Langsung ke konten utama

Perangkat Interpretasi Dalam Islam

Pengertian Tafsir dan Takwil

Tafsir secara harfiah berarti penjelasan atau komentar. Dalam QS. al-Furqan: 33 dinyatakan: ‘‘Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil. Melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar yang paling baik penjelasannya (tafsir).’’ 

Dikalangan ulama, definisi tafsir diperdebatkan. Dalam catatan sejarah, ada ulama yang menyatakan tafsir bukanlah disiplin ilmu pengetahuan yang membutuhkan definisi. Ringkas kata, tafsir hanya sebagai medium untuk menguraikan kehendak teks-teks al-Qur’an serta pemahamannya.
Sementara ulama lain menganggap tafsir merupakan disiplin ilmu yang membahas obyeknya secara terperinci. Tafsir memiliki kaidah-kaidah universal. Tafsir diartikan sebagai tradisi pemikiran yang dibangun di atas lingkaran kaidah-kaidah. Menurut pandangan ini, ilmu tafsir membutuhkan pengertian definitif.  Di bawah ini akan kami sajikan beberapa definisi tafsir:

Menurut Abu Hayan, tafsir ialah ilmu yang menerangkan metode pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun, makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun, serta hal-hal lain yang melengkapinya. Abu Hayan menjelaskan secara rinci unsur-unsur definisi yang agak jlimet tersebut sebagaimana berikut ini:

Kata-kata ‘‘ilmu’’ adalah kata jenis yang meliputi segala macam ilmu. Adapun kalimat ‘‘yang menerangkan metode pengucapan lafal-lafal al-Qur’an’’, mengacu pada ilmu baca. Kata-kata ‘‘petunjuk-petunjuknya’’ adalah pengertian-pengertian yang ditunjukkan oleh lafal-lafal itu. Ini mengacu pada ilmu bahasa yang diperlukan dalam ilmu tafsir. Kalimat ‘‘hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun’’, meliputi ilmu sharaf, ilmu i’râb, ilmu bayân dan ilmu badî’. Kalimat ‘‘makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun’’, meliputi makna hakiki (makna harfiah) dan majaz (metaforis), dan kata-kata ‘‘hal-hal yang melengkapinya’’, mencakup pengetahuan tentang nâsikh-mansûkh, konteks yang melatari turunnya al-Qur’an (sabab al-nuzûl), informasi kisah-kisah yang dapat menjelaskan sesuatu yang kurang jelas dalam al-Qur’an, dan lain sebagainya.

Menurut al-Zarkasyi, tafsir adalah disiplin ilmu untuk memahami dan menjelaskan makna (meaning) pesan-pesan Allah swt. yang diturunkan kepada Muhammad saw., serta menerangkan hukum dan hikmahnya.
Pandangan ketiga meletakkan tafsir sebagai pisau analisis yang melacak kronologi turunnya ayat, susunan kalimatnya, kisah-kisahnya, termasuk turun di kota Mekah atau Madinah, tentang janji dan ancaman, larangan dan perintah, serta keteladanannya. 
Dalam Ensiklopedi Fiqh (Mausû’ah al-Fiqhiyyah), tafsir didefinisi-kan sebagai ilmu untuk menjelaskan makna teks-teks al-Qur’an, bentuk kata-katanya dan kronologi turunnya, dengan bahasa yang mampu menunjukkan secara konkret. 
Meskipun para ulama mendefinisikan tafsir secara beragam, namun secara garis besar terdapat benang merah jika dilihat dari obyeknya, yakni disiplin ilmu yang membahas tentang makna-makna yang tersembunyi di balik teks.

