatuhi bila saja musuh tidak melampaui
batas manusiawi. Namun dunia tidak bisa dibohongi. Dunia telah melihat
dengan mata telanjang derita umat Islam akibat kekejaman Zionis Salibis
yang melampaui batas kebiadaban. Hati nurani tak sanggup lagi menghitung
berapa juta jiwa umat Muslim yang menjadi korban dari episode
pembantaian tangan-tangan Zionis Salibis. Di sisi lain, segenap
kebohongan dan distorsi fakta, racun propaganda Zionis Salibis telah
sukses menanam paradigma egois dan apatis pada otak dan jiwa sebagian
umat Islam dan manusia, serta sejumlah program kemunkaran yang tengah
digalakkan. Maka, adalah wajar jika sebagian umat Islam menggugat
keadilan, keseimbangan dan pembebasan, karena Islam memang agama
keadilan, keseimbangan dan pembebasan.
"Barang siapa melampaui batas terhadapmu, maka balaslah (pelampauan batas itu) seimbang dengan pelampauan batasnya kepadamu". (QS. aL-Baqarah : 194)
Tampaknya
dalam eskalasi kemarahan skala inilah berontak kemarahan
gerakan-gerakan —yang mengambil alih fungsi kekhilâfahan— itu meledak
dalam bentuk aksi yang kemudian dilabeli sebagai 'teroris'. Dalam
khazanah Islam kita dapati hukum jihad sebagai kewajiban kolektif
(fardlu kifâyah). Akan tetapi ketika serangan lawan sudah tidak mengenal
batas geografis dan pada medan yang kompleks serta universal, maka
hukum jihad akan menjadi kewajiban individual (fardlu ain). Dalam
tataran inilah aturan Imam (baca : pemerintah) yang terkesan mengikat
bisa sedikit dilonggarkan. Kewajiban membentengi diri dan generasi dari
agresi idiologi, moral dan budaya Zionis Salibis menjadi tugas setiap
Muslim yang harus diperkokoh, sehingga nilai-nilai Islam dan moralitas
(akhlâq al-karîmah) terlindung dalam kepribadian umat Islam.
Demikian juga penderitaan sebagian umat Islam yang menjadi korban kebiadaban orang kafir yang sedang berlangsung saat ini yang dipentaskan oleh Israel dan Amerika, kiranya dapat membakar ghîrah keislaman kita. Kita tidak bisa terima ungkapan tolol ini; "mereka yang minum di sana, kita di sini tak usah mabuk". Maksud ungkapan seperti ini hendak menyampaikan bahwa perang fisik yang terjadi di seberang sana, Palestina, Afghanistan, Irak, Kashmir dan lain-lain, kita di sini tak usah ikut-ikutan. Penderitaan umat Islam di sana kiranya akan merekatkan tali ukhuwwah Islâmiyyah kita sebagai pengejawentahan: "sesama muslim ibarat satu bangunan, satu jasad". Sehingga tetes darah dan keringat mujahidin di sana bisa menyegarkan dan menyatukan semangat jihad umat Islam dunia.
Manifestasi
konkret dari semangat jihad, tentunya bukan hanya dengan jalan turut
terjun langsung ke zona perang semata, namun sesuai dengan prioritas dan
kemudahan yang Allâh anugerahkan. Dengan demikian realisasi jihad bisa
diarahkan ke segala penjuru lini dan dimensi kehidupan; politik, sosial,
ekonomi, pendidikan, dakwah, pemurnian tauhid, pembinaan akhlaq dan
lain-lain untuk mematahkan setiap siasat, strategi dan agresi perang
modern. Dengan semangat perjuangan inilah ruh dan panji-panji Islam akan
tertanam dan berkibar di muka bumi. Insyâ Allâh.
"Jihad akan terus berlangsung hingga hari kiamat".
"Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allâh." (QS. aL-Anfâl : 39)
Komentar
Posting Komentar