Sedangkan, takwil secara etimologis berasal dari kata ‘‘awwala’’, yang berarti mengembalikan makna yang sebenarnya. Sedangkan secara terminologis, ulama salaf memberikan dua pengertian:

1) Penjelasan kalam Allah swt., baik sesuai dengan makna lahir maupun batin. Pengertian ini merupakan pandangan ulama yang menyepadankan antara tafsir dan takwil. Sehingga, keduanya berada dalam satu obyek masalah. Takwil dalam pengertian ini populer pada periode ulama klasik (salaf), seperti yang terlihat dalam komentar Mujahid; ‘‘Sesungguhnya ulama itu tahu mengenai takwil (tafsir)-nya ayat al-Qur’an’’. Ibn Jarir ketika menguraikan makna ayat terbiasa mengatakan: ‘‘Demikian takwil (penafsiran) firman Allah itu’’. Alhasil, jika ahli takwil berbeda pendapat mengenai makna ayat al-Qur’an, semuanya menyepadankan kata takwil sama dengan tafsir. Berangkat  dari ini, tafsir dan takwil dapat diterjemahkan sebagai exegesis, commentary maupun interpretasi alegoris. 

2) Menurut ulama yang membedakan antara tafsir (exegesis, commentary) dan takwil (interpretasi alegoris), takwil merupakan metode yang bertugas menyibak makna teks  yang tersembunyi dan membutuhkan perenungan kontemplatif serta usaha intensif atas dasar indikasi-indikasi yang menunjukkan makna. Pendeknya, tafsir menjelaskan makna luar (zhâhir) tanpa harus melalui proses sulit.  Adapun takwil menjelaskan ‘‘makna yang tersembunyi’’ dengan melalui usaha sulit.
Contohnya firman Allah swt.:

يخُْرِجُ الحَيَّ مِنَ المَيِّتِ

Jika firman itu diartikan ‘‘proses burung keluar dari telur’’, pemaknaan semacam ini disebut dengan tafsir. Tapi ketika diartikan ‘‘memisahkan orang mukmin dari golongan kafir’’ atau ‘‘memisahkan pemikir dari orang bodoh’’, hal itu dinamakan takwil. Dari sini dapat dimengerti, bahwa secara teoritik dan praktik terdapat perbedaan orientasi signifikan antara tafsir dan takwil.

Sisi perbedaannya, menurut al-Maturidi, tafsir secara pasti dapat menyingkap makna sesuai dengan kehendak Tuhan, sementara takwil bersifat spekulatif karena cenderung mengambil salah satu makna yang dianggap lebih unggul, dan tidak ada kepastian makna teks. 

Takwil dalam pengertian ini merupakan definisi yang populer dalam tradisi ulama kontemporer (muta’akhirîn). Muhammad Husayn al-Dzahabi menegaskan, definisi ini diambil dan diaplikasikan oleh mayoritas pemikir kontemporer dalam segala bidang, baik yudisial Islam (fiqh), teologi, Hadîts, maupun ajaran esoteris (sufi). Semua disiplin tersebut menerapkan arti takwil dengan pengertian terakhir.

Adapun tafsir isyâri (tafsir sufi) yang secara metodologis mendasar-kan diri pada pengalaman batin mufassir atau pada teori tasawuf, dan tafsir rasional (ra’yu) yang mendasarkan diri pada proses penalaran, pada dasarnya merupakan salah satu representasi praktik takwil. Hanya saja dalam tradisi literatur Islam, istilah takwil dalam disiplin kajian al-Qur’an jarang dipakai dan terlanjur dibebani dengan makna negatif. Itulah sebabnya masyarakat Muslim lebih akrab menyebut kitab tafsir al-Qur’an daripada kitab takwil al-Qur’an. 

Sejarah Perkembangan Tafsir

Saat al-Qur’an pertama kali diturunkan, Rasulullah saw. berfungsi sebagai mubayyin atau pemberi kejelasan terhadap ayat-ayat yang diturunkan kepadanya. Melalui beliaulah para sahabat dapat mengetahui arti dan maksud kandungan al-Qur’an. Nabi sendiri dikenal responsif terhadap segala permasalahan yang terkait-kelindang dengan ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan atau penafsiran, sehingga banyak di antara pertanyaan para sahabat yang dijawab oleh Nabi secara terperinci, walaupun tak jarang ada pula yang hanya dijelaskan secara global. 

Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, para sahabat dituntut melakukan ijtihad sebagai upaya mengetahui kandungan makna al-Qur’an yang belum pernah dijelaskan Nabi saw. di masa hidupnya. Kalangan sahabat yang paling berwenang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an itu adalah mereka yang berkompeten dalam bidang penafsiran, yakni para sahabat yang telah mendapat penjelasan langsung dari Nabi selama durasi masa pewahyuan. Mereka memperbincangkan al-Qur’an sebatas tentang sabab nuzûl-nya dan makna-makna ayat yang terdengar dari Rasul, baik secara oral maupun tranferensial. Ketika mereka tidak menemukan penjelasan dalam Kitabullah atau keterangan Nabi, cara yang ditempuh adalah dengan merujuk pada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab.  Umar bin Khathab pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah ‘ya’khudzukum ‘alâ al-takhawwuf’ kepada penyair Arab dari kabilah Huzayl. Penyair itu menjawab artinya adalah ‘berkurang’. Seketika itu Umar merasa puas dan menganjurkan mempelajari syair-syair masa jahiliyah dalam rangka memahami al-Qur’an. 

Imam Suyuthi, mencatat sepuluh orang sahabat yang dinilai mempunyai kompetensi menginterpretasikan al-Qur’an. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibn Mas‘ud, Abdullah  bin Abbas, Ubay bin Ka‘ab, Zayd bin Tsabit, Abu Musa al-Asy‘ari, dan Abdullah  bin Zubayr.  Di antara kesepuluh sahabat di atas, Abdullah  bin Abbas  dikenal sebagai sahabat yang paling layak dikategorikan sebagai mufassir ulung. Bahkan Nabi Muhammad saw. menjulukinya sebagai Tarjuman al-Qur’an (juru bicara al-Qur’an), sebuah julukan yang tentu bukan sekedar gelar kosong tanpa makna.  Masing-masing sahabat, jika disusun sesuai tingkatan-tingkatannya, Abdullah  bin Abbas-lah orang yang pertama, kemudian Abdullah  bin Mas‘ud, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka‘ab dan seterusnya.  

Memasuki periode tâbi‘în, di berbagai kawasan bermunculan para generasi penafsir (thabaqât al-mufassirîn) yang tak lain merupakan murid-murid para sahabat di atas. Para sahabat yang memang bertempat tinggal di berbagai kota itu mempunyai murid-murid di kawasan masing-masing. Dari murid-murid sahabat inilah ilmu tafsir berkembang luas ke berbagai penjuru. Berdasarkan informasi historis, di Makkah terdapat thabaqât al-mufassirîn seperti Sa‘id bin Jabir, Mujahid bin Jabr, Atha’ bin Rabbah, Ikrimah, dan Thawus bin Kaysan. Mereka adalah murid-murid sahabat Ibn Abbas. Sedangkan di Madinah terdapat nama Muhammad bin Ka’ab dan Zayd bin Aslam yang merupakan murid Ubay bin Ka’ab, serta Anas bin Malik yang merupakan salah satu tokoh terkemuka di kota Madinah. Sementara di Irak terdapat nama Hasan al-Bashri dan Amir al-Sya‘bi, yang berguru kepada sahabat Abdullah  bin Mas‘ud.

Dari tâbi‘în ini kemudian lahirlah pakar-pakar dari generasi tabi’ al-tabi’in. Di antara tokoh terkemukanya ialah Yazid bin Harun al-Sulami (w.117 H.), Syu‘ban bin al-Hajjaj (w. 160 H.), Waqi‘ bin Jarrah (w. 197 H.), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H.), Rauh bin Ubadah al-Bashri (w. 205 H.), Abd al-Razaq bin Hamam (w. 211 H.), Adam bin Abu Iyas (w. 220 H.), dan Abd bin Humayd (w. 249 H.). 

Metode-metode Penafsiran

Metode penafsiran yang dimaksudkan di sini adalah perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam proses penafsiran. Secara metodologis, setidaknya terdapat dua arah penting yang dapat dipetakan dalam tradisi pakar tafsir abad ke-9 H hingga abad ke-13 H., yaitu tafsir riwayat dan pemikiran (tafsîr bi al-ra’yu). Dua model metodologi ini akan dipaparkan di bawah ini sekaligus diikuti proses perkembangannya.

a. Tafsir Riwayat/Ma’tsûr

Dalam studi al-Qur’an, riwayat merupakan sumber penting dalam membongkar makna teks. Sebab, Nabi Muhammad saw. diyakini sebagai penafsir pertama al-Qur’an. Dalam konteks seperti ini muncul tafsir bî al-ma’tsûr. Model metode tafsir ini adalah menjelaskan suatu ayat sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw. Karenanya, dalam memahami kandungan ayat al-Qur’an lebih menitikberatkan pada pemaduan ayat al-Qur’an dan riwayat Hadîts. Tak heran bila tafsir dengan metode ini penuh dengan riwayat Hadîts dan jarang sekali seorang mufassir menyisipkan penalarannya dalam menafsirkan kandungan al-Qur’an. Dengan kata lain, metode tafsir ini disebut dengan metode komparatif-korelatif antara al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau antara al-Qur’an dengan Hadîts.

Predikat paling baik tafsir riwayat ini adalah penggunaan ayat al-Qur’an untuk menafsirkan ayat al-Qur’an lainnya, atau yang biasa disebut “al-Qur’an yufassiruhu ba'dhuhu ba’dhan’’ (sebagian ayat al-Qur’an menafsirkan sebagian ayat yang lain). Pada masa sahabat, metode komparatif-korelatif ini hanya terbatas antara ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, atau al-Qur’an dengan Hadîts. Baru pada masa tabi’in, proses penafsiran telah melibatkan ijtihad sahabat. Walaupun demikian, penafsiran al-Qur’an yang berdasarkan ijtihad dari masa Sahabat hingga masa tâbi‘în masih sangat terbatas, di samping masih terikat dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta makna-makna istilah. 

Metode tafsir di atas terus bertahan sampai munculnya Muhammad bin Jabir al-Thabari (w. 310 H.), seorang tâbi‘ al-tabi‘în penulis kitab Jâmi‘ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’an. Kitab karangan al-Thabari ini dianggap sebagai kitab tafsir bî al-ma’tsûr tertua dan mempunyai nilai tinggi di mata mufassir-mufassir periode berikutnya. Banyak mufassir pasca al-Thabari yang menjadikan kitab Jâmi‘ al-Bayân sebagai referensi utama dalam menulis kitab tafsir mereka. Diantara mufassir yang mengikui metode penulisan al-Thabari adalah Ibn Katsir dalam Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm, dan al-Suyuthi dengan karyanya, al-Durr al-Manshûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr. Selain tiga kitab tersebut, kitab-kitab tafsir bî al-ma’tsûr yang muncul kemudian antara lain adalah Bahr al-‘Ulûm karya Nashr bin Muhammad al-Samarqandi dan Ma‘âlim al-Tanzîl karya Muhammad al-Husayn al-Baghawi.

b. Metode Tafsir Berbasis Logika

Di muka telah dipaparkan, metode tafsir riwayat berlangsung sejak zaman sahabat hingga periode tâbi‘ al-tâbi‘în dan mulai pudar pada periode al-Thabari. Pada pasca-Thabari, khususnya era keemasan peradaban Islam dan semakin majunya ilmu pengetahuan, muncullah corak penafsiran yang memberikan porsi cukup besar kepada peranan akal dalam menafsirkan  ayat-ayat al-Qur’an, namun tetap memakai landasan ayat al-Qur’an dan Hadîts. Corak penafsiran semacam inilah yang dikenal dengan istilah tafsir bi al-ra’yi;  penafsiran dengan rasio.

Penggunaan nalar untuk interpretasi kalamullah swt. tersebut akhirnya berimbas pada semakin banyaknya corak penafsiran dengan beragam pendekatan. Ada yang menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan hukum (fiqh), filsafat, teologi (tauhîd), hingga ilmu pengetahuan. Para mufassir periode ini sering mencampuraduk dalil-dalil berupa Hadîts, atsâr sahabat, dan hikayah-hikayah klasik dengan pendapat-pendapat pribadinya.

Pendekatan rasional yang nyaris berlebihan ini mengakibatkan timbulnya satu-dua penafsiran yang telah keluar dari makna kata dalam al-Qur’an. Fenomena semacam ini didorong semakin maraknya diskursus filsafat, ilmu pengetahuan, kemajuan peradaban, kompleksitas permasalahan serta dorongan analitik pribadi mufassir itu sendiri.  Di samping itu, karena semakin banyaknya Hadîts-hadîts palsu yang beredar, mendorong para mufassir untuk menguak kandungan al-Qur’an lewat penalaran akal atau ijtihad.  Banyaknya Hadîts palsu tentu berpengaruh besar pada corak penafsiran al-Qur’an, karena Hadîts adalah landasan paling vital dalam menginterpretasikan ayat-ayat al-Qur’an.
Kitab-kitab tafsir berbasis rasio atau logika yang ditulis pada abad itu cukup banyak dan tersebar di berbagai kawasan. Di antara kitab-kitab tersebut adalah al-Bahr al-Muhîth karya Muhammad al-Andalusy, Gharâib al-Qur’an wa Raghâib al-Furqân oleh Nidzamuddin al-Naysaburi, dan Rûh al-Ma‘âni fî Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm wa al-Sab‘i al-Matsâni karangan al-Alusi. Sementara dari kalangan Mu’tazilah yang secara ekstrem mengedepankan rasio, lahir kitab-kitab tafsir bi al-ra'yi, seperti kitab Tanzîh al-Qur’an ‘an al-Masâ’in yang ditulis Qadhi Abd al-Jabbar, dan ‘Amali al-Syarîf al-Murtadhâ karya Abu al-Qasim Ali al-Thahir.

Pemetaan metode tafsir di muka dilakukan sendiri oleh pakar-pakar tafsir abad ke-9-13 H. Pemetaan ini berbeda dengan yang ditawarkan Farmawi yang dianggap mampu memberikan perspektif baru. Farmawi dalam bukunya, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mawdhû‘i, memetakan metode penafsiran al-Qur’an menjadi empat: muqâran,  ijmâly, tahîliy, dan mawdhû’i.

Pertama, Metode Muqâran, yakni menginterpretasikan ayat dengan metode komparasi (perbandingan). Komparasi ini dilakukan dalam tiga hal: Komparasi antar ayat serta Hadîts, dan komparasi penafsiran antar mufassir. Tafsir Durrah al-Tanzîl wa Ghurrah al-Ta‘wîl, karya al-Iskafi merupakan contoh penafsiran dengan menggunakan metode komparasi antar-ayat dan Hadîts, tafsir al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’an, karya al-Qurthubi, dicontohkan sebagai metode penafsiran komparasi antar-mufassir. 

Kedua, Metode Ijmâly, yakni menginterpretasikan ayat al-Qur’an dengan metode mengemukakan makna ayat secara global. Sistematikanya mengikuti urutan surat al-Qur’an, sehingga makna-maknanya saling berhubu-ngan. Teknik penyajiannya menggunakan ungkapan yang diambil dari al-Qur’an sendiri. Dengan menambahkan kata atau kalimat penghubung, memudahkan para pembaca dalam memahaminya. Dalam metode ijmâly ini, mufassir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan konteks historis (asbâb al-nuzûl) dengan meneliti Hadîts yang mempunyai korelasi dengannya, sejarah dan atsâr dari salaf al-shâlih. Representasi dari metode ijmâly ini adalah Tafsîr al-Qur’an al-Karîm karya Muhammad Farid Wajdi.

Ketiga, Metode Tahîliy, yakni metode yang menjelaskan makna-makna yang dikandung ayat al-Qur'an. Umumnya, para mufassir memulai kitab tafsirnya dari surat al-Fâtihah sampai surat al-Nâs. Mufassir menguraikan tafsirnya menurut urutan surat dalam al-Qur’an lengkap dengan tinjauan leksikal masing-masing kalimat. Adapun penjelasan makna-makna tersebut, adakalanya dengan makna kata atau penjelasan secara global, susunan kalimatnya, asbâb al-nuzûl-nya serta keterangan tranferensial dari Nabi saw., sahabat maupun tâbi’înTerdapat tujuh macam kategori dalam metode tahîliy ini, yakni:

1) Tafsîr bi al-ma‘tsûr, yakni tafsir yang bersumber pada ayat al-Qur’an sendiri, atau penjelasan yang ditransfer dari Nabi Muhammad saw., sahabat atau tâbi’înKitab-kitab tafsir yang mewakili metode ini di antaranya adalah Jâmi‘ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'an karya al-Thabari (w. 310 H);

2) Tafsîr bi al-ra’yi, yaitu tafsir yang menggunakan penalaran ijtihadi. Contohnya Mafâtih al-Ghayb karya Fakhr al-Razi (543-606 H); 

3) Tafsîr al-shûfi, yaitu tafsir yang memakai analisa sufistik atau menakwilkan ayat al-Qur’an dengan berdasarkan isyarat yang tampak bagi orang sufi dalam derajat sulûk-nya. Representasi dari metode tafsir ini adalah Haqâ’iq al-Qur’an karya al-Sulâmi (w. 412 H), al-Kasyf wa al-Bayân karya Ahmad bin Ibrahim al-Naysaburi, Tafsîr Ibn al-‘Arabi karya Ibn al-‘Arabi dan Rûh al-Ma‘âni fî Tafsîr al-Qur'an al-‘Azhîm wa al-Sab‘i al-Matsâni karya Sihabuddin Mahmud al-alusi; 

4) Tafsîr al-adabi al-ijtimâ‘i, yakni metode pendekatan kebahasaan dan sosial budaya. Metode ini berusaha meneliti redaksi ayat secara cermat, kemudian menghubungkannya dengan kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Contohnya Tafsîr al-Manâr karya Rasyid Ridha;

5) Tafsîr al-fiqhi, yaitu tafsir yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum. Contohnya Tafsîr al-Ahkâm al-Qur'an karya Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Razi al-Jashash (w. 370 H/952 M), Ahkâm al-Qur'an karya Ali bin Muhammad al-Thabari (w. 504 H), al-Iklil fî Istinbâth al-Tanzîl karya al-Suyuthi (849-911 H), al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur'an oleh Muhammad bin Ahmad bin Farhi al-Qurthubi, dan lainnya;

6) Tafsîr al-‘ilmi, yaitu tafsir yang menggali kandungan al-Qur'an berdasarkan teori ilmu pengetahuan. Contohnya, al-Qur'an wa al-‘Ilm al-Hadîts karya Abd al-Razaq Nawfal;

7) Tafsîr al-falsafi, yaitu tafsir yang menggunakan analisis disiplin ilmu-ilmu filsafat. Contohnya, Fushûsh al-Hikam karya al-Farabi, Mafâtih al-Ghayb karya Fakhruddin al-Razi. Kemunculan tafsir falsafi ini sebagai akibat maraknya penterjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Tepatnya terjadi pada masa Dinasti Abasiyyah, karena pada waktu itu yang berpengaruh di pusat pemerintahan adalah orang-orang Persia, seperti keluarga Baramikah yang telah lama berkecimpung dalam kebudayaan Yunani. Pada masa pemerintahan al-Ma’mun, buku-buku ilmu pengetahuan Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Al-Ma’mun mengirim utusan ke Kerajaan Romawi di Eropa untuk mencari manuskrip yang kemudian dibawa ke Baghdad untuk diterjemahkan ke bahasa Arab. Dalam kegiatan penterjemahan ini, sebagian besar karangan Plato, Aristoteles, dan Galen telah berhasil diterjemahkan dan mampu menarik perhatian kaum Muslimin untuk mempelajarinya. Sekte yang paling konsen pada filsafat Yunani itu adalah kaum Muktazilah. Abu Huzayl al-Allaf, Ibrahim al-Nazzam, Bisyri al-Mu’tamir, al-Juba’i dan lainnya, banyak mendalami buku-buku filsafat Yunani tersebut, yang mempengaruhi wacana teologinya yang bercorak liberal. Pada perkembangan selanjutnya, penterjemahan ini telah menghasilkan cendekiawan-cendekiawan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan filsuf-filsuf kenamaan, seperti al-Kindi (801-866 M.), Imam al-Razi (864-926 M.), al-Farabi (870-950 M.), Ibn Sina (980-1037 M.), Ibn Maskawayh (w. 1030 M.), al-Ghazali (1058-1111 M.), Ibn Bajjah (w. 1138), Ibn Tufayl (1110-1185 M.), dan Ibn Rusydi (1126-1198 M.). Para filsuf Islam berpendapat bahwa filsafat juga memasuki lapangan ilmu keislaman, ilmu kedokteran, biologi, kimia, musik, falak, tasawuf, ilmu kalam, dan ushul fiqh. Dalam pembahasan ilmu kalam, tasawuf dan ushul fiqh banyak terdapat uraian yang logis dan sistematis serta mengandung pikiran filosofis. Diantara persoalan yang terpenting yang dibahas oleh para filsuf Islam adalah soal akal dan wahyu, soal terciptanya alam dari yang Maha satu, soal roh, dan soal kelanjutan hidup sesudah roh terlepas dari badan. 

Keempat, Metode Mawdhû’i, yaitu metodologi penafsiran yang memfokuskan pembahasannya pada masalah-masalah tertentu (tematik). Sistematikanya, mufassir dalam menulis kitab tidak memulai dari surat al-Fâtihah sampai surat ke-114 al-Qur’an, melainkan memilih satu tema untuk kemudian menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan tema tersebut, baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema yang dimaksud. Misalnya, soal makna Islam dalam al-Qur’an. Mufassir menghimpun semua ayat yang berisikan kata Islam dan segala derivasinya, lalu ditafsirkan. Contohnya kitab al-Mar’ah fi al-Qur'an karya Abbas Mahmud al-Aqad.  



Referensi:
  1. Dr Muhammad Husayn al-Dzahabi, Tafsîr wa al-Mufassirûn, cet. II, 1976, vol. I, h.
  2. Wizârah al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah,   Wizârah al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, vol. I, h. 44.
  3. Muhammad Abd al-Azhim al-Zarqany, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1996, vol. II, h.
  4. Abi Ishaq Ibrahim al-Lakhmi al-Farnathi, al-Syathibi, al-Muwâfaqât Ushûl al-Ahkâm,       Dâr al-Rasyâd al-Hâditsah,  vol. I, h. 25-26
  5. Mana’ Khalil al-Qathan, Mabâhis fî ‘Ulûm al-Qur’an, (pent.) Drs. Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Jakarta: Litera Antar Nusa kerja sama dengan Pustaka Islamiyyah, cet. IV, 1998 M., h. 47
  6. Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, cet, XX, h. 72.
  7. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, cet. IV,1997, vol. V, h. 30-31.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JIHAD DALAM PERSPEKTIF PESANTREN

Konsepsi Humanis Gerakan Pembebasan Melalui utusan-Nya, Muhammad saw. Allâh menurunkan Islam sebagai syariat bagi seluruh umat yang berakal. Sebuah risalah yang paripurna menjadi pedoman universal mencapai prospek harmonis kehidupan duniawi-ukhrowi (sa'âdah ad-dâroin). Islam memandang dunia bukanlah sebagai obsesi kebahagiaan terakhir, tetapi merupakan awal episode menuju kehidupan panjang tanpa batas akhir. Penciptaan alam semesta adalah karunia Allâh yang disediakan sebagai fasilitas kehidupan manusia di dunia. Diperlukan lima elemen pokok (dlorûri) untuk mengawal keberlangsungan kehidupan duniawi yang ideal, yakni agama, nyawa, akal, keturunan dan harta. Islam hadir untuk melindungi lima kebutuhan elementer tersebut, maka Islam mewajibkan jihad guna melindungi agama sekalipun nyawa sebagai tawarannya. Nyawa harus dilindungi meski harus mengorbankan akal. Demikian juga keturunan harus dilindungi meski mempertaruhkan harta.  Legislasi jihad dalam Islam buk...

Do'a Dalam Bahasa Jawa

Do'a adalah senjata para mukmin, do'a juga ibadah bagi hamba sebagai manifestasi kedudukan abdullah (hamba Allah). Pada masa penjajahan dan awal kemerdekaan Indonesia, Banyak para Alim Ulama’ dan Kyai yang mengajarkan do’a dengan redaksi bahasa Jawa. Tentang do'a-do'a berbahasa Jawa, al-Maghfurlah Romo KH. Ahmad Idris Marzuki, Lirboyo, pernah dawuh: “Koe ki nek nompo dungo-dungo Jowo seko kiai sing mantep. Kae kiai-kiai ora ngarang dewe. Kiai-kiai kae nompo dungo-dungo Jowo seko wali-wali jaman mbiyen. Wali ora ngarang dewe kok. Wali nompo ijazah dungo Jowo seko Nabi Khidlir. Nabi Khidlir yen ketemu wali Jowo ngijazaji dungo nganggo boso Jowo. Ketemu wali Meduro nganggo boso Meduro.” (Kamu jika mendapat do'a-do'a Jawa dari kiai yang mantap, jangan ragu. Kiai-kiai itu tidak mengarang sendiri. Mereka mendapat do'a Jawa dari wali-wali jaman dahulu. Wali itu mendapat ijazah do'a dari Nabi Khidlir. Nabi Khidlir jika bertemu wali Jawa memberi ijazah do'...

SUFISME (Tarekat / Thoriqoh)

Manhaj Esoterisme Mistikus dan Ketegangan Dimensional  Iman, Islam dan ihsan adalah trilogi ad-dîn yang membentuk tiga dimensi keagamaan meliputi syarî'ah sebagai realitas hukum, tharîqah sebagai jembatan menuju haqîqah yang merupakan kebenaran esensial. Ketiganya adalah sisi tak terpisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa Muhammad saw. yang menghadirkan kesatuan aspek eksoterisme dan esoterisme. Islam mengandung kedua aspek tersebut sekaligus. Wilayah eksoterisme meliputi persepsi moral dan hukum formal-institusional, sedangkan esoterisme meliputi hikmah transendental dan kesatuan mistis yang keduanya adalah syariat atau hukum agama.  Meskipun dikotomis antara eksoterisme dengan esoterisme telah diungkapkan oleh aL-Qur'ân sendiri melalui ketokohan Musa dan Hidlir, di mana Musa dikisahkan sebagai tokoh eksoterisme yang tidak bisa memahami makna di balik sikap dan perilaku Hidlir yang digambarkan sebagai tokoh yang memiliki hikmah esoterisme, namun k...

Inovasi Karya Anak Bangsa Gas Alternatif

Sulit cari gas..? Ini bisa jadi alternatif. Kompor uap bensin, solusi hemat di tengah krisis gas LPG. Sistem kerjanya menggunakan pompa udara aquarium yg ditiupkan melalui selang input ke dalam jerigen atau botol. Semacam blower lah. Uap bensin dari dalam botol akan keluar melalui selang output menuju kompor gas. 1 liter bensin premium/pertalite/pertamax, pemakaiannya bisa setara dengan tiga tabung gas LPJ 3 kg. 

KAJIAN PESANTREN (Tradisi Dan Adat Masyarakat Yang Dianggap Bid'ah Serta Tanpa Dalil)

PENGERTIAN SELAMETAN ATAU HAUL Haul berasal dari bahasa arab : berarti telah lewat atau berarti tahun. Masyarakat Jawa menyebutnya (khol/ selametan ewong mati) yaitu : suatu upacara ritual keagamaan untuk memperingati meninggalnya seorang yang ditokohkan dari para wali, ulama’, kyai atau salah satu dari anggota keluarga. Rangkaian Acara Selametan atau Haul 1. Khotmul Qur’an yaitu membaca al-Qur’an 30 juz (mulai dari juz 1 s/d juz 30). Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 5, hal. 258. menegaskan. ﻳُـﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَـﻤْﻜُﺚَ ﻋَﻠﻰَ ﺍْﻟﻘَﺒْﺮِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺪُّﻓْﻦِ ﺳَﺎﻋَـﺔًﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟِﻠْﻤَﻴِّﺖِ ﻭَﻳَﺴْـﺘَـﻐْﻔِﺮُ ﻟَﻪُ . ﻧَـﺺَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍَﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻰُّﻭَﺍﺗَّﻔَﻖَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍَﻻَﺻْﺤَﺎﺏُ ﻗَﺎﻟﻮُﺍ : ﻳُـﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَـﻘْﺮَﺃَﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺷَﻴْﺊٌ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻘُﺮْﺃَﻥِ ﻭَﺍِﻥْ ﺧَﺘَﻤُﻮْﺍ َﺍْﻟﻘُﺮْﺃَﻥَ ﻛَﺎﻥَﺍَﻓْﻀَﻞُ . ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ 5: – 258 Artinya “Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendap...